Entah bisa disebut beruntung atau tidak, jika saat ini saya hidup melewati fase tidak mengenal media sosial, lalu bersambung ke masa dimana media sosial sudah menjadi gaya hidup, bahkan kebutuhan. Tentu saja, yang pasti saya merasa bersyukur karena masih diberi kesempatan oleh Tuhan melihat perubahan dunia yang begitu pesat seperti sekarang ini. Begitu pesatnya media sosial ini, sampai-sampai membuat sebagian orang merasa bahwa pikirannya patut diketahui banyak orang.

Di antara sebagian orang ini adalah kaum ibu-ibu. Sebagaimana kita ketahui adanya perang status di media sosial yang topiknya seperti memberi Air Susu Ibu (ASI) versus susu formula, Working Mom (WM) dengan Stay at Home Mom (SAHM), antara pakai popok sekali pakai atau clodi, dan lain sebagainya, biasanya menuai ratusan bahkan mungkin ribuan komentar penuh cemohan dan perdebatan.

Bahkan kadang yang bikin miris, saya pernah membaca komentar seperti ini, “Itu artinya ibunya nggak bersyukur, sudah dianugerahi Tuhan, ASI, kok masih memberi susu formula ke anaknya!” ditujukan untuk status yang membicarakan seorang ibu yang tidak menyusui bayinya. Batin saya, “Lha, yang bisa menilai manusia bersyukur atau nggak kan Gusti Allah, Tuhan. Darimana ibu komentator tersebut mengetahui kalau yang dibicarakannya bersyukur atau nggak?”

Jika mengetahui perdebatan semacam itu di media sosial biasanya saya tidak tertarik ikut menanggapi. Cuma meringis saja, sambil geleng-geleng kepala dan cekikikan sendiri. Membayangkan Tuhan marah sambil mencubit mulut komentator dan bilang, “Wooiii, yang bisa menetukan seseorang bersyukur atau nggak, hanya AKU!” Yup, bahkan media sosial bisa membuat manusia seolah merebut posisi Tuhan sebagai Sang Pemberi Penilaian.

Sebenarnya saya tidak berniat membahas topik membosankan tentang perang antar ibu atau yang bahasa kerennya disebut “Mommy Wars” ini. Cuma menunjukkan fakta bahwa memang antara satu ibu dengan ibu yang lain punya prinsip dan pikiran berbeda dalam mengasuh anak-anak mereka. Namun, sayangnya, beberapa ibu-ibu suka lupa bahwa motherhood sebenarnya bukanlah ajang kompetisi tentang pola asuh siapa yang terbaik, melainkan masa dimana ibu diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menikmati caranya sendiri merawat, membesarkan, dan mendidik si kecil.

Tujuan semua ibu di dunia ini mungkin sama, mempersiapkan si anak menjadi orang dewasa yang lebih baik dari orang tuanya. Entah itu lebih baik dalam urusan pendidikan, karier, ataupun rumah tangga, barangkali. Bahkan lebih baik untuk tujuan yang lebih tinggi. Seperti membangun peradaban dunia yang lebih baik, menciptakan dunia yang damai tanpa perang, dimana semua orang saling mengasihi. Hanya saja untuk pencapaiannya, berbeda jalannya. Maka, alangkah menyedihkan jika tujuan mulia tersebut dinodai dengan saling memberikan opini ekstrem bahwa jalan yang ditempuh oleh orang lain, salah.

Kembali ke pembahasan media sosial, untungnya tidak semua menampung opini ekstrem tentang benar atau salah cara yang dipilih oleh seorang ibu membesarkan anak-anaknya. Ada pula sebagian ibu yang memanfaatkan media sosial untuk mengajak kaum ibu melebarkan pandangannya. Daripada saling perang status yang berujung perkelahian, ibu-ibu cerdas ini membuat grup atau kelompok untuk berkarya. Saya menyebutnya “cerdas” untuk memuji mereka yang memiliki pikiran tidak sempit.

Misal, sekelompok ibu cerdas yang meyakini ASI sebagai makanan terbaik untuk bayinya membentuk grup edukasi tentang pentingnya ASI dengan soft campaign tanpa memandang sebelah mata buat yang memberi susu formula. Ibu-ibu cerdas yang SAHM banyak yang membentuk grup pedagang online supaya bisa mendapatkan penghasilan tambahan untuk rumah tangganya. Kelompok-kelompok yang muncul dari media sosial ini inilah sarana bagi ibu untuk menghasilkan karya.

Karya yang bisa dihasilkan sekelompok ibu cerdas dengan memanfaatkan media sosial bisa berbentuk material ataupun nonmaterial. Material misalnya membuat buku atau menciptakan kerajinan tangan yang menghasilkan profit. Sedangkan contoh karya yang tak berbentuk material misalnya pengetahuan dan dukungan yang dibagi kepada sesama ibu. Bayangkan ada seorang ibu yang depresi karena tidak bisa memberi ASI untuk bayinya, lalu dari salah satu kelompok di media sosial dia mendapat dukungan bahwa dia pasti bisa melakukannya, si ibu ini bisa selamat dari depresinya. Seorang ibu menjadi lebih kuat, satu nyawa bayi, anaknya, terselamatkan. Bukankah ibu bahagia juga menghasilkan anak yang bahagia?

Inilah media sosial, inilah salah satu media ibu untuk berkarya. Tentu saja berkarya tak sebatas di ranah media sosial. Ini hanya salah satu contoh dimana ibu bisa mengambil peran. Memiliki peran yang berarti buat kehidupan ibu yang lain, bukannya saling menjatuhkan mental. Menjawab pertanyaan saya di paragraf sebelumnya, sudah pasti ibu bermental bahagia, akan memiliki anak yang berkarakter bahagia. Anak-anak ini pun semoga memiliki jangkauan luas tentang bagaimana cara memandang dunia yang penuh keragaman ini, sebagaimana ibunya yang cerdas. Tidak saling melecehkan dan memberi penghormatan kepada pendapat orang lain. Bukankah generasi semacam ini yang ingin dibentuk oleh setiap ibu? Generasi yang cinta damai. Supaya, peradaban manusia di bumi ini menjadi semakin membaik dari waktu ke waktu. Semoga!

 

-Aprillia Ekasari-

***

Postingan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog 4 Tahun KEBerkarya dengan tema “Berkarya untuk Perubahan dalam Perbedaan”.