Tahun lalu, saya dan suami membeli rumah di daerah Bojonggede dari salah satu developer properti yang berbasis syariah. Developer properti berbasis syariah memang mulai menjamur saat ini sebagai solusi bagi masyarakat yang ingin memiliki rumah tanpa pembiayaan perbankan. Sayangnya, Developer Properti yang kami pilih, bukan developer yang amanah. Developer ini telah melakukan wanprestasi terhadap konsumennya dengan tidak memiliki jadwal pembangunan yang pasti. Legalitas belakangan juga ditengarai tidak jelas, plus developer tidak cakap dalam menangani komplain dari konsumennya.

Beberapa konsumen, termasuk saya dan suami berkumpul secara virtual melalui grup WhatsApp (WA) untuk saling berdiskusi bagaimana caranya supaya kami memperoleh kejelasan tentang kapan rumah kami dibangun. Selain itu, konsumen juga ingin melakukan re-akad supaya jika developer wanprestasi, konsumen tidak dirugikan. Awalnya developer menolak re-akad. Namun, setelah di-push, akhirnya developer mau melakukan meeting dengan para konsumen ini sekitar dua bulan lalu. Oh ya, sebelumnya sekitar 30 orang konsumen yang ada di grup WA, sepakat untuk meminta bantuan lawyer mengurus masalah ini.

Kebetulan saya tidak ikut menghadiri pertemuan, hanya suami yang datang. Entah, kenapa, setelah pertemuan tersebut, 30 orang konsumen ini pecah suaranya. Hanya 13 orang yang memutuskan untuk mundur, meminta bantuan kepada lawyer untuk mensomasi developer yang bersangkutan. Menurut suami, itu karena direktur perusahaan developer tersebut pintar bersilat lidah. Jadi, tak heran kalau sebagian konsumen yang tadinya ikutan geram dengan pembangunan rumah yang lelet, melunak.

Meskipun konsumen terbagi dua, ada yang tetap maju dan mundur, namun kami masih saling berdiskusi di grup WA. Konsumen yang tetap maju menyatakan akan melakukan re-akad dengan membawa notaris, namun menunggu kabar kelanjutan somasi dari konsumen yang mundur. Namun, kenyataannya, konsumen yang maju akhirnya re-akad, tanpa menunggu hasil somasi. Kali ini dengan membawa notaris. Developer mau mengubah akad sesuai keinginan konsumen, kecuali satu pasal yang menyangkut mengenai pengembalian uang konsumen apabila developer melakukan wanprestasi. Pengembalian akan tetap dilakukan 2-3 tahun, itupun tak langsung kembali, sebab katanya ada proses verifikasi dan lain sebagainya yang bikin mumet. Developer bersikeras tidak mau mengubah pasal tersebut. Orang-orang yang tetap maju memakluminya dengan alasan, “Ini kan syariah.”

Padahal pasal baku ini melanggar Undang-undang. Ya, meskipun konon katanya berbasis syariah, karena pelaku usaha dan konsumen masih hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia, mestinya juga tunduk pada hukum positif, donk ya?

Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut:

  1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
  2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
  3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
  4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
  5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
  6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
  7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
  8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Klausula_Baku

Makin lama, hubungan antara konsumen yang maju dan mundur makin tidak baik. Saling sikut di WA, saling melempar kata-kata sengit pula. Bahkan ada salah seorang konsumen yang memilih maju, mengata-ngatai bahwa kami, konsumen yang mundur, melakukan fitnah dan hanya mencari pembenaran.

Akhirnya saya dan suami left dari grup tersebut. Kami berpikir, percuma saja berbicara kepada orang yang sudah tidak mau menerima kebenaran. Selama ini, orang-orang yang rajin mencari fakta tentang dokumen/ legalitas yang dimiliki developer tersebut, serta rajin turun ke lapangan untuk mengetahui sampai mana pembangunan berjalan, adalah orang-orang yang ada di grup konsumen yang mundur. Sedangkan, konsumen yang maju atau lanjut terus, hanya mengetahui informasi dari apa yang diunggah developer ke grup WA. Tidak ada yang sidak sendiri ke tempat.

Konsumen yang mundur pun membentuk grup diskusi sendiri, tetap di WA, tentu saja. Kondisi kami sekarang, setelah developer menolak memenuhi somasi dari lawyer kami, adalah mengajukan tuntutan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Saat ini, sudah dua kali sidang digelar. Sidang pertama, pihak developer tidak hadir. Kedua hadir dengan entah “keluguan” atau “kebodohan” yang sangat menandakan bahwa mereka tidak cakap sebagai developer perumahan. Majelis Hakim, bahkan salah satu wartawan surat kabar nasional yang kebetulan hadir di persidangan, sudah tahu arahnya akan kemana. Mereka paham, kenapa sebagai konsumen, kami menuntut. So, hukum pun mengatakan kami nggak mencari pembenaran, tapi berusaha mengungkap kebenaran. Sayangnya, kebenaran atau fakta-fakta yang kami miliki, ditolak oleh konsumen yang memutuskan maju tadi. Tanggal 6 Juni nanti adalah pembuktian bahwa developer memang banyak melakukan kesalahan dalam usahanya.

Dari peristiwa tersebut, saya menyadari bahwa tidak semua orang ingin ditolong. Padahal, saya kasihan dengan konsumen yang maju. Dari yang tadinya diikat oleh akad bermasalah (salah satunya akad tersebut tidak mencatumkan dengan jelas siapa yang ber-akad, perusahaan atau perorangan? Lalu, kenapa kop surat bukan atas nama perusahaan melainkan nama proyek perumahan?), sekarang jadi diikat oleh akad yang lebih menguntungkan developer. Padahal di mata hukum, akad lama yang kami tanda tangani tidak sah. Jadi, jelas menguntungkan kami, sebagai konsumen jika mundur ataupun menuntut. Ibarat kata, konsumen yang maju ini, sudah tahu keblusuk lubang, eh malah menggali lubang lebih dalam lagi.

Dengan kondisi seperti ini, akhirnya saya dan konsumen yang mundur, bersepakat untuk berhenti menolong konsumen yang tetap maju keluar dari lubang yang digalinya sendiri. Kami berhenti memberitahukan kebenaran kepada konsumen yang maju. Sebagaimana salah satu dalil Pickhardt menjelaskan tentang hukum tolong-menolong:

Menolong juga perlu kerjasama. Agar bantuan yang Anda berikan bermanfaat maksimal, Anda dan si penerima bantuan perlu bekerjasama. Bantuan Anda tak akan ada hasilnya jika si penerima bantuan tidak ingin ditolong. Tugas Anda sebagai penolong adalah menawarkan bantuan. Sedangkan tugas si penerima bantuan adalah untuk memanfaatkan bantuan tersebut untuk menolong diri mereka sendiri. Anda dan orang yang ditolong perlu berkolaborasi. Anda tak bisa memaksakan diri untuk menolongnya jika ia tak membutuhkan atau tak menginginkan bantuan Anda.

Yah, kalau orangnya tidak mau ditolong, tidak mau menerima kebenaran/ fakta, malah menuduh kami memfitnah, buat apa? Malah bikin capek hati, saja, bukan? Sekarang, kami menunggu keputusan BPSK tanggal 6 Juni untuk menindak pelaku usaha yang mendzolimi kami dengan membawa-bawa nama syariah. Hal yang kami lakukan kepada konsumen yang bersikukuh maju, sementara menunggu putusan persidangan adalah:

  1. Mencari banyak bukti bahwa developer tidak cakap. Kenyataannya memang banyak sekali terungkap kebobrokan usaha dan latar belakang pengusaha developer ini.

  2. Meminta dukungan kepada hukum dan pelaku bisnis syariah, tanpa melakukan fitnah, namun membeberkan fakta yang ada. Fakta ini sendiri bisa dikroscek dan dibuktikan oleh pihak yang berwenang.

  3. Mendoakan supaya konsumen yang menganggap kami tukang fitnah dibuka hatinya untuk menerima fakta-fakta yang ada.

Khusus untuk poin nomor tiga, saya rasa doa adalah yang terbaik yang bisa kami lakukan saat ini. Sebab tak ada yang tak mungkin jika Tuhan berkehendak melunakkan hati seseorang, membuka mata batinnya, untuk menerima kebenaran. Apalagi sebenarnya konsumen-konsumen tersebut adalah mereka yang “ngaji”, yang “paham agama”. Semoga tanggal 6 Juni nanti, kami, konsumen yang mundur, diberi jawaban terbaik oleh Allah. Sehingga bisa membuktikan bahwa langkah yang selama ini kami tempuh bukanlah mencari pembenaran semata.

***

Cerita di atas adalah pengalaman saya pribadi, yang bermasalah dengan salah satu developer properti berbasis syariah. Tidak bermaksud mendeskreditkan developer syariah, karena yang bermasalah dengan saya hanyalah oknum semata. Cerita ini saya sertakan dalam GA “Kebaikan Tak Selalu Baik di Mata Orang Lain.”

Meski demikian, saya nggak kapok kok menolong, memberitahukan kebenaran, berbuat baik kepada orang lain. Sebab Tuhan yang saya yakini, memerintahkan umat-Nya untuk selalu berbuat baik. Yuk, cerita tentang “Kebaikan Tak Selalu Baik di Mata Orang Lain!”

Depok, 28 Mei 2016

April Hamsa

Sumber foto: unsplash.com