Saya dari lahir procot, lalu sekolah dari TK sampai jenjang kuliah, lanjut bekerja, semuanya berada di Kota Pahlawan Surabaya. Namun, takdir membawa saya menikah dengan orang asal Pulau Borneo, yang kemudian membuat saya menjadi “Warga Negara Jakarta”. Yup, KTP saya KTP Jakarta, meskipun saya berdomisili di Depok, hehe. Benar-benar saya nggak menyangka akan tinggal di Ibu Kota Negara. Dulu, saat masih di Surabaya, yang terbayang tentang Jakarta adalah ruwet, sumpek, macet, dan banjir. Saya nggak punya keinginan sama sekali untuk tinggal di Jakarta. Eh, ternyata pas dilakoni, urip di sana, ya gitu-gitu aja alias saya ya bisa saja beradaptasi. Saya menikmati tinggal di Jakarta, sampai melahirkan pun memilih di Ibu Kota saja, nggak balik ke kampung halaman. Alhasil, anak-anak saya Maxy dan Dema jadi “Anak Jakarta” semua.

Tinggal dan beraktivitas di Jakarta, membuat saya tidak bisa sering-sering pulang kampung ke Surabaya. Sebagaimana masyarakat Indonesia kebanyakan yang hidup jauh dari kota asalnya, saya biasanya pulang atau mudik ke Surabaya saat menyambut momen-momen tertentu, misalnya saat liburan lebaran. Seperti liburan lebaran tahun ini. Alhamdulillah, setelah dua tahun berturut-turut berlebaran di Jakarta, akhirnya bisa mudik lagi ke Surabaya.

Meskipun orang tua saya beberapa kali juga menyempatkan menengok cucu-cucunya di Jakarta, saya merasa jika nggak ada halangan, mudik merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Salah satu tujuannya adalah untuk memperkenalkan anak-anak kepada akar budayanya, terutama budaya leluhur ibunya di Tanah Jawa (untuk lebaran kali ini). Ya, meskipun karakteristik Surabaya itu unik, ya? Tetap saja, kota yang merupakan Ibu Kota Propinsi Jawa Timur ini berada di Jawa. Perbedaan yang paling mencolok adalah bahasa yang dipergunakan sehari-hari, kalau di Jakarta kebanyakan semua orang menggunakan Bahasa Indonesia. Namun, kalau di Surabaya, semua etnis, baik Jawa, Madura, Tionghoa, Arab, Batak, dan etnis-etnis lainnya menggunakan Bahasa Suroboyoan yang khas. Kadang bagi sebagian orang, bahkan bagi Orang Jawa sendiri, bahasa ini cenderung ngoko (bahasa paling kasar). Itulah uniknya Surabaya.

Supaya anak-anak bisa kenal akar ke-Suroboyoan-nya, lebaran kemarin saya melakukan tiga hal ini bersama mereka:

1. Silaturahim dengan keluarga besar.

أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِمَا يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ : لَقَدْ وُفِّقَ أَوْ قَالَ لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ ؟ فَأَعَادَ الرَّجُلُ فَقَالَ النَّبِيُّ : تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ ذَا رَحِمِكَ فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ النَّبِيُّ : إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُ بِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Bahwasanya ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka,’ maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sungguh dia telah diberi taufik,’ atau ‘Sungguh telah diberi hidayah, apa tadi yang engkau katakan?’ Lalu orang itupun mengulangi perkataannya. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi’. Setelah orang itu pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga’. (HR Bukhari dan Muslim)”

Setelah beribadah Sholat Ied, kami melakukan unjung-unjung atau bersilaturahim ke rumah saudara-saudara. Pertama, tentu saja ke rumah Oma Uyut dan Eyang Uyut. Oma Uyut adalah neneknya suami saya. Meskipun, Orang Gorontalo, namun Oma Uyut sudah lama tinggal di Surabaya, sejak masih aktif dinas sebagai PNS. Sedangkan Eyang Uyut adalah nenek saya. Dulu Eyang Uyut tinggal di Nganjuk, namun sejak tahun 2005 pindah ke Surabaya karena semua anak-anaknya tinggal di Surabaya.

Maxy dan Dema bertemu Oma Uyut.

Anak-anak saya, Maxy dan Dema jarang-jarang ketemu buyut-buyutnya ini. Makanya, datang ke rumah buyut-buyutnya adalah hal yang wajib buat kami sekeluarga. Tujuannya supaya Maxy dan Dema mengenal dan memiliki kenangan dengan buyut-buyutnya. Juga, supaya kerinduan buyut-buyutnya akan cicit-cicitnya terobati. Terbukti, meskipun sudah sepuh, namun buyut-buyutnya ini masih tanggap kalau Maxy dan Dema adalah cicit-cicitnya. Alhamdulillah, bersyukur, keduanya masih sehat. Kebahagiaan jelas tersirat dari wajah Oma Uyut dan Eyang Uyut ketika melihat tingkah polah Maxy dan Dema, yang kalau bagi kami orang tuanya ngegeregetin, namun bagi mereka ngegemesin itu.

Maxy dan Dema bertemu Eyang Uyut dan sepupu-sepupunya.

Setelah berkunjung ke rumah buyut-buyutnya Maxy dan Dema, kami juga bersilaturahim dengan keluarga di Surabaya. Kami berkunjung ke rumah beberapa saudara. Maxy dan Dema pun berkenalan dengan mbah-mbah-nya yang lain, selain kedua orang tua saya. Maxy dan Dema juga langsung akrab dengan sepupu-sepupunya, padahal jarang bertemu. Ada yang usianya sudah dewasa, namun ada juga yang masih balita, seumuran Maxy dan Dema. Jadinya, saat main ke rumah saudara yang ada anak balitanya, Maxy dan Dema biasanya menolak pulang. Sebab keasyikan bermain dengan sepupu-sepupunya itu, hehehe.

2. Memperkenalkan anak kepada ciri khas daerah.

Selama liburan lebaran di Surabaya, saya berusaha memperkenalkan Maxy dan Dema dengan berbagai hal yang menjadi ciri khas Surabaya. Saat melewati ioon Surabaya yakni patung Suro dan Boyo di salah satu jalan protokol di Surabaya, saya menunjukkan kepada mereka bahwa itu patung yang menunjukkan ciri khas Surabaya. Begitu pula saat melewati taman kebanggaan arek-arek Suroboyo, Taman Bungkul. Namun, sayangnya, karena kondisi tidak memungkinkan (Maxy agak rewel karena sakit mata), kami nggak sempat mampir untuk berfoto di kedua tempat tersebut.

Namun, kami sempat ke Pantai Ria Kenjeran atau yang oleh anak-anak muda Surabaya disebut Kenji Beach atau KenPark. Jaman saya masih sekitar usia-usia SMP-SMA dulu, pantai ini image-nya negatif. Entah buat orang pacaran lha atau untuk hal-hal nggak jelas lainnya. Namun, alhamdulillah sekarang citranya makin berubah positif. Apalagi banyak obyek wisata menarik dibangun di Kenjeran ini. Salah satunya, saat liburan lebaran kemarin, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya meresmikan Jembatan Surabaya di daerah Kenjeran. Jembatan Surabaya adalah icon baru Kota Surabaya. Saat malam hari akan ada wahana air mancur menari di sana. Kami sempat melintas, sore hari pada hari Jembatan Surabaya diresmikan (9 Juli 2016). Sayangnya, cuma bisa mengambil gambar lewat mobil dan hasilnya nggak bagus. Saat itu kondisi sudah mulai padat, sebab sepertinya banyak yang akan datang untuk melihat peresmian jembatan tersebut. Tapi, Maxy dan Dema, nampaknya juga sudah cukup puas melihat keindahan Jembatan Surabaya, sekaligus Jembatan Suramadu (yang menghubungkan Surabaya dengan Pulau Madura) dari Pantai Kenjeran.

Jembatan Surabaya, icon baru Kota Surabaya. Sumber: www.tempo.co.

Maxy bersama mbah-mbah-nya dan bulek-nya di Kenjeran.

Selain icon dan obyek wisata di Surabaya, saya juga memperkenalkan Maxy dan Dema kepada makanan khas Surabaya. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya, kami langsung membeli nasi goreng yang khas dengan warna merah menyalanya, serta mie goreng yang rasanya nggak bisa ditemukan di kota lain. Maxy dan Dema juga langsung cocok dengan makanan khas Surabaya tersebut. Masih banyak makanan khas Surabaya lainnya yang saya perkenalkan kepada Maxy dan Dema, antara lain Soto Lamongan, Nasi Pecel, Gado-gado (yang saos kacangnya nggak diuleg), Rujak Cingur, Tahu Tek, Tahu Campur, Lontong Balap, Lontong Kupang, and many more. Ya, meskipun Maxy dan Dema nggak bisa makan semua porsinya sebab ada beberapa yang rasanya pedas, namun mereka juga ikut menikmati. Incip-incip, sekedar supaya tahu makanan khas daerah asal Bundanya. Kalau saya pribadi sih, mumpung berada di Surabaya, ya makan semuanya. Tombo kangen, hehehe.

Makanan khas Surabaya yang kami nikmati selama lebaran.

Mengajak Maxy dan Dema makan di warung soto langganan.

Oh ya, saya juga sempat mengajak Maxy dan Dema menyambangi kampus tenpat saya menimba ilmu dulu, Universitas Airlangga (Unair). Unair juga salah satu kebanggaan Surabaya. Teringat jaman SMA, sepertinya rata-rata teman-teman yang saya kenal kepengennya masuk Unair, begitu pula dengan saya, hehehe. Di Unair Kampus C ada danau dan taman yang juga banyak dikunjungi umum untuk bersantai, utamanya pada sore hari. Ada angsa-angsa yang dibiarkan bebas di sana. Biasanya angsa-angsa itu menampakkan diri dan berenang di danau. Orang-orang banyak datang, mengajak balitanya, untuk sekedar melihat dan memberi makan angsa-angsa. Begitu pula Maxy dan Dema, saat saya ajak ke sana, excited sekali memanggil-manggil dan melempari angsa-angsa dengan makanan.

Memberi makan angsa di Kampus C Unair.

Jalan-jalan saat liburan lebaran, tak berhenti pada menyambangi kampus Bundanya. Maxy dan Dema juga sempat saya ajak ke Masjid Nasional Al Akbar. Masjid megah ini adalah masjid terbesar kedua di Indonesia, setelah Masjid Istiqlal di Jakarta. Kebetulan rumah mbah-nya Maxy (orang tua saya) dekat dengan masjid ini. Jadi, nggak ada alasan untuk tidak menunjukkan kemegahan masjid ini kepada Maxy dan Dema. Di dalam masjid, juga ada sekolah Taman Kanak-kanak, jadi ada aneka permainan seperti ayunan, perosotan, undak-undakan, dan lain-lain yang bisa dimainkan oleh anak-anak. Dan sudah bisa ditebak ending-nya gimana kalau sudah keasyikan bermain, nggak mau pulang, hohoho.

Saat mengunjungi Masjid Al Akbar.

3. Memberi kenangan kepada anak mengenai kota kelahiran orang tuanya.

Selain Taman Bungkul, Surabaya memiliki banyak taman. Ada Taman Lansia, Taman Flora, Taman Pelangi, lalu yang baru minggu-minggu ini diresmikan Taman Gantung di Jalan Tunjungan. Nah, kalau di dekat rumah saya ada Taman Jangkar. Bukan karena di taman itu ada jangkarnya. Nama Jangkar diambil dari kependekan area Kecamatan Jambangan dan Karah. Jadi, Taman Jangkar memang khsuus dibuat Pemkot Surabaya untuk dinikmati oleh masyarakat yang tinggal dekat di area tersebut. Maxy dan Dema saat liburan lebaran kemarin, sempat mencicipi aneka permainan di taman tersebut.

Maxy dan Dema bermain di Taman Jangkar.

Saat di Surabaya, Maxy dan Dema juga memiliki teman-teman baru. Kalau di rumah yang di Depok, Maxy dan Dema nggak punya teman-teman main yang seusia di lingkungan rumah. Tapi, di rumah mbah-nya di Surabaya, banyak banget anak-anak seusia mereka. Hampir tiap hari, mereka bermain bersama. Berkat anak-anak ini, Maxy dan Dema bisa berbahasa Suroboyoan, seperti:

“Opo seh?” (Apa sih?)

“Minggiro ta!” (Minggir, Kamu!”)

“Iki wekku, kok!” (Ini milikku, kok!)

Bahkan ada kata-kata layak sensor yang pernah diucapkan seorang anak kepada Maxy: “Cuk, ayok Cuk, dolan nang omahmu!”

Hyaaaahhh, kalimat itu beneran keluar dari anak yang usianya belum genap empat tahun yakni teman barunya Maxy.  Langsung sama mbah-nya Maxy dan Dema, si anak diceramahin dan dilaporkan ke orang tuanya. Hihihi. Tapi kalau diingat-ingat ya lucu juga, seh! (Uuupppss 😛 ). Lucu karena Maxy nggak ngeh maksudnya “Cuk” apaaan, hahaha!

FYI, kata “Cuk” berasal dari kata “Jancuk”. “Jancuk” sendiri berasal dari kata dalam Bahasa Jawa “Encuk” yang berarti berhubungan badan. Orang-orang jaman dahulu mengumpat atau memaki dengan kata ini. Namun, seiring perkembangan, kata “Cuk” tidak dianggap makian lagi, melainkan dipakai sebagai suatu sapaan terhadap teman akrab. Namun, tetap saja, karena asal-usul katanya berkonotasi negatif, anak kecil nggak diperkenankan memakai kata “Cuk”. Saru (tidak baik), kalau kata Orang Jawa.

Maxy dan Dema punya banyak teman baru.

Yah, yang penting Maxy dan Dema menikmati waktu-waktu bermain bersama teman-teman barunya.

Suasana bermain seru lain yang saya perkenalkan kepada Maxy dan Dema selain permainan di taman-taman adalah bermain air. Bukan bermain air di kamar mandi atau halaman sendiri maupun di kolam renang, melainkan bermain air di halaman Kantor Pemkot Surabaya. Saya nggak tahu sejak kapan ada air mancur di sana, nampaknya sudah agak lama. Namun, yang jelas mbah-mbah-nya Maxy dan Dema “terobsesi” mengajak cucu-cucunya bermain air di sana. Sebab, setiap lewat Kantor Pemkot Surabaya, Bapak dan Ibu saya selalu melihat anak-anak balita bermain air di sana.

Bermain air di halaman Kantor Pemkot Surabaya.

Akhirnya, jadilah Maxy dan Dema pun diajak ke sana, ole mbah-mbah-nya. Awal-awal mereka takut dengan air yang muncrat dari tanah. Namun, mungkin karena terbawa suasana anak-anak lain yang tertawa, jejeritan, dan berkejar-kejaran di sana, Maxy dan Dema pun ikutan meluapkan keceriaan khas anak-anaknya. Saya melihat mereka dari pinggir air mancur, sembari merasa iri. Bundanya kepengen ikutan main air juga. Bundanya kangen masa kecil, hehehe. Keceriaan Maxy dan Dema bermain air bisa dilihat di video berikut:

Melihat Maxy dan Dema seceria itu saat bermain air di halaman Pemkot Surabaya, saya jadi ikutan ceria. Alhamdulillah, mungkin terlihat sederhana buat kita orang dewasa, namun buat anak-anak, pasti memberi memori seru yang bisa jadi terkenang hingga mereka dewasa, kelak. Moga-moga, ya! 🙂

April Hamsa

***

Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog www.diaryhijaber.com dengan tema Ceria (Cerita Lebaran Asyik).

Oh ya, www.diaryhijaber.com dalam rangka memperingati Hari Hijaber Nasional akan menyelenggarakan event menarik lho. Jangan lupa, catat ya tanggal dan tempatnya:

  • Nama Acara: Hari Hijaber Nasional,
  • Tanggal: 07 Agustus 2016 – 08 Agustus 2016
  • Tempat: Masjid Agung Sunda Kelapa,  Menteng, Jakarta Pusat.

Acara ini akan dimeriahkan oleh Alyssa Soebandono, Dude Herlino, Ustad Maulana, dan beberapa pembicara lainnya. So, don’t miss it! 🙂