“Bayi ibu tidak bisa tumbuh lagi di dalam rahim. Kita lakukan tindakan saja ya? Nanti biar dia tumbuh di luar.”

Dokter kandungan mengatakan hal itu kepada saya ketika janin bakal anak pertama saya tidak juga bertambah beratnya. Dari seminggu sebelumnya berat janin saya masih tetap sama, 2,3 kg saja. Memang, saat itu saya terkena anemia. Hb saya sangat rendah sekali, cuma 8. Sayangnya, saya baru mengetahuinya saat usia kehamilan sekitar 34-35 mingguan, ketika saya baru saja pindah dari Surabaya ke Jakarta. Saya pun menuruti saran dokter untuk menjalani operasi caesar demi keselamatan si jabang bayi.

Saya saat mengandung anak pertama.

Operasi caesar dijadwalkan tepat pada usia kandungan ke-39 pada Hari Senin tanggal 10 September 2012 pukul 14.00 WIB. Namun, takdir berkata lain. Si bayi tidak jadi keluar lewat jalan pembedahan perut, melainkan keluar sendiri lewat jalan lahir, partus per vagina, pada jam yang sama sesuai jadwal operasi yang seharusnya dilakukan untuk mengeluarkannya. Alhamdulillah, semua berjalan begitu cepat, mulai pembukaan hingga kelahirannya. Juga, tidak terjadi pendarahan sebagaimana yang dikhawatirkan oleh dokter sebelumnya.

Namun, sesuai perkiraan dokter, bayi saya terlahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR), cuma 2,1 kg. Kulitnya keriput. Tangan, kaki, perut, kepala, semuanya mungil. Tubuhnya juga dipenuhi bulu-bulu halus. Bayi itu menangis namun tidak keras. Setelah dipotong tali pusatnya dan dibersihkan badannya ala kadarnya, dokter langsung menaruh bayi itu di dada saya untuk Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Sayangnya, meski dia berada di atas dada saya selama satu jam lebih, dia tidak dapat menemukan apalagi menghisap puting payudara saya. Dia hanya mampu memanjat-manjat sambil sesekali menciumi dada saya. Sesekali saya membantunya menyusu, namun dia lebih suka merangkak-rangkak ke sana kemari di atas dada. Saya memeluknya erat-erat, menikmati masa IMD, skin to skin dengannya, sambil merasakan detak jantungnya yang pelan. Sampai akhirnya perawat memintanya untuk dibersihkan dan diperiksa kesehatannya.

Drama Menyusui dan Bayi yang Tidak Tumbuh.

Bayi saya itu boleh dibawa pulang setelah menginap dua malam rooming in dengan saya di rumah sakit bersalin. Meski mungil, namun tidak ada masalah kesehatan yang cukup serius dideritanya. Cuma, dia terpaksa tidak menerima vaksin polio dulu sebab menunggu berat badannya lebih besar dari 2 kg.

Oh ya, sebelumnya sepanjang malam saat kami berada di kamar perawatan rumah sakit, bayi saya menangis terus. Dia baru diam saat tidur, menyusu, dan digendong. Untungnya, saat malam pertama di kamar perawatan saya sendirian, tidak ada pasien lain. Saya memang menempati fasilitas kamar dengan kapasitas dua pasien. Saat hari kedua, ada pasien baru teman sekamar saya masuk. Rencananya esok pagi pasien ini akan melahirkan dengan operasi caesar. Sepanjang hari, bayi saya tetap saja menangis, sampai-sampai saya menggendongnya keluar kamar untuk menenangkannya. Juga karena tidak enak mengganggu teman sekamar saya itu.

Saat perawat mengecek kondisi bayi saya, perawat kemudian mengatakan kepada saya, kemungkinan bayi saya menangis terus karena Air Susu Ibu (ASI) saya belum keluar. Kemudian perawat itu meminjami saya pompa ASI untuk memerah ASI. Perawat tersebut juga mengajari saya cara memerah ASI dan memberikan ASI Perah (ASIP) dengan menggunakan sendok kepada bayi saya.

Bayi pertama saya beberapa jam setelah kelahirannya.

Ketika pulang ke rumah, bayi saya juga sangat rewel dan menangis terus, sama seperti di rumah sakit. Saya merasa sepertinya ada yang salah. Tapi apa? Saat saya mencoba memencet puting payudara, ASI saya keluar. Apa bayi ini sakit atau kenapa? Entahlah, banyak pertanyaan saat itu. Meski demikian saya beruntung. Tidak ada satupun, baik suami, orang tua, maupun mertua yang mendorong saya memberikan susu formula (sufor) saja kepada bayi saya. Jadi, saya tetap berusaha keras menyusui bayi saya itu.

Beberapa hari di rumah, meski masih sering rewel, namun level menangis bayi saya tak seheboh hari-hari pertamanya di rumah. Dia mulai sering tidur sepanjang hari. Hanya bangun saat menyusu, mengompol dan buang air besar (BAB). Juga pada saat dijemur dan dimandikan. Saya juga mulai terbiasa dengan tangisannya dan tidak seberapa panik lagi.

Saat usia bayi saya dua minggu, saya membawanya ke rumah sakit untuk kontrol pertamanya. Saat ditimbang, beratnya cuma bertambah 100 gram, dari 2,1 ke 2,2 kg. Dokter anak mengatakan kepada saya kemungkinan berat badan bayi saya sempat turun dan itu adalah hal yang wajar pada minggu-minggu pertama. Dokter anak juga berpesan kepada saya, untuk sering-sering menyusui bayi saya tiap dua jam sekali. Meski dia tidur harus dibangunkan untuk menyusu.

Sekitar dua minggu kemudian saya mencoba mengecek timbangan bayi saya lagi. Kali ini ke puskesmas yang tak jauh dari rumah. Saat itu saya bertemu dengan tenaga kesehatan yang judesnya luar biasa. Iya, saya katakan “judes” karena dia terlihat ogah-ogahan melayani saya saat mengecek kondisi bayi saya. Saya ingat betul kalimatnya yang pada saat itu membuat saya merasa sangat sakit hati, “Ini anaknya enggak naik berat badannya karena ibunya malas!”

Menurut bidan itu saya malas, tidak mau makan banyak karena takut gemuk. Beberapa hal buruk lain juga dia tuduhkan kepada saya sehingga membuat saya down. Padahal jika dia tahu, porsi makan saya sehari seberapa, mungkin dia akan takjub. Saya makan sehari lima piring. Juga, bagaimana saya setiap malam tiap dua jam sekali berusaha membangunkan bayi saya dan menyusuinya.

Sampai akhirnya ibu saya yang sebelumnya menemani saya hingga usia bayi saya 40 hari pulang ke Surabaya, saya dan suami benar-benar sendirian mengurus bayi. Kemudian kami memutuskan memeriksa kesehatan bayi kami yang tidak bertambah gemuk tersebut ke dokter anak lain. Kali ini di klinik dekat rumah. Namun, saya juga tidak merasa sreg. Saya ingat dia mengatakan, “Cara menyusuinya aja salah!” tanpa memberi solusi kepada saya

Baby Blues Syndrome dan Bolak-balik ke Dokter.

Baik bidan di puskesmas maupun dokter anak yang saya kunjungi, hanya menyalahkan saya namun tak memberi solusi. Akhirnya, saya sampai membeli timbangan bayi sendiri waktu itu. Hanya karena saya tidak mau menumpang menimbangkan bayi saya lagi ke puskesmas maupun ke klinik dokter anak dekat rumah. Saya lelah, bingung, juga malu saat datang untuk menimbang bayi saya, selalu saja ada yang memandang dengan tatapan kasihan. Helloooo, world, saya butuh bantuan, bukan rasa kasihan karena bayi saya tak kunjung bertambah beratnya.

Suatu waktu, saya tidak sengaja mendengar ada tetangga yang berbisik-bisik menanyakan kepada tetangga saya yang lain, “Kok anaknya enggak tumbuh, ya?” Hati saya tak karu-karuan. Saya pun jadi sering menangis semenjak itu. Di Jakarta, saya jauh dari siapapun. Cuma suami yang saya punya. Saya bahkan sempat tidak aktif di media sosial saya. Padahal saat itu, saya sedang mengelola Toko Online yang menjual buku-buku tentang Parenting dan Kesehatan Anak, juga menjual baju-baju hamil dan menyusui. Saya tidak punya semangat lagi untuk berhubungan dengan dunia luar. Mungkin jika tidak ada dukungan dari suami saya saat itu, saya sudah gila.

Suami saya saat menjemur bayi kami di atap rumah.

Hingga pada suatu hari seorang tetangga yang lain menyarankan saya untuk ke salah satu klinik dokter, sebut saja namanya Klinik Sehat. Lokasinya tak jauh dari rumah kontrakan saya waktu itu, masih sekitaran area Jakarta Selatan. “Coba imunisasi anaknya di sana, sekaligus cek jika ada masalah,” katanya.

Pertama kali ke sana, saya bertemu dengan dr. X. Dr. X saat itu masih berstatus dokter umum dan masih menempuh pendidikan spesialis anak. Dokter memeriksa kondisi bayi saya dan menjelaskan beberapa hal, bahwa ada beberapa kemungkinan bayi saya tidak tumbuh karena kebutuhan ASI-nya kurang, karena fimosis, karena pusatnya yang tak kunjung kering, dan beberapa hal lain. Dr. X kemudian menyarankan saya memerah ASI dan menganjurkan saya memberikan ASIP 25 ml setelah bayi saya menyusu langsung. Kami pun akhirnya membeli pompa ASI dan botol-botol untuk menyimpan ASI Perah (ASIP) di kulkas.

Seminggu kemudian saya mencoba kontrol lagi, kali ini saya bertemu dr. Y. Dokter Y merekomendasikan kepada saya Ahli Gizi bernama dr. Z. Menurut dr. Y bayi saya sepertinya mengalami kesusahan menyusu. Bibirnya mungil, sementara payudara saya besar dan datar. Namun, supaya mendapatkan gambaran jelas mengenai kebutuhan ASI yang dikonsumsinya, maka sebaiknya tetap konsultasi ke dokter spesialis gizi anak. Saya tidak mengerti bagaimana bayi saya bisa kekurangan ASI, padahal pipis dan BAB-nya sebanyak yang tertuang di teori kecukupan ASI. Ibu macam apa saya, tidak tahu kalau anaknya kelaparan? 🙁

Saat keluar dari ruangan dr. Y, seorang asisten dokter membantu saya membawakan buku kesehatan bayi saya. Saya ingat saat itu asisten dokter berkata kepada saya, “Ibu kalau kontrol lagi coba temui dokter A. Mungkin ada opini lain, sebaiknya bagaimana.” Saya sebelumnya tidak tahu siapa itu dr. A yang ternyata belakangan saya ketahui adalah founder Klinik Sehat sekaligus milis kesehatan yang saya ikuti. Waktu itu saya hanya mengiyakan saran Si Mbak Asisten. Asisten dokter itu juga memberikan saya spuit atau suntikan yang sudah dilepas jarumnya. Menurut Si Mbak, kalau memberikan ASIP pakai saja spuit, sebab lebih mudah daripada sendok. Kalau sendok kan banyak tumpah-tumpah, ya? Pikiran saya mulai terbuka saat mengobrol dengan asisten dokter itu dan saya sangat berterima kasih kepadanya yang sudah begitu baik menenangkan saya.

Akhirnya, saya mengunjungi dr. Z. Dr. Z menyarankan untuk cek laboratorium untuk mengidentifikasi apakah bayi saya sakit atau tidak. Bayi saya juga sempat di-USG untuk mengecek apakah pusatnya yang enggak kering-kering menjadi penyebab infeksi sehingga menyebabkan bayi saya tidak tumbuh. Namun, hasil cek kesehatannya semuanya baik. Jadi, kesimpulannya penyebab bayi saya tidak bisa tumbuh adalah bayi saya tidak bisa menyusu.

Dr. Z meminta saya untuk terus memerah ASI. Sekitar 800 ml ASIP harus bisa saya berikan kepada bayi saya setiap hari, selain menyusu langsung. Saya juga melakukan konsultasi di Klinik Laktasi di salah satu rumah sakit swasta. Konon katanya Klinik Laktasi itu adalah yang terbaik se-Jakarta. Waktu itu saya masih keras kepala memberikan ASI, karena saya yakin saya mampu. Apalagi saat diajari memerah dengan tangan (teknik marmet) ASI saya berlimpah. Saya juga diajari cara memberikan ASI dengan bantuan lactation aid. Perawat di sana berkata kepada saya, “Puji Tuhan ya Bu. Tuhan itu adil. Bayinya kecil tapi ASI-nya banyak.”

Tapi, problem berikutnya adalah saya kesusahan memerah ASI dengan target 800 ml per hari. Sehingga pada suatu hari dokter menyarankan untuk suplementasi dengan sufor kalori tinggi. Tidak mau menyerah memberi sufor, saya yang waktu itu mulai aktif lagi di media sosial, terutama Twitter berusaha mencari donor ASI. Waktu itu yang paling ramai tentang kegiatan menyusui adalah @IDAyahASI. Dari situ saya berkenalan dengan seorang donor yang cocok yang berbaik hati memberi saya berkantong-kantong ASIP. Saya bahkan memperoleh dukungan dari @IDAyahASI untuk terus menyusui. Saat saya menceritakan problem saya, mereka mengirimi saya sebuah buku yang baru mereka terbitkan lengkap dengan tanda tangan ketujuh adminnya, termasuk di antaranya Sogi Indra Dhuaja dan Ernest Prakarsa.

Dukungan dari mimin-mimin @IDAyahASI untuk saya.

Namun sayang, bayi saya tidak suka ASIP yang tidak segar. Dia hanya mau ASIP segar. Saat berkunjung ke rumah ibu susunya, Maxy menghabiskan dua botol ASIP segar dan dia terlihat sangat puas. Saya pun merelakan sekitar 40-50an kantung ASIP dibuang. Pada saat yang sama, saya juga menceritakan masalah saya ke salah satu milis kesehatan. Ada seorang ibu menjapri saya dan menceritakan pengalamannya. Pada saat itu dia bahkan berkonsultasi dengan salah seorang dokter yang namanya juga terkenal sebagai konselor laktasi di Indonesia. Anaknya disuplementasi dengan sufor dan dokter bilang itu tindakan yang dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa anaknya. Ibu ini lalu menyarankan saya untuk menurunkan ego, selamatkan anak dulu. Jika memang harus disuplementasi dengan sufor maka ikhlaskan. Hampir setiap hari saya berbalas-balasan email dengannya saat itu. Saling curhat, saling menguatkan, dan saling mendoakan.

Curhat saya via email pada si ibu yang senasib.

Akhirnya saya memutuskan menambah sufor berkalori tinggi untuk diminum bayi saya. Tapi, saya meminumkan ASIP maupun sufornya dengan soft cup feeder dan sendok. Bukannya tidak berusaha menggunakan botol dot supaya lebih mudah, namun bayi saya tidak mau menghisap dan minum susu dari dotnya. Akibatnya, pertambahan BB-nya juga masih tidak maksimal. Dr. Z mengatakan kepada saya, jika BB-nya tidak kunjung bertambah banyak, maka nanti bayi saya akan dipasangi semacam selang yang akan dimasukkan ke dalam hidung bayi saya langsung menuju ke lambung untuk memasukkan susunya. Saya beberapa kali melihat alat berupa selang yang disebut nasogastrik (NGT) itu terpasang di hidung bayi-bayi dan anak-anak pasien di rumah sakit yang saya kunjungi. Ibu mana yang tidak sedih kalau anaknya mau dipasangi alat bantu semacam itu?

Selang NGT. Sumber: .

Akhirnya saya sounding bayi saya untuk mau meminum susu dari botol dotnya. Alhamdulillah, dia mau. Padahal sebelumnya dia melepeh botol dot-nya. Mungkin dia mendengar kegalauan saya. Sehingga pada akhirnya dia mau minum susu dari botol dot. Meski sudah dibantu sufor, saya tetap rajin memerah ASI dan tetap belajar menyusui. Saya menghitung setiap hari takaran ASIP berapa ml dan sufor berapa ml yang masuk ke lambung bayi saya. Alhamdulillah, ketika bertemu dr. Z lagi, berat badan bayi saya sudah naik bagus.

Suatu kali saat bayi saya akan berusia empat bulan, dr. Z mengatakan sebaiknya bayi saya diberikan Makanan Pendamping ASI (MPASI). Dari situ saya mulai mencari second opinion. Saya kembali lagi ke Klinik Sehat dan berjumpa dr. A yang direkomendasikan Si Mbak Asisten saat saya awal-awal datang ke sana. Dr. A mengomeli saya dan suami habis-habisan. Anehnya, saya tidak merasa tersinggung saat dr. A yang selanjutnya saya sapa Eyang Dokter ini menceramahi saya. Saya tahu maksud dr. A melakukan itu karena beliau peduli kepada kesehatan bayi saya. Sepulang dari Klinik Sehat, dr. A memberi saya banyak catatan untuk dilakukan.

Semenjak saat itu bayi saya rutin mengunjungi dr. A untuk konsultasi dan imunisasi. Meski tetap mendapat “omelan” tapi saya tidak kapok ketemu dr. A. Ada satu candaan yang pernah saya dan suami tertawakan, “Kita ini, sudah bayar mahal-mahal, tetap saja dapat omelan.” Bahkan kalau dr. A lupa “ngomel”, sepulangnya kami saling berpandangan dan bertanya, “Tumben enggak diomelin dokter tadi.” Hahaha.

Bayi saya saat sudah MPASI.

Mengenai MPASI dini yang disarankan dr. Z, bayi saya tidak jadi saya beri makan saat usianya empat bulan. Saya tetap menunggu usianya enam bulan sesuai saran dr. A. Saat bayi saya mulai MPASI saya langsung memberinya potein hewani, terutama daging. Buah dan sayur baru saya berikan saat usia bayi saya tujuh bulan. Bayi saya pun bertambah besar dan makin pintar menyusu langsung, sehingga dia pun bisa stop sufor kalori tingginya saat usianya sekitar tujuh bulanan. Lagipula toh dia sudah makan dan berat badannya sudah bagus. Berikutnya, saya melanjutkan memberikannya ASI hingga usianya 28 bulan (2 tahun 4 bulan). Itu pun dia tiba-tiba berhenti menyusu sendiri karena saya sedang hamil adiknya dan kemungkinan ASI-nya sudah seret.

Bayi saya mungkin tidak punya Ijazah S1, S2, atau S3 ASI, tapi dia punya surat kelulusan ASI yang istimewa dari saya. Bayi itu adalah anak pertama saya, Athaillah Akbar Puthayadi atau yang biasa saya panggil Maxy. Maxy dari kata maksimal. Doa supaya dia bisa tumbuh dan berkembang dengan maksimal. Bulan depan, usia Maxy tepat empat tahun, alhamdulillah dia sekarang tumbuh sehat dan sama aktifnya seperti anak-anak lain seusianya.

19 April 2014 saya mengikuti SelebrASI yang diselenggarakan @IDAyahASI untuk merayakan jatuh bangunnya saya menyusui.

Kegagalan memberikan ASI secara sempurna kepada Maxy membuat saya terpacu untuk belajar tentang ASI dan kesehatan anak. Biasanya jika di milis atau grup media sosial yang saya ikuti ada orang dengan masalah serupa seperti yang saya alami, saya akan menawarkan diri memberinya solusi. Biasanya saya lakukan secara japri, sih. Sama ketika ada seorang ibu yang dulu suka saya ajak curhat menghubungi saya duluan. Meskipun bantuannya enggak besar, semoga dengan saran dan rekomendasi dari saya masalahnya segera selesai dan orang lain tidak meniru kebodohan saya di masa lampau. Saya juga sudah memaafkan dan berdamai dengan diri saya sendiri.

Bayi itu sudah tumbuh besar jadi bocah.

Ingin Menyusui? Belajarlah!

Melalui tulisan yang khusus saya buat untuk mengikuti Give Away ASI dan Segala Cerita Tentangnya yang diselenggarakan oleh www.duniabiza.com untuk meramaikan Pekan ASI Dunia yang jatuh pada tanggal 1-7 Agustus setiap tahunnya ini, saya ingin mengatakan kepada semua calon ibu, belajarlah tentang ASI! Jangan menjadi seperti saya yang baru belajar setelah memiliki bayi. Sebaiknya belajar jauh-jauh hari, saat hamil atau bila perlu sebelum menikah.

Berikut adalah beberapa tips yang sangat saya sarankan kepada calon ibu terkait pemberian ASI:

Carilah informasi dan pengetahuan seputar ASI.

Bacalah buku, koran, majalah atau website kesehatan anak yang membahas tentang ASI! Cari sebanyak mungkin informasi dan pengetahuan tentang ASI, sekalipun itu cuma dari pamflet, brosur, poster, dan flyer! Bila perlu dokumentasikan/ kliping menjadi satu supaya mudah dicari dan dibaca pada saat membutuhkannya.

Bergabunglah dengan komunitas yang mendukung ASI.

Sudah menikah, baru hamil, atau bahkan belum menikah, cobalah bergabung dengan komunitas yang mendukung ASI. Biasanya komunitas ini punya media untuk sharing mengenai kesulitan-kesulitan menyusui. Calon ibu bisa belajar dari pengalaman orang lain supaya tidak mengalami kesulitan serupa. Bukankah guru yang paling baik adalah pengalaman?

Ikutilah workshop atau seminar parenting terutama yang membahas tentang ASI.

Mengikuti workshop atau seminar ASI biasanya akan menumbuhkan motivasi calon ibu untuk memberikan ASI, makanan yang terbaik buat bayinya.

Cari dukungan untuk memberikan ASI dari suami dan keluarga.

Keluarga, terutama suami adalah salah satu tim sukses pemberian ASI. Bila perlu saat hamil, ajak suami serta ibu kandung/ ibu mertua (dua calon nenek yang sangat peduli pada cucunya, namun saking pedulinya biasanya kadang suka memaksa menerapkan cara-cara mereka di masa lalu untuk membesarkan bayi) ke workshop/ seminar tentang ASI. Bila perlu ajak mereka semua ke dokter anak saat bayi diimunisasi supaya mendengar sendiri penjelasan dari dokter anak bahwa ASI itu penting.

Saat hamil, jangan hanya memikirkan membeli baju-baju bayi. Sisihkan pula anggaran untuk membeli peralatan memerah ASI.

Baik working mom atapun stay at home mom, sebaiknya memiliki peralatan memerah ASI, seperti pompa ASI, botol-botol untuk menyimpan ASIP, dan kulkas. Tidak ada ruginya kok memerah ASI buat stay at home mom. Tujuannya untuk berjaga-jaga jika tiba-tiba (moga-moga enggak, ya?) ibu sakit atau ibu terpaksa harus bepergian meninggalkan bayi agak lama. Selain itu, memberikan ASIP, disamping menyusui langsung juga terbukti membuat bayi menjadi lebih gemuk. Sebab, bayi “dipaksa” meminum lebih banyak dari kadar kehausannya. ASIP juga dapat berfungsi sebagai campuran MPASI saat anak sudah berusia enam bulan ke atas.

Saat hamil cari tenaga kesehatan dan rumah sakit bersalin yang pro-ASI.

Tenaga kesehatan dan rumah sakit bersalin tempat calon ibu akan melahirkan juga masuk menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan ASI. Carilah dokter kandungan dan dokter anak yang pro-ASI dan pro-IMD. Pilihlah rumah sakit bersalin yang menyediakan fasilitas rooming in atau rawat gabung ibu dan bayi.

Saat hamil usahakan merawat payudara.

Kesalahan utama saya adalah mengira bahwa menyusui itu semudah memasukkan puting payudara ke mulut bayi, lalu hup bayi akan dengan sendirinya mahir menghisap ASI. Ternyata faktor fisik terutama bentuk payudara mempengaruhi keberhasilan menyusui juga. Kondisi puting payudara saya saat itu tenggelam dan payudaranya besar. Areola juga “aneh”. Ah, sudahlah saya bingung menjelaskan hehehe.

Intinya, saat hamil kenali kondisi payudara ibu dan usahakan untuk rutin merawat payudara. Beberapa perawatan payudara antara lain:

  • Memakai bra sesuai ukuran payudara (biasanya ukuran bra akan berubah saat ibu hamil). Usahakan memakai bra dari bahan yang menyerap keringat.
  • Lakukan pemijatan payudara.
  • Lakukan senam payudara. Biasanya kalau calon ibu mengikuti senam hamil, instruktur akan mengajari cara senam payudara ini.

Salah satu cara perawatan payudara. Sumber: slide presentasi dari seminar parenting yang saya ikuti.

Bertekadlah kuat dan berdoalah supaya bayi yang dilahirkan diberi rejeki oleh Allah SWT ASI yang berlimpah minimal sampai dua tahun usianya.

ASI itu rejeki dari Allah SWT. Ibu hanya bisa memaksimalkan ikhtiarnya untuk menyusui bayinya. Selebihnya, berdoalah kepada Allah SWT semoga ASI ibu berlimpah dan cukup diminum bayi minimal sampai usianya dua tahun. Ikhlaskan apabila ada kendala menyusui, jangan depresi, tapi cari jalan keluarnya.

Semoga cerita pengalaman saya memberikan ASI dan tips sukses ASI ini bermanfaat bagi yang membutuhkan, ya? Terima kasih sudah mau membacanya 🙂 .

Surabaya, 25 Agustus 2016

April Hamsa