Andai saja di dunia ini beneran ada mesin waktu, mungkin saya menjadi salah satu yang akan mencoba mengulang kembali ke masa kecil. Kenapa masa kecil, sekitar jaman-jaman saya masih duduk di bangku TK-SD, yang saya pilih? Sebab, sepertinya pada masa-masa itu saya benar-benar mengisi waktu dengan bermain. Belajar sih iya, tapi bermain tetap nomer satu. Sampai-sampai tak ingat waktu dan membuat bapak atau ibu saya menyusul, berteriak-teriak memanggil nama saya, menyuruh saya pulang.

 

Salah satu permainan yang membuat saya lupa waktu adalah main pasar-pasaran. Saat itu di sekitar komplek rumah saya masih banyak tanah kosong dan kebun. Otomatis saya bisa memetik daun-daunan, bunga-bunga, bakal buah (kami menyebutnya “pentil buah”), bahkan memotong gedebok atau batang pohon pisang. Kalau beruntung saya juga bisa mengambil tali putri. Tali putri ini bentuknya seperti tali-tali kecil yang berwarna kuning, yang biasa dijumpai di tanaman pagar, yang baru saya ketahui saat SMP kalau itu sebenarnya adalah parasit tanaman.

 

Semua bahan yang saya petik tersebut kemudian saya olah. Utamanya gedebok pisang, saya mengirisnya dengan cutter atau pisau yang saya ambil diam-diam dari dapur ibu menjadi bentuk ikan, tempe, dan tahu. Lalu daun-daunan, bunga, dan pentil buah menjadi aneka macam sayur. Sedangkan tali putri menjadi mie.

 

Biasanya permainan ini saya mainkan bersama-sama teman yang lain, tergantung siapa yang diijinkan oleh ortang tuanya keluar rumah. Bisa empat sampai enam gadis kecil, kalau beruntung ada satu dua anak lelaki mau ikutan main. Meski jarang. Biasanya kalau anak lelaki ikutan main, kami suruh ambil bagian jadi pembeli. Biasanya anak lelaki ini yang masih ingusan, usia-usia sekitar 2-3 tahunan, yang masih bisa kami bohongin (baca: manipulasi). Adik laki-laki dari salah seorang gadis yang ikut bermain. Enaknya kalau ada laki-laki, bisa kami suruh-suruh metik-metikin tanaman yang sekiranya masih kami butuhkan. Bahkan kami suruh ambil air minum dari rumah kalau kami kehausan 😀 .

Sesuai namanya, pasar-pasaran ini membagi pemainnya dalam dua peran. Peran penjual dan pembeli. Paling senang kalau kebagian peran sebagai penjual, karena pasti akan dapat uang. Tapi lebih seringnya, kami bergantian. Setelah jadi penjual, kalau dagangannya abis, nanti akan jadi pembeli juga. Penjual akan menjual bahan-bahan seperti “sayur” dan “ikan” tadi. Pembeli akan membayar dengan sejumlah uang.

 

Oh iya, uang yang dipakai buat membeli barang-barang di pasar-pasaraan ini tentu saja bukan uang betulan. Biasanya kami memakai bungkus permen. Nominalnya tergantung bungkus permen yang digunakan. Makin langka bungkus permennya, maka akan makin bernilai tinggi. Saya agak ingat-ingat lupa, bungkus permen apa saja yang biasa digunakan. Sebab saat itu permen banyak macamnya di toko kelontong. Saya hanya bisa mengingat bungkus Sugus dan Fox.

 

Lalu,  jika kami merasa main pasar-pasaran ini membosankan, maka kami akan mengganti permainan menjadi warung-warungan. Sebenarnya masih sama aja, ada pembeli dan penjual. Cuma, bedanya kali ini yang dijual adalah makanan, seperti nasi pecel, tahu campur, mie goreng, dan lain-lain. Bahan yang digunakan ya bahan dari permainan pasar-pasaran tadi. Tambahan, sebagai nasi kami biasa menggunakan pasir atau tanah.

 

Saat itu, kami nggak kepikiran kalau permainan itu kotor atau bagaimana. Kami merasa senang karena bisa mengeksplorasi apa yang ada di lingkungan kami. Selain itu kami juga nggak peduli, teman kami berbeda suku atau agama dengan kami. Pokoknya main dan senang-senang.

 

Tanpa kami sadari, sebenarnya permainan pasar-pasaran ini mengajari kami banyak hal, diantaranya:

  • Berhitung.
  • Mengenal nilai mata uang.
  • Menjadikan kami kreatif dengan mengandaikan daun jadi sayur, tali putri jadi mie, dsb.
  • Mengajari kami bersosialisasi dengan lingkungan dan orang lain (meskipun punya peran beda dalam kehidupan, dalam hal ini contohnya sebagai pembeli dan penjual).

 

Permainan pasar-pasaran itu masih melekat dalam ingatan saya. Bahkan manfaatnya bisa saya rasakan dalam kehidupan sehari-hari hingga saya dewasa seperti sekarang ini.

 

Setahu saya, permainan pasar-pasaran ini kini banyak diadopsi oleh sekolah-sekolah untuk diajarkan kepada peserta didik. Cuma, bedanya namanya lebih keren, Market Day, hehe. Prinsipnya persis dengan permainan pasar-pasaran.

 

Ah, iya ya? Baru teringat soal Market Day yang kekinian di sekolah-sekolah ini. Jadi, sepertinya permainan pasar-pasaran ini nggak sepenuhnya punah, donk ya? Ah, mendadak saya nggak memerlukan lagi mesin waktu. Akan ada waktunya kalau bayi-bayi saya sudah besar, saya juga akan memainkan pasar-pasaran dan bermain dengan mereka 😀 .

 

-Aprillia, ibu dua bayi, yang menghabiskan masa kecilnya di salah satu kampung di Kota Surabaya-

***

“Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Permainan Masa Kecil yang diselenggarakan oleh Mama Calvin dan Bunda Salfa”

Categorized in: