Okey mulai besok ngajinya enggak online lagi ya, kita ngajinya ke masjid,” kata saya kepada anak-anak. Daaan, bisa ketebak, sih, anak-anak menyambut keputusan saya dengan gembira. Yeaahh, gimana enggak senang, setelah dua tahun aktivitasnya di rumah melulu karena pandemi, akhirnya di masa transisi ini saya sebagai orang tua sedikit melonggarkan “perilaku protektif”. Ya itu tadi, anak-anak saya izinkan mengaji di masjid, sudah bisa ikut kegiatan playdate bersama teman-temannya, sudah boleh sering-sering bermain dengan anak-anak tetangga seperti dulu, dll. Semua itu demi mengembangkan aspek sosial emosional yang kayaknya susah berkembang optimal kala pandemi kemarin.

Memasuki masa transisi pasca pandemi anak-anak sudah mulai berkegiatan di luar rumah.

Apa yang dimaksud dengan aspek sosial emosional?

Aspek sosial emosional ini apa sih?

Yang dimaksud dengan aspek sosial emosional ini adalah meliputi hal-hal berikut:

  • Kemandirian anak
  • Rasa empati anak
  • Cara anak mengungkapkan perasaannya
  • Bagaimana cara anak mengontrol emosinya
  • Kemampuan anak beradaptasi
  • Kemampuan anak menyelesaikan konflik, dll.

Pendek kata aspek sosial emosional ini merupakan social life skills yang harus dimiliki oleh anak-anak dengan baik sejak dini.

Nah, saat pandemi kemarin, banyak orang tua mungkin kesulitan mengembangkan aspek sosial emosional anak ini.

Aspek sosial emosional harus dikembangkan sejak dini.

Namun, yeah gimana yaaa, bagaimanapun juga, mengembangkan aspek sosial emosional anak ini adalah bagian dari kewajiban sebagai orang tua. Hal-hal semacam ini agak susah ditumbuhkan kalau orang tua tidak memberikan intervensi, berupa dorongan kepada anak. Makanya, begitu masuk masa transisi pasca pandemi seperti sekarang, sebaiknya segera orang tua manfaatkan untuk membantu anak menumbuhkan aspek sosial emosional ini.

Trus, yang lebih penting lagi, orang tua juga sebaiknya bekerja sama dalam hal mengembangkan aspek sosial emosional anak ini. Tak hanya sebatas ayah dan ibu, namun juga meminta bantuan atau berkolaborasi dengan semua orang di lingkungan tempat anak diasuh.

Nah, penasaran enggak sih, gimana cara mengembangkan aspek sosial emosional anak di masa transisi pasca pandemi seperti sekarang? Inilah topik yang ingin saya share melalui postingan kali ini.

Narasumber webinar #BicaraGizi.

Saya kepikiran menulis topik ini, setelah beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 28 Juni mengikuti webinar bertema “Kiat Keluarga Indonesia Optimalkan Tumbuh Kembang Anak di Masa Transisi” yang diselenggarakan oleh Danone Indonesia dalam rangka merayakan Hari Keluarga Nasional 2022 yang jatuh pada 29 Juni. Hadir sebagai narasumber dalam webinar tersebut adalah:

  • MAPS Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak dr. Irma Ardiana (dr. Irma)
  • Dokter Spesialis Tumbuh Kembang Anak Dr. dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A (K), MPH (dr. Bernie)
  • Ibu Inspiratif Founder Joyful Parenting 101, Cici Desri (mbak Cici).

Jadi, saya menoba merangkumkan apa yang di-share oleh para narasumber dalam para tersebut yaaa. Sekaligus juga kepengen ngajakin diskusi teman-teman, khususnya para orang tua, pembaca postingan ini 😀 .

Okey, langsung aja yaaa… 

Tentang pola pengasuhan kolaboratif

Webinar pada hari itu banyak membahas sebuah konsep yang disebut sebagai pola pengasuhan kolaboratif. Sebenarnya, kata dr. Irma, pola pengasuhan kolaboratif ini telah dilakukan banyak ayah dan ibu selama pandemi kemarin. Hal ini sesuai dengan survey Badan Kependudukan dan Keluarga Berecana Nasional (BKKBN) yang mengungkapkan bahwa 71,5% pasangan suami istri telah melakukan pola asuh kolaboratif.

Kalau menurut pendapat saya pribadi, hal tersebut mungkin tak lepas dari pengaruh pandemi yang bisa dibilang sebagai blessing in disguise ya. Mungkin, dulu sebelum pandemi, orang tua, khususnya ayah, lebih sering bekerja di luar rumah. Namun, setelah pandemi, jadi lebih banyak work from home (WFH). Jadi lebih sering ketemu dan berinteraksi dengan anak, sehingga anak juga merasakan orang tuanya makin utuh.

Mengasuh anak adalah tugas ayah dan bunda atau orang dewasa lainnya yang hidup bersama si anak.

Meski demikian, tak dapat dipungkiri, karena lebih sering beraktivitas di rumah, orang tua pun mengalami masa-masa stress, karena mungkin beban kerja meningkat ditambah agak kurang fokus WFH. Mungkin, karena “digangguin” anak terus? Hehehe, diajakin anak main melulu, maksudnya 😛 . Belum lagi karena stress karena faktor ekonomi yang mungkin ada perubahan.

Nah, saat masa transisi sekarang ini, sebagian orang tua kan udah mulai beraktivitas di luar tuh. Sebagian rasa stress itu bisa jadi agak berkurang. Lalu, bagaimana ya, mempertahankan pola pengasuhan kolaboratif yang sudah hampir maksimal kala pandemi, untuk diterapkan di masa transisi sekarang?

Kalau menurut dr. Irma saat ini di masyarakat kita masih stereotyping bahwa yang mengasuh anak ya seharusnya ibu. Padahal, si ayah pun bisa lho mengambil peran untuk bisa lebih aktif lagi. Contohnya ayah bisa mengantar anak ke posyandu, kemudian turut serta memantau pertumbuhan dan perkembangan anaknya, dll.

Selain ibu, ayah juga berperan besar menumbuhkan rasa percaya diri anak.

Dr. Irma juga menyarankan agar ibu dan ayah bisa mengedepankan komunikasi. Salah satu caranya dengan membicarakan mengenai pembagian peran, supaya bisa sama-sama aktif mengasuh si kecil. Dalam berbagi peran ini pun, sebaiknya terdapat negosiasi dan kompromi.

Pengasuhan bersama antara ayah dan ibu menawarkan cinta, penerimaan, penghargaan, dorongan, dan bimbingan kepada anak-anak mereka. Peran orang tua yang tepat dalam memberikan dorongan, dukungan, nutrisi, dan akses ke aktivitas untuk membantu anak memenuhi milestone aspek perkembangan merupakan hal yang penting,” kata dr. Irma.

Lalu, kalau misalnya keluarga tersebut bukan keluarga yang ideal (misalnya si anak tinggal bersama orang lain selain orang tua kandungnya, seperti nenek atau saudaranya), maka bagaimana caranya selalu mengedepankan komunikasi agar bisa tanggap terhadap kebutuhan anak.

Tak hanya komunikasi, negosiasi, dan kompromi, pengasuhan kolaboratif juga menekankan pada pendekatan inklusif. Baik itu antara orang tua (ayah dan ibu) atau antara orang tua dengan anak.

Selain itu, orang tua/ orang dewasa yang mengasuh anak juga diharapkan dapat selalu menyesuaikan pola pengasuhan dengan zaman si anak tumbuh. Pola-pola pengasuhan lama enggak selalu cocok dipakai lagi di masa sekarang. Pola asuh semacam ini, menurut dr. Irma dapat membentuk anak hebat dan berkualitas di masa mendatang.

Kecerdasan otak anak mempengaruhi perkembangan aspek sosial emosionalnya.

Selain kerjasama antar orang tua, hal yang perlu disiapkan adalah perkembangan anak yang menurut dr. Bernie sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, namun sangat erat kaitannya dengan kecerdasan otak si anak. Dr. Bernie kemudian menjelaskan bahwa sejalan dengan usia anak yang bertambah, maka sel-sel otak dan syaraf-syarafnya makin banyak yang tersambung dan bertambah.

Kemampuan bahasa, penglihatan, hingga pendengaran anak menjadi makin berkembang. Nah, selain ketiga kemampuan itu, sebaiknya orang tua jangan melupakan tentang peer social skills seperti bagaimana kemampuan anak mengontrol emosi, berinteraksi dengan orang lain, hal-hal yang terkait dengan kemandiran (membalas senyum, makan dan minum atau pergi ke toilet sendiri, dll).

Orang tua sangat mempengaruhi tumbuhnya aspek sosial emosional anak

Di sinilah peran keluarga sebagai lingkungan terkecil si anak sangat berperan, walaupun kita tidak bisa mengesampingkan faktor genetik dan nutrisi ya. Soalnya bagaimanapun, kecerdasan juga kerap diturunkan dari orang tua, kemudian pemberian nutrisi yang bagus juga sangat mempengaruhi kesehatan fisik si anak yang juga membuat si anak menjadi cerdas.

Kalau kata dr. Bernie ada istilah “gut brain axis” bahwa apa yang dimakan oleh anak sangat mempengaruhi otaknya. Sistem pencernaan yang sehat juga mempengaruhi fisiknya. Mungkin, teman-teman pernah melihat sendiri kan di tengah masyarakat ada perbedaan antara anak yang tidak mendapat akses nutrisi baik dengan anak yang terpenuhi kebutuhan gizinya?

Nutrisi yang bagus mempengaruhi pertumbuhan fisik dan otak anak.

Lalu, kembali ke soal lingkungan, nih. Keluarga (orang tua) merupakan faktor utama. Berkaitan dengan hal ini, dr. Bernie kemudian memberitahu bahwa kalau mau mengembangkan aspek sosial emosional anak, maka harus memperhatikan beberapa prinsip berikut:

  • Tiap anak memiliki kemampuan berbeda, sehingga tak boleh disamaratakan.
  • Bagi anak yang namanya bermain adalah belajar.
  • Tiap tahapan perkembangan biasanya menyesuaikan dengan usia si anak.

Dr. Bernie juga mengatakan sebaiknya lakukan stimulasi untuk menumbuhkan aspek sosial emosional anak dengan cara:

  • Lakukan sesuai usia dan tahapan perkembangan anak.
  • Lakukan berulangkali.
  • Stimulasi tersebut bersifat individual.
  • Stimulasi untuk semua aspek perkembangan anak.
  • Stimulasi dilakukan dengan rasa cinta dan kasih sayang dan menyenangkan.
  • Stimulasi dilakukan sambil bermain, jangan memaksa anak.
  • Stimulasi dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat bantu/ permainan sederhana dan aman.
  • Jangan ragu memberi anak reward apabila berhasil mempraktikkan apa yang sudah kita stimulasikan untuk aspek sosial emosionalnya.

Trus, orang tua diharapkan kembali menyadari prinsip dasar stimulasi yang bukan unuk mempercepat kemampuan anak-anak semata tetapi supaya si anak bisa mencapai kemampuannya masing-masing. Orang tua bisa memulainya dengan memperkenalkan berbagai aktivitas yang sesuai usia, minat anak, supaya bisa memperkuat rasa percaya diri anak, sehingga anak punya inisiatif dan kemampuan belajar yang baik.

Orang tua wajib memberi contoh yang baik terkait kemampuan sosial emosional.

Stimulasi yang baik sebaiknya dilakukan berulangkali, misal saat bermain dengan anak, saat akan bed time, saat memandikan dan membantu anak ganti baju, dll. Namun, ada beberapa persyaratan supaya stimulasi sosial emosional tersebut berjalan baik, yakni:

  • Orang tua harus memberikan contoh yang baik.
  • Orang tua sebaiknya mengikutkan anak dalam diskusi keluarga.
  • Orang tua memberi contoh tentang berempati.
  • Orang tua mendorong anak melakukan sesuatu yang baik
  • Orang tua mengajari bagaimana sebaiknya si anak meluapkan perasaan mereka.

Agar anak-anak dapat beradaptasi kembali dengan normal, memiliki keterampilan sosial emosional yang memadai, serta memiliki kemampuan berpikir yang baik, maka orang tua perlu memantau perkembangan sosial emosional anak secara berkala serta memberikan stimulasi dan nutrisi yang tepat.” kata dr. Bernie.

Ngobrolin soal stimulasi, dalam kesempatan tersebut mbak Cici kemudian sharing mengenai bagaimana pola asuh anak di keluarganya. mbak Cici juga menyepakati bahwa kunci utama metode pengasuhan anak yang terbaik adalah kolaboratif. Menurutnya, dirinya dan suami juga melakukan pengasuhan kolaboratif sembari membangun hubungan positif dalam hal berbagi peran untuk mengajari si kecil di bidang sosial emosional.

Misalnya, kalau si ibu memberikan stimulasi dengan belajar. Kemudian si ayah lebih ke bermain, sehingga si kecil enggak merasa aktivitasnya cuma belajar aja. Dari situ si anak mendapatkan semua kebutuhannya, lengkap dari kedua orang tuanya.

Orang tua juga bisa melibatkan guru atau orang lain dalam pengasuhan anak.

Mbak Cici juga berusaha mendorong anak untuk berbicara mengenai apa yang dipikirkannya dan meluapkan apa yang dirasakan serta yang dialami si anak. Menurutnya hal semacam itu sangat efektif untuk membantu anak beradaptasi dengan masa transisi sekarang, supaya lebih percaya diri, terutama ketika udah mulai banyak berinteraksi dengan orang lain selain kedua orang tuanya. Misalnya seperti di sekolah atau lingkungan lainnya.

Selain itu, mbak Cici juga berusaha bekerjasama dengan guru atau pihak sekolah anaknya mengenai memantau aspek sosial emosional si anak. Tak hanya soal materi pelajaran sekolah, namun juga tentang bagaimana hubungan si anak dengan teman-temannya yang lain.

Satu lagi yang dilakukan mbak Cici adalah berkonsultasi rutin dengan dokter tumbuh kembang anak supaya tahu stimulasi dan nutrisi apa yang tepat untuk perkembangan anaknya.

Kami memahami bahwa fase membangun hubungan baru merupakan sebuah keterampilan. Si Kecil dapat menguasainya dengan dukungan yang tepat, terutama dari keluarga. Melalui interaksi sosial secara tatap muka langsung, si Kecil mampu menumbuhkan rasa kepercayaan baru dan merasakan kenyamanan berada di lingkungan barunya. Dengan begitu, saya yakin si Kecil bisa tumbuh menjadi anak hebat yang pintar, berani, dan memiliki empati tinggi,” kata mbak Cici.

Kesimpulan

Nah, itulah teman-teman rangkuman webinar kala itu. Kalau saya boleh menyimpulkan, kira-kira begini lho cara mengembangkan aspek sosial emosional anak saat masa transisi sekarang ini:

  • Lakukan pengasuhan kolaboratif. Apabila keluarganya ideal, maka peran kedua orang tua sangat berarti. Namun, jika kurang ideal maka sangat dipengaruhi siapa yang mengasuh anak. Meski demikian, siapapun yang mengasuh anak hal yang paling dibutuhkan adalah komunikasi yang baik.
  • Komunikasi tersebut sangat dibutuhkan dalam hal pembagian peran pengasuhan dan pendampingan anak.
  • Berikan stimulasi sesuai usia dan kemampuan anak.
  • Jangan lupa memberikan asupan nutrisi yang bagus supaya ketahanan fisik anak baik dan otak anak pun tumbuh maksimal. Soalnya nutrisi ini juga sangat mempengaruhi kecerdasan.

Semoga bisa dipahami ya teman-teman rangkuman saya mengenai cara mengembangkan aspek sosial emosional anak pada masa transisi pasca pandemi ini. Selamat dan semangat membersamai anak-anak mengasah aspek sosial emosionalnya 😀 .

April Hamsa