Tahun ini, Bulan September nanti, anak pertama saya Maxy akan genap berusia empat tahun. Sebelum mudik lebaran kemarin, saya sudah mendaftarkan Maxy ke sekolah Taman Kanak-kanak (TK) yang tidak jauh dari rumah kami di Depok. Ketentuan di TK itu, memang anak usia tiga tahun lebih delapan bulan sudah boleh masuk TK. Meski demikian, saya sudah mengatakan kepada ibu gurunya, nanti kalau dirasa dari hasil psikotest Maxy belum bisa mengikuti pembelajaran di TK, masuk Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pun tak mengapa. Toh, yang saya butuhkan sebenarnya cuma lingkungan lain buat Maxy, dimana ada anak-anak usia sebayanya dalam kesehariannya. Maklum, saya tinggal di lingkungan dimana tidak ada anak kecil seusia Maxy. Saya kasihan melihat Maxy kurang berinteraksi dengan anak-anaknya sebayanya.

Ternyata, saat saya masih mudik di Surabaya, saya dikabari bahwa Maxy bisa masuk TK. Menurut gurunya, pada saat trial dan psikotest hasilnya Maxy dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Jadi, Maxy sudah boleh bergabung di TK A. Tapi, qodarullah, karena saya kena infeksi mata saat tiga minggu pertama berada di Surabaya, maka kami belum kembali ke Depok, hingga saat ini. Sehingga, sekolah Maxy pun sementara ditunda.

Kembali ke cerita tentang sekolah Maxy, sebenarnya ada kekhawatiran apabila Maxy tidak bisa “mengikuti pelajaran” di sekolah. Maksud saya “mengikuti pelajaran” di sini adalah memahami ucapan guru maupun teman-temannya. FYI, Maxy dahulu terlahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR), sehingga beberapa perkembangan atau kemampuan motoriknya, meskipun masih dalam batas wajar secara teori, ada beberapa yang oleh orang kebanyakan dilihat terlambat. Misalnya, Maxy baru merangkak usia saat 12 bulan (yaaaa, kalau ini emang nelat, sih) dan baru berjalan pada usia 17 bulan. Kemampuan berbicaranya pun hingga saat ini, meskipun sudah bisa merangkai kalimat, namun belum bisa nyerocos ketika bercerita ini itu. Saya masih harus memandu dan bertanya kepadanya kalau ingin memahami kalimatnya. Makanya saya surprise saat mengetahui bahwa Maxy boleh bergabung di TK.

Ternyata, Maxy boleh masuk TK karena kemampuannya menyimaknya terhadap suatu pesan/ informasi dan kalimat perintah sudah cukup baik. Kemampuan menyimak ini menunjukkan bahwa Maxy sudah memiliki kemampuan berbahasa (berbicara). Saya pun kemudian berusaha mencari tahu teori-teori yang berhubungan dengan kemampuan menyimak pada anak usia dini, seperti Maxy. Kemampuan menyimak pada anak usia dini ini secara teori dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni:

  • Acuity: yakni suatu kesadaran anak bahwa dia mendengar adanya suara. Hal ini melibatkan indera pendengarannya.
  • Auditory Discrimination: yaitu kemampuan anak membedakan persamaan dan perbedaan dari bunyi/ suara yang didengarnya.
  • Auding: merupakan proses dimana ada asosiasi/ hubungan antara maksud pesan dengan kalimat yang diucapkan oleh anak. Misalnya saat anak merasa haus, dia sudah bisa bilang, “Saya ingin minum air putih.”

Alhamdulillah, Maxy secara teori menguasai ketiga faktor tersebut. Mbak-mbak pengasuh di daycare tempat saya sesekali menitipkan Maxy juga pernah mengatakan kepada saya bahwa sebenarnya Maxy bisa dengan mudah berinteraksi dan beradaptasi dengan anak-anak seusianya. Walaupun awalnya cenderung pendiam dan tidak mau bergabung, namun lama-kelamaan Maxy akan berupaya mendekati group yang ada, kemudian ikut berinteraksi. “Memang, butuh ketelatenan, Bu untuk mengajaknya berinteraksi,” kata Si Mbak yang memang paham tentang Psikologi Anak suatu kali, saat saya bertanya tentang kemampuan Maxy berbicara/ berbahasa.

Faktor keberhasilan seorang anak usia dini seperti Maxy bisa memiliki kemampuan menyimak yang baik, dipengaruhi oleh tiga hal:

  • Faktor penyimak: berkaitan dengan kemampuan anak memahami pesan yang disampaikan, lalu bagaimana anak bisa memiliki motivasi untuk merespon, dan bagaimana strategi anak dalam merespon. Apakah anak segera melakukan suatu kegiatan sesuai pesan/ informasi yang diterima ataukah si anak merespon dengan bertanya kembali mengenai pesan yang disampaikan.
  • Faktor situasi/ lingkungan: saat anak diajak berbicara, bagaimana situasi lingkungannya. Apakah kondusif atau tidak kondusif (misal ribut, banyak gangguan bunyi-bunyi maupun visual yang mengganggu).
  • Faktor pembicara: inilah yang dimaksud oleh mbak-mbak pengasuh di daycare tempat saya menitipkan Maxy, yakni “ketelatenan” berusaha mengkomunikasikan pesan seinformatif mungkin kepada anak, sehingga anak mudah memahami. Untuk anak usia dini, faktor ini yang paling penting.

Arrrgghh, ini merupaan self plak buat saya pribadi. Dengan keriweuhan mengurus dua balita dan pekerjaan rumah tangga yang seolah tak ada habisnya, memang kadang saya suka lupa menjadi “pembicara yang baik” buat Maxy. Sehingga, seringkali pesan saya tidak sampai secara lengkap kepada Maxy. Apakah ada teman-teman, terutama yang menjadi orang tua dari anak-anak berusia dini, pernah mengalami seperti saya?

Berdasarkan teori yang saya ketahui, sebaiknya saat kita berperan menjadi “pembicara” kepada anak usia dini, usahakan untuk:

  • Bertatap mata. Sesibuk apapun kita, sebaiknya tinggalkan dulu kesibukan tersebut. Saat memberi pesan kepada anak usia dini, tataplah matanya. Supaya terjadi kontak mata maupun batin. Anak lebih respect dan memperhatikan jika kita menatap matanya.
  • Usahakan untuk memperkuat dengan bahasa tubuh. Misal saat bertanya, “Maxy mau minum?” Kita bisa melakukan gerakan seolah meminum gelas.
  • Gunakan ekspresi wajah. Jika kita marah, senang, atau sedih atas perbuatan anak, gunakan ekspresi wajah yang jelas. Sehingga anak paham ekspresi kita saat mengungkapkan bahwa kita suka atau tidak suka dengan apa yang diperbuatnya.
  • Lakukan paraphrase. Yakni mengulang kembali pesan dengan kalimat yang berbeda dari sebelumnya. Mungkin, bisa jadi, sebelumnya anak tidak merespon sebab tidak memahami kalimat kita yang pertama. Tidak ada salahnya mengulang kembali penyampaian pesannya.

Lalu bagaimana cara kita sebagai orang tua dalam mengajari anak menyimak suatu pesan? Berikut adalah hal-hal sederhana yang bisa orang tua lakukan untuk menumbuhkan kemampuan menyimak anak:

  • Membacakan cerita lalu meminta anak mengulanginya, misal dengan bertanya tentang apa saja tokoh atau kejadian dalam cerita.
  • Mengajari anak suatu permainan dan meminta anak untuk menirukannya.
  • Mengajari anak bermain bunyi-bunyian, misal menirukan suara binatang, lalu meminta anak menirukannya juga.
  • Mengajak anak menggambar suatu obyek dan minta anak melakukan hal yang serupa.
  • Mengajak anak-anak berjalan-jalan ke outdoor, lalu sampai di rumah minta anak menceritakan kembali tentang apa yang dilihatnya.
  • Sering-sering ajak anak untuk beriteraksi dengan orang lain, misalkan tetangga atau orang yang dijumpai di tempat umum di luar rumah.
  • Mengajari anak menjawab dan berbicara di telepon, misal dengan ayahnya atau kakek neneknya, lalu tanyakan kepada anak apa saja yang didengarnya dari pembicaraan di telepon tadi.

Kemampuan menyimak yang baik pada anak usia dini akan mendukung kemampuan berbahasa (berbicara) pada anak. Sehingga anak akan dengan mudah mengungkapkan keinginan dan kebutuhannya. Orang tua pun bisa dengan mudah memberikan apa yang diinginkan oleh anak. Ternyata, memang pekerjaan rumah (PR) besar, ya, untuk meningkatkan kemampuan menyimak pada anak usia dini bagi orang tua? Saya pun masih harus banyak belajar dalam menerapkan teori-teori ini untuk anak-anak saya (Maxy dan adiknya, Dema). Semoga saja saya bisa menguatkan kemampuan mereka dalam menyimak dan memahami suatu pesan, sehingga mereka bisa dengan mudah berinteraksi dengan lingkungan di luar rumah.

Surabaya, 8 Agustus 2016

April Hamsa

Categorized in: