Minggu ini saya sedang mengerjakan sebuah tulisan mengenai care work economy. Sebuah topik yang menurut saya lumayan berat, tetapi juga menyadarkan saya bahwa peran ibu dalam rumah tangga tuh banyak yaaa. Nah, kebanyakan referensi yang saya baca tuh masih sedikit yang menyinggung peran ayah. Apalagi kalau membicarakan kondisinya terjadi di Indonesia. Maka, tak heran kalau Indonesia masih menjadi negara dengan kondisi fatherless yang masih tinggi di dunia huhu. Makanya nih, sembari membuat menyelesaikan artikel tersebut, saya kepikiran ngobrolin soal fatherless dan mau berbagi tips bagaimana upaya mencegah fatherless terjadi di keluarga kita.
Tentang fenomena fatherless
Sebenarnya, apa sih fatherless itu?
Fatherless adalah fenomena di mana sosok ayah tidak dirasakan keberadaannya baik secara fisik (kehadiran), maupun psikologis oleh anaknya. Bisa jadi sebenarnya si ayah ini ada dalam kesehariannya. Namun, seolah antara ada dan tiada.
Ayah mungkin ada di rumah, tetapi enggak dekat secara emosi dengan anaknya. Biasanya penyebabnya adalah karena ayah tidak menyediakan waktu berkualitas dengan anaknya.
Dalih yang dipakai biasanya:
“Ayah capek pulang kerja, mau istirahat.”
“Ayah enggak ada waktu main karena ada pekerjaan.”
Selain itu, adanya latar belakang patriarki yang kuat juga menjadi salah satu penyebabnya. Ayah malu ketika ketahuan bermain bersama anaknya.
“Ibunya ke mana, kok, anaknya main sama ayahnya?”
“Kok ayahnya yang mandiin anak sih, ibunya ngapain?”
Maka, tak heran para ayah akhirnya enggan mengambil peran, sehingga menciptakan fatherless.
Langkah mencegah fatherless
Tentu saja, hal ini enggak bisa dianggap sesuatu yang biasa, donk, karena sebenarnya fatherless itu membawa dampak yang tidak baik buat anak. Fatherless bisa memuat anak memiliki rasa kepercayaan diri yang rendah karena tidak punya sosok ayah sebagai panutan. Fatherless juga mendorong seseorang berperilaku negatif untuk mencari kasih sayang ayah dari figur lain.
Maka, sebaiknya fatherless ini harus kita cegah bersama.
Menurut saya, nomor satu yang paling penting adalah kesadaran seorang ayah untuk berperan lebih banyak dalam mengurus pekerjaan domestik dan pengasuhan anak. Yaaa, emang, kalau di Indonesia banyak faktor yang agak menghalangi ya, seperti: agama, paham patriarki yang melekat kuat, pengasuhan lebih erat dengan ibu, dll.
Lha, padahal kalau dipikir-pikir bukannya yang bikin anak tuh berdua, ya? Kok, yang terjadi semua urusan anak diserahkan kepada ibu?
Soal kerjaan domestik, seperti memasak, membereskan rumah, dll, ini pun sebenarnya kan enggak cuma perempuan saja yang bisa melakukannya ya? Ini kan keterampilan dasar? Mestinya, laki-laki pun bisa.
Nah, inilah pentingnya kesadaran ayah tadi. Kalau si ayahnya cuek, yawda, wassalam, deh, huhu.
Lalu, saat ayah sudah memiliki kesadaran, di mana saja ayah bisa berperan, sehingga bisa mencegah fatherless?
Pertama, sejak istri mengandung, ayah bisa mengambil peran dengan membantu memenuhi kebutuhan istri, seperti mengantar periksa kandungan ke bidan atau dokter kandungan. Lalu, ikut peduli dan memantau kesehatan istri selama kehamilan.
Kemudian, ketika waktunya istri melahirkan, harap para ayah mempersiapkan diri untuk hadir menemani. Berlajut hingga istri menyusui, sebaiknya para ayah pun membantu supaya istri enggak mengalami baby blues. Berikan support terbaik yang bisa diberikan, walau itu sekadar menyemangati atau memijat istri saat memberikan ASI.
Aktif terlibat dalam pekerjaan domestik juga salah satu yang diharapkan dari para ayah. Intinya meringankan beban istri.
Kalaupun tak bisa melakukannya sendiri, para ayah bisa support dengan menggaji asisten rumah tangga untuk membantu meringankan pekerjaan istri.
Selain urusan domestik, tentu saja yang paling diharapkan adalah para ayah bisa meyediakan waktu berkualitas untuk terlibat pengasuhan anaknya. Walaupun sekadar bermain 20 menit setelah pulang kantor atau ikut memikirkan sekolah anaknya.
Ketika anak sudah agak besar, harapannya ayah bisa menjadi sosok yang bisa menjadi tempat curhat si anak. Jadi, enggak cuma ibu saja yang bisa diajak ngobrol oleh anak, namun ayah juga. Apalagi, tak semua hal bisa dijawab oleh ibu saja. Masing-masing, baik ayah maupun ibu punya peran.
Dengan peran yang lengkap itu, harapannya fenomena fatherless bisa dicegah.
Jadi, para ayah, sudahkah mengambil peran besar untuk terlibat dalam pengasuhan anak dan urusan domestik?
April Hamsa
Comments