“Aku nanti nggak akan kayak gitu kalau sudah jadi ibu.” Mungkin begitu kalimat yang pernah diucapkan banyak calon ibu ketika melihat pola pengasuhan ibu senior yang kurang sesuai pada masanya. Bahkan, supaya gaya pengasuhan yang dimaksud tidak terulang udah disempet-sempetin tuh baca tulisan-tulisan parenting, bahkan mengikuti talkshow-talkshow parenting. Namun, begitu sudah jadi ibu, eh, lha kok beda lagi. Yaaa, emang ya yang namanya ekspektasi dan realita saat menjadi ibu itu kadang sering njomplang.

Hihihi, tergelitik menulis ini, setelah baca beberapa komentar di media sosial yang kesannya menjudge seorang ibu. Jadi, ceritanya ada ibu-ibu yang kasi makan anaknya biskuit dan dipakein selai coklat. Langsung deh para nitijen menyerang kalau tuh ibu-ibu enggak bener, karena memberi makanan tidak sehat ke anaknya.

Setelah disimak baik-baik, eh, ternyata ibu itu anaknya tiga dan semua masih krucil dengan jarak usia berdekatan. Sepertinya si ibu ini juga mengalami kesusahan dalam manajemen waktunya mengurus ketiga anaknya dan urusan dosmetik. Bahkan sepintas si ibu ini sepertinya kurang memperhatikan penampilan fisiknya. Yaaa, mungkin memang tak ada waktu ngurusin penampilan kali ya?

Terlihat sangat akrab ya bu-ebuk situasi seperti itu? Huhu.

Begitulah ekspektasi versus realita para ibu. Saya pun dulu mengira menjadi ibu akan terjadi begitu saja secara alamiah begitu seorang perempuan melahirkan. Kenyataannya, enggak. Berikut adalah beberapa hal ekspektasi dan realitas menjadi ibu yang sering berseberangan.

Ekspektasi dan realita ketika melahirkan

Ketika masa kehamilan banyak ibu yang mendambakan melahirkan per vaginam. Ternyata, dalam perjalanan kehamilannya tak semua ibu memungkinkan lahiran normal, akhirnya dioperasi caesar. Mungkin karena kondisi kesehatannya, karena situasi bayi yang mendesak untuk segera dilahirkan, dll.

Kenyataannya ada beberapa ibu yang menganggap kalau melahirkan secara caesar berarti belum sepenuhnya menjadi ibu, sehingga susah menerima realita yang terjadi. Kondisi seperti ini menurut saya membutuhkan bantuan dari orang-orang di sekitarnya supaya bisa menguatkan si ibu bahwa melahirkan dengan cara apapun tidak akan membantah bahwa dirinya kini sudah menjadi ibu.

Ekspektasi dan realita saat menyusui

Nah, yang satu ini juga sering menjadi kasus ekspektasi dan realitas yang bertolak belakang. Saya pun pernah mengalaminya, mengira bahwa begitu anak lahir semua ibu auto bisa menyusui. Kenyataannya tidak begitu. Ada saja hambatan seorang ibu menyusui anaknya, misalnya saat kondisi putting datar, pelekatan yang tidak tepat, dll.

Namun, biasanya hal ini dialami oleh ibu yang baru memiliki anak pertama. Nah, supaya tidak ada yang mengalaminya lagi, ada baiknya ketika menyiapkan kehamilan juga sekalian belajar bagaimana cara menyusui yang benar. Harapannya ketika anak lahir maka sudah langsung bisa menyusu dengan mudah.

Di satu sisi ada ibu-ibu yang merasa bersalah memberikan anaknya sufor. Padahal, memberikan sufor juga biasanya ada latar belakangnya. Misalnya, karena kesulitan menyusui. Lalu, apakah anak dibiarkan kelaparan saja kalau memang kondisinya masih agak susah menyusu?

Ekspektasi dan realita ketika masa MPASI

Soal pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) juga sering tak sesuai ekspektasi. Mirip-mirip seperti pemberian ASI tadi. Banyak ibu berpendapat bahwa sebaiknya anak hanya diberi makanan dari bahan-bahan organik. Ada yang merasa bersalah kalau tidak bisa memasakkan makanan buat anaknya sendiri.

Lagi-lagi memang kadang ekspektasi tak sesuai realitasnya, karena ada kasus ibu yang tidak bisa memasak karena mungkin kesibukannya. Meski begitu, saya yakin enggak ada ibu yang akan berniat memberikan anak makanan yang buruk buat kesehatannya.

Ekspektasi dan realita tentang pertumbuhan dan perkembangan anak

Tentang pertumbuhan dan perkembangan anak juga tak kalah banyak yang tak sesuai antara ekspektasi dan kenyataan. Soalnya, memang banyak kondisi yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Ekspektasi dan realita tentang gadget untuk anak

Ini pun sering menjadi perdebatan, karena masa sekarang anak-anak begitu lahir sudah langsung  bersentuhan dengan gadget. Mau melarang anak tidak pegang gadget juga sesuatu yang agak mustahil ya. Maka, peran ibu sepertinya adalah berdamai dengan kondisi sambil mungkin juga membuat batasan-batasan buat anak ketika bermain gadget.

Itulah beberapa ekspektasi dan realita yang kerap berbanding terbalik yang biasanya dialami seorang ibu. Meski demikian, saya sih selalu yakin bahwa semua ibu pasti akan berusaha memberikan yang terbaik buat buah hatinya. Jadi, tak perlu berkecil hati ya wahai para ibu. Selalu semangat.

April Hamsa

 

 

Categorized in: