Saya Blogger, Saya Siap #TangkisEksploitasiAnak.” Begitulah bunyi komitmen yang beramai-ramai ditandatangani oleh beberapa blogger seusai mengikuti Forum Group Discussion (FGD) bertema “Audisi Badminton: Eksploitasi Anak atau Pengembangan Bakat Anak?” FGD tersebut difasilitasi oleh Yayasan Lentera Anak (YLA) yang merupakan lembaga independen dalam bidang perlindungan dan pemenuhan hak anak.

Blogger yang mendukung untuk menghapus eksploitasi anak di ajang audisi beasiswa bulutangkis yang diselenggarakan perusahaan rokok. Doc: YLA.

Sejujurnya, saya senang, akhirnya ada juga yang mengangkat tentang isu ini setelah sekian lama. Soalnya, terus terang selama ini saya tuh sering merasa ada yang janggal ketika sebuah perusahaan rokok ikut terlibat dalam suatu kegiatan olahraga. Enggak cuma dalam hal audisi beasiswa bulutangkis saja sih. Dalam pertandingan-pertandingan olahraga misalnya, seperti bulutangkis, sepakbola, dll, kalau ada perusahaan rokok yang jadi sponsornya, kayaknya kok aneh.

Dari mana nyambungnya gitu? Perusahaan rokok dengan olahraga yang notabene berkaitan erat dengan kesehatan? Enggak ada deh kayaknya. Tapiii, kok bisa sih di Indonesia ini, sebuah perusahaan rokok ikut terlibat dalam event olahraga?

Saya ikut menandatangani dukungan untuk stop eksploitasi anak.

Balik lagi soal audisi beasiswa bulutangkis, belakangan ini YLA menerbitkan laporan tentang dugaan eksploitasi anak oleh salah satu perusahaan rokok penyelenggara audisi tersebut. Laporan tersebut dibuat berdasarkan penemuan di lapangan, dimana ada beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan rokok tersebut dalam pelaksanaan audisi bulutangkis.

Laporan tentang dugaan eksploitasi anak dalam audisi beassiswa bulutangkis perusahaan rokok oleh YLA bisa teman-teman unduh  di sini. .

Ringkasan temuan YLA mengenai dugaan eksploitasi anak oleh perusahaan rokok lewat audisi beasiswa bulutangkis

Hal tersebut disampaikan oleh founder YLA Lisda Sundari (Mbak Lisda). Dalam FGD yang diselenggarakan pada tanggal 30 Maret 2019 di Perpusatakaan Kemendikbud RI itu, Mbak Lisda menyampaikan beberapa penemuan pelanggaran oleh perusahaan rokok yang mengakibatkan anak mengalami tindak eskploitasi, yakni antara lain:

1. Menempatkan anak dalam kondisi terpapar brand image produk rokok, dimana produk ini mencitrakan diri sebagai produk yang positif

Audisi beasiswa bulutangkis berlangsung di gedung olahraga dimana di bagian outdoor-nya dihiasi banner dan spanduk bertuliskan merek produk rokok tersebut. Di sana juga ada banyak sales promotion girls (SPG) yang menjual merchandise, yang lagi-lagi bertuliskan logo perusahaan. Semua stand dan lingkungan di tempat audisi, termasuk lapangan, didominasi dengan logo dan warna identitas dari perusahaan rokok tersebut.

Dengan kondisi demikian, perusahaan rokok penyelenggara audisi beasiswa bulutangkis tersebut sebenarnya telah melanggar PP 109/ 2012 Pasal 47 (I) yaitu mengikutsertakan anak-anak pada penyelenggaraan kegiatan yang disponsori rokok dan Pasal 37 (a) yaitu menggunakan nama merek dagang dan logo produk tembakau termasuk brand image produk tembakau.

Founder YLA Mbak Lisda Sundari.

Dengak kondisi semacam itu dimana anak-anak terpapar brand image produk rokok, maka tidak menutup kemungkinan anak-anak akan menganggap bahwa produk rokok ini adalah produk yang baik, dermawan karena memberikan beasiswa, terasosasi dengan olahraga/ kesehatan, dan hal-hal positif lainnya. Padahal, coba kita renungkan, rokok itu lebih banyak manfaatnya apa mudaratnya?

Kegiatan audisi beasiswa bulutangkis tersebut melanggar UU Perlindungan Anak Pasal 76 I, berikut:

Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eskploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual terhadap anak”.

2. Perusahaan rokok penyelenggara audisi bulutangkis menggunakan tubuh anak sebagai iklan berjalan

Dalam penyelenggaraan audisi bulutangkis tersebut, peserta audisi yang merupakan anak-anak (usia 6-15 tahun) diwajibkan mengenakan kaus dengan tulisan logo dan huruf perusahaan. Masalahnya logo dan huruf itu merupakan brand image perusahaan rokok tersebut.

Ketika YLA melakukan wawancara di lapangan, ketika anak-anak tersebut ditanya mengenai logo huruf (tulisan) tersebut, anak-anak dengan usia 11-13 tahun tidak mengetahui bahwa logo tersebut adalah “produk rokok”, mereka menjawab itu “beasiswa bulutangkis”. Namun, pada akhirnya, setelah mengikuti audisi tersebut, mereka tahu bahwa logo dan tulisan itu adalah “produk rokok”.

Sedangkan anak-anak yang usianya sudah 15 tahun ke atas, ketika ditanya soal logo dan tulisan tersebut, mereka tahu bahwa itu adalah “produk rokok”. Begitu pula dengan orang tua yang mengantarkan mereka melakukan audisi, para orang tua ini sadar bahwa itu “produk rokok”.

Namun, anak-anak dan para orang tua ini tidak menyadari bahwa sebenarnya anak-anak dijadikan sebagai “spanduk berjalan” oleh perusahaan rokok. YLA menemukan data dengan mewawancarai pakar di bidang advertising, yang kemudian menjelaskan bahwa penggunaan tubuh anak (memakai kaus bertuliskan merek produk rokok) sangat efektif sebagai media promosi merek rokok tersebut.

YLA dan pakar advertising kemudian membuat simulasi perbandingan promosi dengan kaus anak dibanding dengan spanduk. Berikut adalah simulasi perhitungannya:

Sumber: Laporan YLA.

Terlihat jelas bahwa dengan menggunakan kaus (tubuh anak), jauh lebih murah, namun lebih efektif untuk promosi. Sebab, anak tersebut pasti enggak cuma pakai kaus itu saat di audisi saja, melainkan (kemungkinan besar) juga memakainya pada kesempatan lain. Intinya, menggunakan tubuh anak untuk mempromosikan brand image produk rokok lebih menguntungkan perusahaan dibandingkan pakai spanduk.

Kalau buat spanduk, maka mereka harus bayar pajak. Kalau pakai kaus yang tinggal bikin kaus aja. Biaya promo pakai kaus ini enam kali lebih murah. Bahkan promosi produk rokok pakai tubuh anak jauh lebih efisien,” kata Mbak Lisda.

Selain itu, perbuatan mengeksploitasi tubuh anak seperti yang dilakukan perusahaan rokok ini bisa dipidana dengan merujuk pasal 88 UU Perlindungan Anak yang berbunyi:

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 I, dipidana paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).”

3. Menemukan fakta bahwa sebenarnya hanya sedikit anak yang akan diloloskan dalam audisi beasiswa bulutangkis tersebut

Perusahaan rokok yang dimaksud YLA telah melakukan audisi beasiswa bulutangkis sejak tahun 2006. Semula audisinya hanya digelar di satu kota saja dengan peserta remaja berusia 15 tahun. Namun, semenjak tahun 2015, audisi tersebut melebar ke berbagai kota di Indonesia. Bahkan pada tahun 2017 peserta audisi yang dijaring ada yang berusia lebih muda lagi, yakni mulai usia 6 tahun.

Pada tahun 2018, promosi audisi beasiswa bulutangkis diselengarakan secara massif, baik melalui channel media televisi, koran, dan media sosial. Hasilnya peserta audisi naik berkali-kali lipat. Teman-teman bisa melihat datanya di sini:

Sumber: Laporan YLA.

Namun, ada yang janggal. Walaupun peserta audisi meningkat, jumlah penerima beasiswa ya segitu-segitu aja. Akibatnya, terdapat perbandingan angka yang sedemikian ekstrem antara jumlah peserta yang ikut audisi dengan jumlah anak yang mendapatkan beasiswa.

Maka, alih-alih audisi itu dijadikan ajang perekrutan pemain bulutangkis masa depan, yang terlihat malah perekrutan tenaga pemasaran cilik dimana mereka enggak tahu kalau sebenarnya hanya dimanfaatkan sebagai pencitraan perusahaan yang seolah-olah peduli pada olahraga.

Mbak Lisda kemudian menyampaikan bahwa ada beberapa sikap yang telah dilakukan oleh YLA terkait permasalahan tersebut, yakni:

  • Mendesak pemerintah untuk melakukan tindakan tegas kepada perusahaan rokok tersebut sebagai penyelenggara audisi beasiswa bulutangkis supaya menghentikan kegiatan yang berpotensi mengeksploitasi anak dan mengambil alih upaya pembinaan bulutangkis pada anak-anak.
  • Menghimbau pemerintah, masyarakat, keluarga, pendidik, dan semua pihak untuk terus mewaspadai dan enggak terjebak dalam kegiatan promosi dan iklan terselubung produk rokok melalui bentuk kegfatan audisi semacam itu.
  • Mendesak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai Lembaga Negara untuk menjalankan tugasnya, yakni melaporkan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran hukum dan eksploitasi anak pada kegiatan audisi beasiswa bulutangkis tersebut. Hal ini sesuai dengan pasal 76 (huruf g) UU Perlindunga Anak No. 35 Tahun 2014.

Pendapat para pakar mengenai penyelenggaraan audisi beasiswa bulutangkis perusahaan rokok

Pada acara FGD hari itu juga hadir seorang psikolog Liza Djaprie (Mbak Liza) yang mengamini pendapat YLA, bahwa ada yang “mencurigakan” dalam penyelenggaraan audisi tersebut. Menurut Mbak Liza ada semacam pesan, namanya subliminal, dimana ada sebuah pesan tersembunyi yang disisipkan pada media tertentu dimana pesan ini punya tujuan untuk mempengaruhi alam bawah sadar seseorang.

Mbak Liza kemudian memberikan contoh penelitian yang dilakukan oleh James Vicary (1957). Pada waktu itu James Vicary melakukan penelitian terhadap para penonton film “Picnic” di bioskop di Fort Lee, New Jersey. Dalam beberapa adegan film tersebut disisipkan secara terus menerus iklan Popcorn dan Coca Cola. Alhasil setelah itu penjualan Popcorn meningkat sebanyak 57% dan Covca Cola naik 18,1%.

Bagaimana hal tersebut terjadi? Menurut Mbak Liza karena sebenarnya memori manusia itu terdiri dari dua bagian yakni alam sadar 10% dan alam bawah sadar 90%. Iklan-iklan tadi sepertinya dianggap sebagai pengalaman yang enggak penting, sehingga disimpan dalam alam bawah sadar.

Namun, apabila seseorang terekspose terus-terusan iklan, lalu ketemu pemicunya, maka penonton tadi akan membeli Popcorn dan Coca Cola. Demikian pula dengan brand image perusahaan rokok yang mengadakan audisi beasiswa bulutangkis tadi, menurut Mbak Liza, tinggal tunggu waktunya saja, maka entah berapa persen dari anak-anak itu pasti akan membeli rokok merek tersebut saat dewasa.

Psikolog Mbak Liza Djaprie.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan audisi badmintonnya. Tapi kenapa tulisan logo perusahaan itu ada gede di depan. Sementara tulisan Indonesia ada kecil di belakang, itu pun ditutup nomor. Kalau memang ingin berkontribusi pada bangsa kita, kenapa enggak tulisan logonya kecil saja, mengapa warna kaosnya kok menunjukkan warna produk rokoknya? Pasti ada sesuatu,” kata Mbak Liza sambil menyinggung sedikit tentang psikologi periklanan.

Mbak Liza juga mengatakan bahwa otak anak-anak bagian logikanya belum sempurna, namun bagian emosinya sangat dominan. Sehingga, ketika mereka dijejali pemikiran bahwa perusahaan rokok tersebut adalah sangat baik, sangat membantu, pemberi beasiswa, dan citra positif lainnya, mereka pasti akan menelan informasi itu mentah-mentah.

Hal tersebut sebenarnya sesuai dengan target perusahaan rokok, dimana mereka enggak mungkin menargetkan pembeli yang sudah berumur. Anak-anak dianggap target paling tepat untuk iklan rokok.

Perusahaan rokok kan cerdas. Mereka enggak mungkin nargetin orang umur empat puluh tahun ke atas. Soalnya orang seusia ini kalau enggak tobat ya sudah sakit karena sebelumnya kebanyakan merokok. Maka yang disasar ya yang kecil-kecil, dengan harapan, ketika remaja mereka mulai merokok. Anak remaja kan gitu, ada teman ngomong,’ Ah lo cemen lo enggak ngerokok’, lalu si anak ini tertantang lalu beli rokok. Saat beli kan ada banyak pilihan merek rokok, yang diingat dulu waktu kecil ikut audisi beasiswa produk rokok ini, ah beli ini saja,” jelas Mbak Liza.

Mbak Liza mengatakan bahwa anak-anak di bawah usia 18 tahun, otaknya seperti sponge. Mereka akan menyerap apa saja. Sehinggam apabila sejak kecil anak-anak sudah dibiasakan bahwa perusahaan rokok adalah “orang baik”, maka selamanya mereka akan menganggap demikian. Mereka tidak akan lagi ingat kalau rokok itu sebenarnya zat adiktif yang berbahaya.

Mas Bagja mengajak peserta FGD berdiskusi temtang eksploitasi anak.

Selain Mbak Liza, hari itu ada Bagja Hidayat (Mas Bagja) Editor Senior Tempo yang juga menyoroti tentang audisi beasiswa bulutangkis tersebut. Sebagai seseorang yang berkecimpung di media dan sering menulis tentang perusahaan rokok, Mas Bagja berpendapat bahwa audisi semacam itu merupakan cara perusahaan rokok untuk tetap survive.

Mas Bagja juga mengatakan bahwa audisi tersebut adalah cara perusahaan rokok untuk mengkomunikasikan ke masyarakat bahwa rokok itu “Barang Normal”. Padahal kan rokok itu zat adiktif? Berbahaya. Bahkan menurut data, rokok itu membunuh 20.000 orang di dunia pertahunnya.

Audisi itu adalah cara perusahaan rokok menormalkan barang yang tidak normal. Denormalisasi denormalisasi rokok. Bahwa rokok itu bantu olahraga, bantu konser musik. Ini cara marketing supaya rokok enggak dilarang-larang lagi. Audisi semacam ini adalah cara berkelit dari peraturan-peraturan yang mengatur rokok,” kata Mas Bagja.

Pendapat saya sebagai orang tua

Sebagai orang tua yang punya anak kecil, saya juga enggak ingin kelak anak-anak saya terpapar produk rokok ini. Maka, saya mendukung langkah YLA untuk mendesak pemerintah supaya menindak tegas “kejahatan” yang telah dilakukan selama bertahun-tahun oleh perusahaan rokok tersebut, dimana mereka memanfaatkan anak-anak untuk promosi mereka.

Sedangkan untuk masalah audisi beasiswa bulutangkis, seandainya mau dilanjutkan, sebaiknya pemerintah mendesak perusahaan rokok untuk menyembunyikan atributnya dari anak. Namun, tentu saja hal seperti itu enggak mungkin, karena penyelenggara audisi biasanya ingin show up namanya. Maka, menurut saya ya sekalian saja perusahaan rokok dilarang mengadakan audisi semacam ini 😀 .

Saya ketika ikut urun pendapat tentang eksploitasi anak oleh perusahaan rokok. Doc: YLA.

Maka, opsi kedua, saya berharap pemerintah bisa lebih tegas lagi soal rokok. Salah satunya, tentu saja sebaiknya melarang dengan tegas perusahaan rokok mensponsori event olahraga, baik dalam hal audisi, pertandingan, dll. Terlebih lagi yang melibatkan anak-anak. Oh iya, FYI, dari FGD tersebut saya mendapat informasi bahwa ternyata beberapa negara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dll, bahkan organisasi olahraga internasional telah melarang perusahaan rokok menjadi sponsor dalam event olahraga. Maka, pertanyaannya:

Kalau pemerintah negara lain bisa tegas melarang perusahaan rokok mensponsori event olahraga, mengapa negara kita enggak?”

Mengapa pemerintah Indonesia enggak pernah tegas mengatur soal rokok? Padahal kalau soal alkohol bisa? Padahal rokok ini masuk ke zat adiktif yang berbahaya?”

Lebih bahaya mana, rokok atau alkohol? Orang minum alkohol yang sakit ya dirinya/ tubuhnya sendiri. Orang merokok yang kena dampak enggak cuma dirinya sendiri, namun juga orang lain yang terkena asapnya. Jadi lebih bahaya mana?”

Ketiga, saya berharap pemerintah mengambil alih pembinaan atlet-atlet muda bulutangkis Indonesia. Kalau pun pemerintah enggak bisa bertindak sendiri, ya bisa saja melibatkan perusahaan lain yang “lebih normal”, seperti perusahaan sepatu olahraga, perusahaan farmasi, perusahaan air minum mineral, perusahaan makanan, dll. Tentu saja, sebaiknya pemerintah juga mengatur/ memfasilitasi supaya perusahaan-perusahaan tersebut mendapat keuntungan, sehingga sama-sama saling memberi manfaat.

Keempat, sebagai orang tua saya memberi saran kepada orang tua yang mungkin anaknya menyukai bulutangkis, sebaiknya mencari channel lain untuk melejitkan bakat anaknya. Pasti ada caranya, kalau mau berusaha mencari jalan lain. Sebaiknya menjauhi perusahaan rokok untuk membantu kesuksesan anaknya. Bulutangkis olahraga untuk kesehatan, kalau disupport perusahaan rokok, hmmm rasa-rasanya janggal.

Demikian teman-teman cerita soal FGD hari itu dan sedikit pendapat saya mengenai temuan/ laporan YLA tentang dugaan eksploitasi anak oleh perusahaan rokok dalam audisi beasiswa bulutangkis. Semoga pesan dalam tulisan ini bisa kita renungkan bersama, ya teman-teman. Khususnya mengenai betapa enggak normalnya perusahaan rokok menggelar event olahraga yang berhubungan dengan kesehatan. Sungguh sebenarnya bukan sesuatu yang normal! Apabila kita mau memikirkannya…

April Hamsa