Beberapa waktu yang lalu saya membawa anak-anak mengunjungi salah seorang teman yang berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah swasta. Saat anak-anak saya mulai rewel, teman saya mengeluarkan sekantung bola plastik berwarna-warni. Saya merasa aneh, mengapa teman saya memiliki mainan bola-bola seperti itu, padahal setahu saya teman saya itu belum menikah dan tinggal sendirian di rumah itu. Terlebih lagi, pada bola-bola itu tertempel beberapa pertanyaan-pertanyaan semacam tebak-tebakan simple.

“Ini bola siapa?” Tanya saya penasaran.

“Bolaku. Buat main murid-muridku di sekolah,” katanya.

“Lha, murid-muridmu kan anak SMA, masa mainan bola kayak gini?”

“Iya, supaya mereka betah di sekolah jadi Aku ajak aja main-main kayak gini,” teman saya memberi penjelasan.

Teman saya adalah guru di salah satu sekolah yang menerapkan konsep full day school. Menurutnya, sebagai guru dia merasa kasihan kepada murid-muridnya yang harus bersekolah dari pagi hingga sore. Belum lagi setumpuk oleh-oleh Pekerjaan Rumah (PR) juga selalu dibebankan kepada murid-muridnya oleh beberapa rekan gurunya. Sehingga, teman saya berusaha mencari cara supaya murid-muridnya tidak bosan berada di sekolah. Setiap kali teman saya itu mengajar di kelas, dia berusaha tidak menggunakan cara konvensional, melainkan dengan menyelipkan permainan-permainan dan cara-cara belajar lain yang atraktif.

“Belajar itu gampang, lha. Ini yang penting anak-anak ini harus senang dulu berada di sekolah. Kalau anak sudah nyaman di sekolah, maka apa yang mereka pelajari juga gampang masuknya,” kata teman saya.

Memang, salah satu risiko konsep full day school adalah dapat membuat tingkat stress anak meningkat apabila suasananya membosankan. Oleh sebab itu, pihak sekolah khususnya guru harus memutar otak bagaimana caranya menciptakan suasana belajar mengajar yang dapat dinikmati oleh anak sepanjang hari sampai bel sekolah tanda pulang berbunyi.

Cerita teman saya itu membuat saya tertarik untuk lebih mengenal konsep full day school. Apalagi beberapa waktu lalu mencuat wacana bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof. Muhadjir Effendy akan menerapkan konsep full day school untuk seluruh sekolah di Indonesia. Konon, tujuannya adalah untuk menghindarkan anak didik dari kegiatan-kegiatan negatif di lingkungan luar sekolah.

Sekilas tujuannya memang bagus ya? Saya beberapa kali melihat anak-anak sepulang sekolah nongkrong di pinggir jalan. Ada yang merokok, ada yang pacaran, ada pula yang sekedar duduk-duduk dan bercanda enggak jelas. Pertanyaan dalam kepala saya, “Kok anak-anak ini enggak langsung pulang ke rumah? Apa enggak lapar dan capek abis sekolah masih sempat nongkrong?” Hhmmm, kalau anak-anak itu tetap berada di sekolah sampai sore, pulang-pulang pasti capek dan ingin cepat-cepat kembali ke rumah kali, ya? enggak pakai nongkrong di pinggir jalan lagi?

Pertanyaannya sekarang, apakah benar hanya dengan cara menerapkan konsep full day school, anak-anak bisa terbentuk karakter baiknya? Sepertinya kita perlu melihat lagi kelebihan dan kekurangan dari konsep full day school ini. Berikut yang berhasil saya catat kelebihan dan kekurangan konsep full day school:

Kelebihan:

  • Kegiatan anak setiap hari bisa lebih terkontrol.
  • Guru dapat lebih menggali potensi dan membantu pengembangan bakat anak lebih cepat.
  • Anak dapat maksimal belajar di seolah di bawah bimbingan guru.
  • Sesama murid menjadi lebih dekat.

Kekurangan:

  • Tingkat stress dan kebosanan yang tinggi jika metode belajar mengajarnya keliru.
  • Anak-anak dapat kehilangan waktu berkualitas dengan keluarganya.
  • Biaya yang harus dikeluarkan bisa lebih tinggi.

Kalau menurut saya, full day school ini sebenarnya konsep yang bagus, namun banyak persyaratan yang perlu dipenuhi sebelum menuju dimasukkan ke dalam sistem pendidikan di Indonesia. Seandainya pemerintah jadi memberlakukan konsep full day school ini, maka pemerintah dengan pihak-pihak penyelenggara pendidikan di Indonesia hendaknya harus duduk bersama untuk memikirkan supaya kekurangan sistem ini teratasi. Berikut adalah beberapa pemikiran saya tentang apa yang sebaiknya pemerintah lakukan jika ingin konsep full day school berjalan:

Menciptakan kurikulum yang ramah anak.

Artinya tidak membebani anak dengan banyak mata pelajaran. Sistem Satuan Kredit Semester (SKS) seperti anak kuliahan mungkin bisa diterapkan. Jadi, anak hanya akan mempelajari mata pelajaran sesuai minatnya. Pemerintah juga sebaiknya membuat Sabtu menjadi hari libur untuk anak-anak sekolah, supaya ada dua hari dalam seminggu dimana anak-anak memiliki waktu berkualitas dengan keluarganya di rumah.

Jangan sampai mengabaikan kesiapan fisik dan mental anak.

Kalau saya pribadi konsep full day school ini sebaiknya diterapkan untuk usia tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) saja, dimana secara fisik maupun mental para calon mahasiswa ini lebih siap. Kalau anak usia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sepertinya masih lebih perlu banyak bersama keluarganya, sebab dari segi usia juga mereka masih teritung “anak kemarin sore”.

Berikan sarana dan fasilitas sekolah yang terbaik (dan pastikan pembangunannya merata dari Sabang sampai Merauke, jangan hanya di kota-kota besar saja).

Pemerintah sebaiknya mendukung kegiatan belajar mengajar di sekolah dengan membangun sarana dan fasilitas sekolah yang terbaik. Jangan sampai membebani sekolah apalagi orang tua murid.

Menyejahterahkan guru.

Pemerintah harus memberi gaji sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan oleh guru-guru pengajar di sekolah.

Menyiapkan guru berkualitas dan berkarakter.

Pemerintah harus benar-benar menyediakan guru-guru yang berkualitas dan berkarakter supaya dapat mendidik murid-murid dengan baik. Caranya dengan memberikan pelatihan-pelatihan maupun kesempatan kepada guru untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi supaya kemampuan mengajarnya pun lebih baik lagi.

Konsep yang baik memang butuh banyak waktu, tenaga, pikiran dan biaya yang tidak sedikit. Kritik masyarakat terhadap konsep full day school sebaiknya ditangapi oleh pemerintah dengan baik. Jika sistem pendidikannya baik, maka karakter baik pada anak pun akan terbentuk. Tentu saja, butuh kerja keras maupun kerja sama dari semua pihak untuk memikirkan dan mematangkan setiap konsep yang akan diterapkan untuk pendidikan di Indonesia. Jangan sampai konsep yang masih prematur tiba-tiba diwacanakan lalu buru-buru diterapkan, padahal tidak ada kesiapan dari pemerintah maupun pihak-pihak terkait dari penyelenggara pendidikan. Apapun itu, semoga sih, yang terbaik untuk bangsa ini, ya? Kalau menurut teman-teman, bagaimana?

Surabaya, 23 Agustus 2016

April Hamsa

Note: Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan dari artikel Yuniari Nukti yang berjudul Ketika Jam Belajar Merenggut Kebebasan Bermain Siswa di website www.emak2blogger.com.

Save