Yeaaayy, alhamdulillah, keturutan juga mengajak anak-anak jalan-jalan ke Rangkasbitung (tanggal 16 Desember 2022 lalu). Mumpung udah liburan sekolah. Jalan-jalan ke sananya naik commuter line (KRL).

Touch down Stasiun Rangkasbitung.

Baca juga: Ide Liburan Sekolah Anak di Dalam Kota (Jabodetabek) Saja 

FYI, Rangkasbitung adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, yang terkenal sebagai salah satu daerah dengan jejak peninggalan Belanda-nya.

Pernah dengar nama Eduard Douwes Dekker atau yang lebih terkenal dengan nama Multatuli kaaann? Yak, betul beliau adalah si penulis buku Max Havelaar yang isinya tentang kritik atas kesewenang-wenangan pemerintah Belanda di masa itu. Padahal, saat itu, beliau ini aslinya bekerja sebagai sebagai pegawai pemerintah Belanda, lho. Yaaa, mungkin itu sebabnya pakai nama pena atau samaran Multatuli ya?

Papan yang menginformasikan obyek wisata di Banten.

Naaahh, Pak Multatuli ini rumahnya berada di Rangkasbitung. Katanya sih sampai sekarang masih ada bekas bangunannya, namun enggak terawat gitu, deh. Cuma saya enggak tahu persis letaknya di mana. Mungkin, teman-teman bisa googling sendiri ya.

Meski begitu, jejak Multatuli di sana tetap abadi. Nama beliau dijadikan sebagai nama museum yang terkenal di Rangkasbitung, Namanya, Museum Multatuli.

Selain Multatuli, Rangkasbitung juga identik dengan masih banyaknya bangunan-bangunan khas Belanda. Sebut saja mulai dari stasiunnya (Stasiun Rangkasbitung), Rumah Tinggal Vereniging Oost Indische Compagnie (VOC), Residentie Van Max Oil, dll.

Sayangnya, waktu ke sana, saya enggak sempat menjelajahi semua, soalnya saya bawa anak-anak plus perginya dadakan. Jadi, cukup dua tempat yang kami kunjungi saat itu, yakni Museum Multatuli dan Perpustakaan Saidjah Adinda yang merupakan perpustakaan daerah terbesar di Banten.

Berhasil juga jalan ke Rangkasbitung.

Kedua tempat itu berada di satu area. Sebelah-sebelahan aja. Lokasinya persis di depan Alun-alun Rangkasbitung.

Selain itu, Rangkasbitung juga identik dengan Suku Baduy. Iyes, kalau mau ke pemukiman Suku Baduy, biasanya orang-orang (yang naik kendaraan umum) mampir ke sini dulu.

Saya sendiri alhamdulillah sudah pernah ke Suku Baduy, sepertinya sekitar tahun 2016-2017-an. Kelupaan kapan tepatnya, karena enggak buru-buru diabadikan di blog ini, huhu. Nanti, saya mau cari deh fotonya, supaya bisa saya tulis di blog ini juga buat kenang-kenangan 😛 .

Itulah pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Rangkasbitung. Trus, saat terakhir ke sana, kemarin itu, ternyata udah banyak yang berubah. Seingat saya dulu begitu keluar stasiun, langsung disambut pasar tradisional dan terminal angkot. Namun kemarin nemunya malah ruko-ruko modern, hehe. Yah, mungkin sayanya aja yang buta denah 😛 .

Oh ya, trus baru ngeh kalau enggak cuma Suku Baduy saja yang bisa kita kunjungi start dari Rangkasbitung. Kemarin tuh lihat di papan informasi di stasiun mengenai beberapa objek wisata ikonik di Banten yang lain, seperti: Taman Nasional Ujung Kulon, Pantai Sawarna, Curug Cipicung, Hutan Pinus Cisidin, Kebun Teh Harendong, Gunung Luhur, dll. Banyak eui.

Tapiii, ya, lagi-lagi karena dadakan, hari itu saya dan anak-anak cukup puas melihat Alun-alun Rangkasbitung, Perpustakaan Saidjah Adinda, dan Museum Multatuli.

Nungguin temen satu lagi.

Seperti yang saya sebut sebelumnya, hari itu kami dadakan ke sananya. Jadi, ceritanya ada teman sekolah (online) Maxy yang belum pernah kopdaran, padahal rumah kami deketan. FYI, Maxy sekolah di Sekolah Murid Merdeka yang sistemnya blended learning, sehingga jarang ketemu teman-teman satu kelas/ sekolah kalau enggak ada kegiatan offline.

Trus, kami janjian kopdaran gitu. Biar seru, akhirnya kami janjian ke Rangkasbitung yang jaraknya cuma satu jam lebih dikit dari area rumah kami kalau naik KRL. Singkat cerita, kami pelesir bareng-bareng, deh ke Rangkasbitung.

Sampai Stasiun Rangkasbitung, ternyata ada satu lagi temannya Maxy yang rumahnya di area lain tetapi masih sejalur KRL nyamperin. Akhirnya, menunggu sekitar 30 menitan dulu di stasiun.

Setelah semuanya ngumpul, kami langsung melanjutkan perjalanan ke Museum Multatuli. Tadinya mau naik angkutan umum (angkot). Namun, saya cek ternyata ada kendaraan online, yawda naik itu aja, deh. Kalau enggak salah tarif mobil online dari stasiun ke museum (alun-alun) tuh Rp, 20 ribu hingga Rp. 25 ribuan.

Nunggunya di toko namanya Nice So, ya. Jadi, keluar dari stasiun, nanti menuju jalan raya. Kemudian, jalan kaki ke kiri, ke arah rel kereta, dan nyeberang rel ya. Nanti ketemu kok deretan toko Nice So ini.

Kalau naik angkot sepertinya di tempat yang sama juga bisa. Trus, jika mau naik ojol lebih gampang lagi, karena ada titik penjemputannya di dalam pagar Stasiun Rangkasbitung.

Di depan pintu masuk ke area museum.

BTW, satu hal yang saya salut dari orang-orang Rangkasbitung adalah ketika mereka mengetahui kalau kami mau naik kendaraan online, mereka tetep ramah gitu. Enggak ngegas seperti orang-orang yang ada di terminal/ stasiun di Jakarta dan sekitarnya kalau ada orang ketahuan mau naik kendaraan online dari situ. Malah, kami dikasi tau di mana bisa nungguin kendaraan online-nya, lho.

Tak lama kemudian, kendaraan online yang kami pesan tiba. Cepet aja sih nyampek museum, paling enggak sampai 10 menitan. Malah lebih lama nungguin mobil tadi, hehe.

Ternyata di depan museum/ alun-alun ada event festival, gitu. Ada dua event, Festival Kopi dan satu lagi kalau enggak keliru Festival UMKM Kuliner. Kami cuma ke Festival Kopi aja, sepulang dari mengunjungi perpus dan museum.

Festival Kopi Lebak.

Berkat Festival Kopi saya jadi tahu kalau ternyata di era kolonial, Lebak tuh terkenal sebagai penghasil dan pemasok kopi ke berbagai belahan dunia. Nanti, kalau teman-teman masuk ke Museum Multatuli akan paham deh tentang sejarah kopi di Lebak, Banten ini.

Berfoto di dalam Museum Multatuli.

Katanya Kopi Lebak terkenal akan kualitas dan cita rasanya. Namun, enggak tahu mengapa kok di era sekarang agak redup ya? Adanya Festival Kopi ini sepertinya supaya petani kopi di Lebak bisa bangkit kembali seperti dulu mungkin ya?

Balik lagi ke museum/ perpus, lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Perpustakaan Saidjah Adinda. Sayangnya, waktu itu kami nyampeknya agak siang, mefet ke jam istirahat perpus, sehingga cuma bisa berada di sana sekitar kurang lebih 40 menitan saja.

Perpustakaan Saidjah Adinda.

Namun, enggak pa pa, anak-anak masih bisa bermain dan membaca sebentar di perpus khusus anaknya. Nanti mengenai perpustakaan ini saya ceritakan di postingan yang berbeda ya.

Tepat pukul 11.00 WIB, karena hari itu Hari Jumat, layanan perpustakaan istirahat sebentar. Mereka akan buka lagi jam 13.00 WIB.

Eh, ternyata temannya Maxy yang tadi nyusul jam 14.00 WIB ada les, jadi mereka balik duluan. Yawda, berpisah deeehh. Padahal, belum sempat poto-poto barengan, hehe.

Baca juga:  Cerita Jalan-Jalan ke Kota Bogor

Yawda, sambil menunggu perpus buka kembali, rombongan kami yang tersisa akhirnya berfoto-foto aja di halaman museum/ perpus. Museumnya juga tutup, soalnya.

Trus, karena anak-anak lapar, kami kemudian mencari warung yang buka. Enggak nyari di Festival UMKM karena sepertinya banyak gerai tutup (mungkin orangnya Jumatan).

Untungnya di sekitar museum ada beberapa rumah makan. Kami pun mampir ke depot bakso yang tak jauh dari sana. Pas makan, eh, pas hujan. Namun, alhadmulillah, cepat redanya, tepat setelah kami selesai makan.

Makan bakso dulu.

Selesai makan sekitar pukul 13.00 WIB, kami pun kembali ke perpus untuk numpang sholat. Setelah sholat, kami mengunjungi Museum Multatuli.

Menurut saya bangunan museum yang sering dikira rumah asli Multatuli ini mungil aja, sih. Koleksinya enggak terlalu banyak, namun menurut saya sudah mampu mewakili apa yang ingin ditunjukkan mengenai sejarah Lebak atau Banten secara umum.

Tentu saja, sesuai namanya, koleksi buku-buku Multatuli juga dipamerkan di sini. Bukunya juga ada yang sudah didigitalisasi lho, sehingga pengunjung museum bisa membaca isinya. Ada terjemahan Bahasa Indonesianya juga.

Ntar, mengenai Museum Multatuli ini rencananya juga mau saya tulis terpisah di postingan berikutnya ya (insyaAllah).

Puas main di perpus dan museum, kami pun mampir ke Festival Kopi untuk membeli oleh-oleh. Saya membeli kopi dan keripik pisang buat oleh-oleh ayahnya anak-anak di rumah (kebetulan saat itu WFH).

Beli oleh-oleh di Festival Kopi Lebak.

Setelah itu, kami kembali ke stasiun deh untuk pulang. Kali ini, dari museum ke stasiun, kami enggak naik kendaraan online lagi, melainkan naik angkutan umum.

Nanya-nanya ke orang, ternyata kalau mau naik angkutan umum harus berjalan sekitar yaaa 700 meteran gitu ke persimpangan jalan. Ya gpp sih, sambil lihat-lihat kota juga. Lagipula jalan rayanya sepi. Malah, kami pesimis beneran bisa dapat angkot enggak, sih.

Nyari angkot.

Setelah 10 menit menunggu, saya udah mau memesan kendaraan online lagi, tuh, eeehh, tiba-tiba muncul angkot berwarna merah. Saya pun bertanya apakah arahnya ke stasiun. Pengemudinya bilang, “Iya.”

Akhirnya naik angkutan umum itu, deh. Kalau enggak salah dua orang dewasa, tiga anak kecil, dan satu balita kena charge Rp. 20 ribu. Lupa berapa persisnya, soalnya waktu itu yang bayarin ibunya temannya Maxy, hehe.

Tak lama kemudian kami tiba di stasiun lagi dengan disambut gerimis. Lanjut baik KRL kembali pulang, deh.

Itulah cerita mengajak anak-anak jalan-jalan ke Rangkasbitung (dadakan) hari itu. Menurut saya, bepergian ke Rangkasbitung bisa menjadi alternatif liburan sekolah yang murah meriah, khususnya buat yang tinggal di Jabodetabek. Rangkasbitung juga salah satu destinasi yang tepat untuk belajar tentang literasi, budaya, serta sejarah kolonial Belanda.

Naik angkot merah ini ke Stasiun Rangkasbitung.

Berdasarkan pengalaman tersebut, saya mau sekadar berbagi tips nih, kalau misalnya ada teman-teman yang mau mengajak anaknya juga ke sana, yakni:

  • Datang lebih pagi ya. FYI, Perpustakaan Saidjah Adinda dan Museum Multatuli buka jam 08.00 WIB dan istirahat pukul 12.00 WIB (kecuali Jumat pukul 11.00 WIB). Kalau datang pagi juga bisa sempat bermain di alun-alun.
  • Kalau mau kulineran seputar perpus/ museum bisa, sih. Namun, menurut saya kalau enggak mau repot mencari rumah makan yang cocok bawa bekal makanan saja dari rumah.
  • Jangan lupa bawa payung atau jas hujan, karena kadang di sana hujan.
  • Persiapkan uang kecil/ receh untuk naik angkot. Menurut saya orang-orang sana ramah-ramah kok, jadi jangan khawatir digetok harga atau gimana. Namun, kalau mau naik kendaraan online ya enggak pa pa, sih. Cuma menurut saya, vibes jalan-jalannya lebih terasa kalau naik angkutan umum. Selain bisa memberikan pelajaran naik angkot juga buat anak-anak 😀 .

Yaaa, itu saja sih tipsnya. Nantikan kelanjutan postingan ini yang menceritakan tentang kunjungan ke Museum Multatuili dan Perpustakaan Saidjah Adinda yaaa 😀 .

April Hamsa