Kampung Budaya Sindangbarang Bogor – Ketika liburan long weekend, tanggal 5-6 Mei lalu, kami sekeluarga memilih untuk bergeser ke Bogor. Kami memilih moda transportasi umum Commuter Line (KRL). Dari rumah kami di Depok hingga tiba di Bogor, hanya butuh waktu kurang dari setengah jam dengan KRL. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan dengan naik taksi menuju hotel tempat kami menginap. Sebenarnya, tujuan kami ke Bogor hanya untuk beristirahat alias pindah tidur. Tujuannya, tentu saja, supaya saya (sebagai emak-emak di rumah) bisa menghindari agenda beberes, mencuci, memasak, dan seabreg kegiatan rumah tangga lainnya, yang tak abis-abis. Sesekali boleh donk, menikmati liburan panjang?

Tapi, setelah dipikir-pikir, masa seharian ngendon di hotel? Kan, nggak seru. Akhirnya, kami memutuskan untuk jalan-jalan di Kota Bogor. Tadinya, kami mau ke Kebun Raya atau sekedar melihat-lihat komplek Istana Bogor. Tapi, mengingat saat liburan panjang kedua tempat itu pasti ramai wisatawan, akhirnya kami mengurungkan niat ke sana. Lagipula, toh, kalau mau ke area Kebun Raya dan Istana, bisa dilakukan saat weekend biasa. Aksesnya pun mudah dari Stasiun Bogor, tinggal naik angkutan umum sekali. Akhirnya, berbekal referensi dari adik saya yang kebetulan kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB), kami memutuskan pergi ke Kampung Budaya Sindangbarang.

Sebenarnya, adik saya sendiri juga belum pernah ke Kampung Budaya Sindangbarang ini. Dia hanya pernah mendengar dari teman dan membaca di internet. Maka, adik pun turut serta menuju ke sana, menemani kami. Kebetulan pula, kami mendapat sopir taksi yang “asyik”. Pak Sopir bersedia mengantarkan kami menuju ke sana. Meskipun sebenarnya Pak Sopir sendiri, belum tahu dimana letak Kampung Budaya itu berada. Tapi, menurutnya, dia pernah membaca artikel tentang Sindangbarang di majalah perusahaan taksinya. Pak Sopir juga ikut penasaran dimana lokasinya.

Kami sempat kesasar di jalan saat menuju Kampung Budaya Sindangbarang. Ketika bertanya kepada beberapa orang tentang Sindangbarang, jawaban kebanyakan orang yang ditanya adalah “tidak tahu”. Hingga akhirnya ada satu orang yang bilang kalau menuju ke sana, harus pergi ke arah Ciapus dulu. Menurutnya, di sana orang-orang lebih familiar dengan Sindangbarang. Benarlah, saat sudah di area Ciapus, orang-orang dengan mudahnya menunjukkan arah menuju ke sana.

Jalan menuju Kampung Budaya Sindangbarang lumayan rumit. Jalannya sedikit menanjak dan berkelok-kelok. Ada yang melewati perkampungan penduduk dan jalannya pun sempit. Tak lama kemudian, kami tiba di area perkampungan dengan tanah lapang yang luas. Ternyata tanah lapang itu adalah parkiran mobil. Ada dua mobil dan satu bus pariwisata ukuran kecil terparkir di sana, saat kami datang.

Lapangan parkir yang disediakan untuk pengunjung Kampung Budaya Sindangbarang.

Pada mulanya kami bingung, dimana letak kampungnya, kok, di sekitar area parkir bangunan rumahnya sama seperti rumah pada umumnya. Kemudian kami bertanya pada penduduk lokal dan diberitahu kalau kampungnya agak masuk ke dalam. Jadi, kami harus berjalan kaki dulu sekitar 100 meteran menuju kampung yang dimaksud. Jalannya masih berbatu dan agak menanjak.

Sampai di Sindangbarang, kami disambut pagar gerbang yang terbuat dari bambu. Kami langsung masuk ke sana dan menemui petugas yang ada di sana, yang bernama Pak Ukat. Kemudian, kami dikenai tiket seharga Rp. 15.000,- per orang. Untuk anak balita seusia Maxy dan Dema (anak-anak saya), free. Dengan tiket di tangan, kami bebas melihat-lihat apa saja yang ada di dalam area Kampung Budaya Sindangbarang.

Jalan berbatu dan menanjak menuju Kampung Budaya Sindangbarang.

Gerbang/ pintu masuk Kampung Budaya Sindangbarang.

Oh iya, for your information Kampung Sindangbarang adalah salah satu kampung tertua di Bogor. Hal ini dibuktikan dengan disebutnya nama Sindangbarang di naskah Pantun Bogor dan Babad Pajajaran. Menurut Pantun Bogor, Sindangbarang sudah ada sejak jaman Kerajaan Sunda, kurang lebih sekitar abad XII.

Pada jaman dahulu, terdapat suatu Kerajaan Bawahan yang bernama Sindangbarang, dengan ibu kotanya yang bernama Kutabarang. Menurut cerita rakyat, di kampung inilah tempat digemblengnya para satria-satria kerajaan. Sedangkan dalam Babad Pajajaran, disebut bahwa Sindangbarang adalah salah satu daerah penting dari Kasepuhan Pajajaran. Sebab di tempat ini terdapat salah satu keraton tempat tinggal salah seorang istri dari Prabu Siliwangi yang bernama Dewi Kentring Mayang Sunda.

Putra Prabu Siliwangi dengan Dewi Kentring Mayang Sunda yang bernama Guru Gantangan lahir dan besar di Sindangbarang. Di kampung ini, hingga sekarang masih terdapat banyak situs peninggalan Kasepuhan Pajajaran. Ada sekitar 93 titik sebaran situs purbakala yang ditemukan di Sindangbarang. 33 situs diantaranya berupa bukit berundak, peninggalan Kasepuhan Pajajaran, yang dulunya dipakai sebagai sarana beribadah pada jaman itu. Berdasarkan catatan sejarah tersebut, maka pada tahun 2007, Sindangbarang diresmikan sebagai Kampung Budaya oleh Gubernur Jawa Barat pada masa itu.

Kampung Budaya Sindangbarang yang masih alami dan asri.

Area Kampung Budaya Sindangbarang terdiri dari beberapa fasilitas dan bangunan, antara lain:

  • Alun-alun: lapangan rumput luas untuk beraktivitas, seperti olah raga atau melakukan permainan tradisional.

  • Replika lumbung padi dan rumah tradisional khas Sunda. Bangunan ini masih digunakan untuk ritual/ upacara adat yang rutin diadakan setiap tahun. Namanya Upacara Seren Taun. Menurut Pak Ukat, Upacara Saren Taun ini dilakukan dengan cara arak-arakan hasil panen, menyimpan di lumbung, lalu berdoa bersama, sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas panen yang berlimpah.

  • Aula atau Balai Pangriungan: tempat orang-orang bisa mengadakan event, berdiskusi, atau sekedar duduk-duduk bersama.

  • Imah Gedhe atau Rumah Kepala Adat.
  • Penginapan: ada beberapa rumah yang disediakan untuk tempat menginap. Ada yang terdiri dari dua kamar, ada pula yang hanya berisi satu kamar. Rumah paling besar terdiri dari empat kamar.

  • Mushola. Mushola ini diberi nama Balai Tajuk Agung. Dalam Bahasa Sunda Balai Tajuk Agung artinya tempat semedi, tempat berdoa kepada Sang Pencipta. Balai Tajuk Agung ini diresmikan pada tahun 2011.

  • Kamar mandi di luar bangunan rumah dengan sumber air asli dari mata air di bukit yang ada di Sindangbarang.

  • Tempat menumbuk padi.

  • Tracking area: ada sawah, kebun, kolam ikan untuk wisatawan bernostalgia akan suasana pedesaan masa lampau yang masih asri. Kampung Budaya ini memang dikelilingi oleh sawah, sungai, dan perbukitan.

Alun-alun Kampung Budaya Sindangbarang.

Tempat menumbuk padi.

Maxy menikmati bunyi lesung dan alu.

Imah Gedhe atau Rumah Kepala Adat.

Lumbung padi yang hingga saat ini masih dipakai untuk upacara adat.

Aula utama atau Balai Pangriungan.

Tajuk Bale Agung.

Kamar mandi dan WC umum.

Balai riung kecil.

Wisatawan memang disuguhi suasana pedesaan masa lampau yang masih asri di sana. Untuk menginap di Kampung Budaya Sindangbarang tersedia paket, antara lain paket keluarga atau paket grup. Untuk paket keluarga, akan dikenakan biaya sebesar:

  • Satu rumah (satu/ dua kamar) Rp. 1.800.000,- (maksimal 7 orang).

  • Satu rumah (empat kamar) Rp. 3.600.000,- (maksimal 14 orang).

Sedangkan untuk paket grup, minimal 30 orang, dengan biaya masing-masing sebesar Rp. 300.000,-/ orang. Biasanya yang memanfaatkan paket grup ini adalah mereka yang melakukan outbound, seperti murid-murid sekolah, mahasiswa, maupun karyawan perusahaan. Fasilitas yang didapat adalah menginap sehari semalam, makan/ konsumsi tiga kali, dua kali coffee break/ snack time, pertunjukan kesenian, belajar permainan tradisional, tracking ke situs-situs purbakala peninggalan Kasepuhan Pajajaran, pengenalan cara bercocok tanam, dan menangkap ikan di sungai.

Beberapa tipe rumah/ kamar yang disewakan.

Suasana kamar khas pedesaan.

Meskipun letaknya di kampung, namun sebenarnya lokasi Kampung Budaya Sindangbarang ini tak jauh dari pusat Kota Bogor. Iseng, saya cek di Google Maps, ternyata jarak dari Istana Bogor menuju Sindangbarang cuma kurang lebih sekitar 8 km. Bisa ditempuh sekitar 30 menit saja, jika jalanan tidak macet. Untuk menuju ke sana dengan menggunakan transportasi angkutan umum, saya mendapat informasi sebagai berikut:

  • Dari Stasiun Bogor: naik Angkot 02 jurusan Terminal Laladon-Sukasari, turun di Bogor Trade Mall (BTM). Kemudian, oper Angkot 03 Jurusan Ciapus-Ramayana yang ada tanda SBR (Sindangbarang).

  • Dari Terminal Bus Baranang Siang Bogor: naik Angkot 13 jurusan Bantar Kemang-Ramayana atau Angkot 06 jurusan Ciheuleut-Ramayana, turun di BTM. Lalu, ganti naik Angkot 03 yang ada tanda SBR.

Atau kalau mau lebih mudah, saran saya gunakan saja kendaraan pribadi atau sewa kendaraan. Sebab, ketika saya ke sana beberapa waktu lalu, saya lihat Angkot 03 tidak berhenti tepat di jalur masuk Sindangbarang, melainkan agak jauh sedikit. Jadi, pengunjung/ wisatawan masih harus berjalan kaki agak lumayan menuju Sindangbarang. Buat keluarga yang membawa anak kecil, sepertinya agak tidak nyaman berjalan kaki. Keburu anaknya rewel duluan, sebelum menikmati keindahan lokasi yang dituju 😀 .

Saya, adik, dan anak-anak di depan lumbung padi.

Saya sekeluarga berpose bersama Pak Ukat.

Bagi yang penasaran dengan Kampung Budaya Sindangbarang, berikut informasi beserta contact person (CP) yang bisa dihubungi:

Kampung Budaya Sindangbarang

    • Alamat: Jl. Endang Sumawijaya, RT 02/ RW 08, Sindang Barang, Dukuh Menteng, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Bogor, Jawa Barat, Indonesia.
    • Website: www.kp-sindangbarang.com
    • CP: Pak Ukat 08567371489

Kami sekeluarga, berencana ingin ke sana lagi. Sebab, belum merasakan pengalaman menginap di Kampung Budaya Sindangbarang. Sebelumnya, kami tidak mengetahui bahwa di sana ada penginapannya juga. Jadi, sudah terlanjur booking hotel lain. Semoga suatu saat nanti ada kesempatan menginap di sana.

Depok, 15 Mei 2016

April Hamsa