Alfred Russel Wallace. Bagi saya, nama ini mengingatkan pada pelajaran Biologi zaman sekolah dulu tentang pembagian fauna di Indonesia. Masih ingat kan tentang garis Wallace dan garis Weber? 😀 Ternyata, penjelajah sekaligus peneliti asal Inggris ini tak hanya meninggalkan “garis khayal” yang memisahkan wilayah hewan Asia dengan hewan Australia untuk Indonesia, namun juga mewariskan catatan kuliner yang kini populer dengan sebutan kuliner Wallacea.

Alfred Russel Wallace. Sumber gambar: Wikipedia.

Hmmm, kalau dipikir-pikir, apa yang dilakukan oleh Pak Wallace ini sebenarnya hal yang lumrah, sih, ya? Kita pun kalau traveling ke suatu daerah asing, pasti juga akan mencari makanan khas daerah tersebut kan? Bahkan, teman-teman yang punya blog atau medsos dengan sukarela akan mendokumentasikan kuliner khas daerah tersebut untuk kenang-kenangan.

Garis Wallace. Sumber gambar: Wikipedia.

Begitu pula Pak Wallace. Mungkin pada waktu itu berpikiran untuk mendokumentasikan kuliner di sepanjang zona transisi antara Asia dan Australia ini, baik untuk pengetahuan yang bisa dibagikan ke koleganya, maupun untuk kenang-kenangan. Dokumentasi yang dibuat oleh Pak Wallace ini hingga kini terkenal sebagai sebuah buku berjudul “The Malay Archipelago”.

Amazing-nya, Pak Wallace ini tidak hanya meninggalkan dokumentasi berupa catatan, namun juga ilustrasi berupa bahan-bahan makanan, bentuk masakan, cara pembuatan makanan, dll. Mungkin, kalau Pak Wallace masih hidup saat ini, beliau bakalan jadi travel bloger yang keren banget kali ya? 😀

The Malay Archipelago. Sumber gambar: Wikipedia.

BTW, cerita tentang Pak Wallace yang mewariskan dokumentasi mengenai kuliner Wallacea ini saya dapatkan dari ikutan acara webinar bertajuk “Jelajah Alam dan Kuliner Wallacea” yang diselenggarakan oleh Omar Niode Foundation bersama The Climate Reality Project Indonesia dan World Travel Day pada tanggal 18 April kemarin.

FYI, webinar ini diselenggarakan dalam rangka memperingati World Food Travel Day yang jatuh pada 18 April. 

Erik Wolf dari World Food Travel Assosiation.

World Food Travel Day yang dirayakan setiap tanggal 18 April adalah hari yang dirancang untuk merayakan budaya kuliner dan kegembiraan kita bepergian untuk menikmati makanan dan minuman,” jelas Bapak Erik Wolf, Executive Director World Food Travel Assosiation, sebuah asosiasi yang mengumpulkan para pelaku bidang pariwisata kuliner yang anggotanya terdiri dari banyak komunitas maupun pengusaha pariwisata dan kuliner di seluruh dunia, dalam video sambutannya saat webinar. 

Selain untuk memperingati World Food Travel Day, webinar ini juga diselenggarakan untuk memperingati Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April. Soalnya, yang namanya pangan lokal (Wallacea) itu biasanya basic-nya adalah protein nabati dan ikan yang merupakan makanan ramah iklim.

Kuliner Wallacea yang mendunia

Dalam kesempatan kali ini, Amanda Katili Niode (Ibu Amanda) yang merupakan founder Omar Niode Foundation sekaligus Ambassador World Food Travel Association mengangkat mengenai kuliner Wallacea.

Ibu Amanda, founder Omar Niode Foundation.

Ibu Amanda berpendapat bahwa tema kuliner Wallacea ini perlu diangkat mengingat wisata kuliner ini bisa meningkatkan pendapatan daerah, dalam hal ini daerah yang terdapat di Wallacea.

Setiap daerah di Indonesia unik baik dari sisi budaya, masyarakat, hingga wisata kulinernya. Wisata kuliner bisa meningkatkan pendapatan daerah. Sebanyak 25 persen selalu masuk melalui makanan. Apalagi kalau makanan itu sudah menjadi khas daerah tersebut. Namun, kalau belum, tidak perlu khawatir kalau daerahnya belum menjadi wisata kuliner, karena kadang ada saja wisatawan yang mencari daerah-daerah baru untuk berwisata kuliner. Lama-lama, dari unknown destination juga dapat menjadi wellknown destination,” kata Ibu Amanda.

Contoh makanan khas daerah Wallacea.

Jawabannya ya kuliner Wallacea berasal dari daerah yang termasuk rute ekspedisi-nya Pak Wallace dulu, yakni meliputi Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Berkat dokumentasi yang dibuat oleh Pak Wallace pula, kuliner Wallacea ini telah mendunia.

Percaya atau tidak, sampai sekarang masih ada lho potongan roti sagu asli yang dibuat oleh penduduk di pulau Seram, Maluku, pada tahun 1859, yang dibawa Pak Wallace sebagai “oleh-oleh” tersimpan di The Royal Botanic Gardens, Kew di Inggris. 

Warga dunia jadi tahu bahwa sagu, pada masa itu, merupakan makanan pokok masyarakat di garis Wallace. Bukan beras atau nasi sebagaimana yang kita kenal saat ini.Erik Wolf dari World Food Travel Assosiation.

Tentang kuliner Wallacea

Nah, pengetahuan semacam inilah yang ingin dicapai melalui webinar kala itu, supaya kita memahami kalau kuliner Wallacea itu sebenarnya unik, sehingga kalau bisa jangan sampai hilang begitu saja sebelum sempat diwariskan ke anak cucu.

Lalu, selain sagu, kira-kira apa saja sih kekhasan kuliner Wallacea yang membedakannya dengan makanan dari daerah lain?

Meilati Batubara (Ibu Meilati) dari Nusa Indonesian Gastronomy yang merupakan salah satu pembicara dalam webinar kala itu menyebutkan beberapa hal yang menjadi kekhasan kuliner Wallace, yakni:

  • Umbi

Makanan Wallacea banyak yang menggunakan umbi-umbian seperti singkong, ubi, talas, dll sebagai bahan utamanya. Biasanya disajikan dengan dikukus maupun digoreng, kemudian disajkikan di dalam sup.

  • Ikan/ babi/ kerbau

Pada masa itu kata Ibu Meilati, masyarakat yang tinggal di area Wallacea tidak mengenal sapi. Hewan sapi baru masuk belakangan. Sedangkan ayam biasanya hanya dimakan saat festival aja. Sebelumnya, masyarakat di sana hanya kenal kerbau atau babi. Maka, tak heran kalau daging kerbau dan babi menjadi santapan sehari-hari.

Selain daging kerbau dan babi, tentu saja ikan menjadi makanan utama, sebab Wallacea juga meliputi garis pesisir pantai yang menghasilkan beragam sea food yang lezat apabila diolah.

  • Jagung

Jagung banyak digunakan sebagai hidangan utama makanan di daerah Wallacea.

  • Pisang

Semua bagian dari pohon pisang banyak diolah menjadi makanan. Mulai dari buah, bunga, sampai batang pohon pisang bisa dikonsumsi oleh masyarakat daerah Wallacea. Bahkan, daunnya juga dipakai sebagai bagian dari proses memasak dan tentu saja untuk membungkus makanan.

Bahan-bahan yang khas kuliner Wallacea.

Selain itu, Ibu Meilati juga menyebutkan beberapa bahan makanan khas lainnya yang selalu ada di makanan khas daerah Wallacea, seperti:

  • Kacang kenari: Bisa langsung dimakan atau dijadikan campuran atau topping untuk masakan asin maupun kue manis.
  • Ketam kenari: Ketam/ kepiting ini sebenarnya sudah dilarang, namun kalau di Ternate, Halmahera, dan Tidore masih boleh ditangkap dan dikonsumsi. Dengan catatan, asalkan tidak dibawa keluar pulau.
  • Asam patikala: Merupakan buah dari kecombrang. Kalau di Jawa, masyarakat hanya makan bunga dan batangnya, namun kalau di Wallacea, buahnya dipakai untuk memberikan rasa asam.
  • Rempah-rempah: Pala, cengkeh, kayu manis.

Kemudian, Ibu Meilati juga menyebutkan beberapa contoh makanan khas Wallacea, seperti:

  • Kapurung, Pa’Piong, Ikan Parede, Ilabulo, Barobbo, dan Sayur Putungo dari Sulawesi.
  • Gatang Kenari, Saur Garu, Kue Bagea dari Maluku.
  • Jukut Ares, Jagung Bose, Se’i khas Nusa Tenggara.

Problem kuliner Wallacea yang hampir menghilang

Ibu Meilati berharap makanan-makanan tersebut lebih banyak lagi di-share/ diperkenalkan. Sayangnya, Ibu Meilati pernah menjumpai beberapa warung/ rumah makan di sana yang justru menyajikan makanan bukan khas daerah.

Ibu Meilati menceritakan bahwa dirinya pernah menjumpai rumah makan yang menggunakan bahan makanan yang tidak segar, contohnya seperti memakai bahan bakso ikan kemasan. Padahal dari sumber daya alam yang ada seharusnya bisa membuat bakso ikan sendiri. Begitu pula dengan produk minuman, masih banyak yang menjual minuman dari kemasan sachetan.

Problem di daerah seperti itulah yang kemudian membuat Ibu Meilati bersama komunitasnya mengajari masyarakat lokal untuk kembali membuat makanan khas daerah dari bahan-bahan alami lokal, serta kembali menjual makanan tersebut di rumah makan yang ada di sana.

Meilati Batubara dari Nusa Indonesian Gastronomy.

Selain, karena eman-eman gitu lho kalau kekhasan kuliner daerah tersebut hilang, tidak ada lagi keturunan yang bisa memasaknya, juga karena kalau membuat makanan dari bahan makanan lokal sendiri tentu saja akan lebih murah dan minim sampah (kemasan).

Kita mencoba mengajarkan mereka membuat sirup sendiri dari serai, dari lemon cuy, diberi cengkeh, harga lebih murah, lebih sehat, dan yang paling penting tidak menghasilkan sampah,” kata Ibu Meilati.

Baca juga: Yuk, Bantu Atasi Perubahan Iklim dengan Sajikan Makanan Ramah Iklim di Rumah. 

Ibu Meilati dan komunitasnya juga berusaha meyakinkan masyarakat daerah tersebut bahwa makanan khas tradisional merekalah yang sebenarnya dicari oleh wisatawan yang datang ke daerah tersebut. Jika makanan tradisional lebih diangkat, maka akan membawa dampak bagus juga buat pariwisata daerah tersebut.

Memang, mengenai “makanan khas daerah” ini sesuatu yang kelihatannya makin langka dan perlu bersama kita kampanyekan agar jadi dikenal lagi oleh masyarakat kan?

Apalagi yang namanya makanan khas daerah tuh tidak cuma sebagai sebuah “identitas”, namun ada makna yang lebih penting daripada itu. Salah satunya yang saya dapat dari narasumber lain dalam webinar tersebut, yakni Aris Prasetyo (Mas Aris) jurnalis Harian Kompas sekaligus tim dari Ekspedisi Wallacea (Kompas).

Aris Prasetyo dari Harian Kompas.

Mas Aris menceritakan bahwa kekhasan pangan itu bisa juga menyelamatkan masyarakat dari bencana. Contoh bencana yang pernah terjadi pada waktu 1960-an di Bima, Nusa Tenggara Barat, pernah terjadi gagal panen besar-besaran akibat wabah tikus, untungnya masih ada tradisi bernama Uma Lengge yang menyelamatkan masyarakat.

FYI, Uma Lengge ini semacam lumbung yang diperuntukkan untuk menyimpan biji-bijian hasil panen. Masyarakat hanya boleh mengambil dalam jangka waktu tertentu (dibatasi) dan didirikan di area yang jauh dari pemukiman. Bahan makanan yang disimpan di sini bukan hanya padi, tapi yang lebih penting lagi ada sorgum, jawawut, dll yang merupakan pangan khas daerah sana.

Jadi, pada saat ada bencana, masyarakat bisa survive, karena walau enggak makan beras, mereka masih bisa mengkonsumsi makanan-makanan tersebut.

Mas Aries juga menyayangkan tragedi kelaparan di Papua sekitar 2017-2018-an di mana pada saat itu di sana sedang kekurangam beras, padahal di kebun-kebun masyarakat banyak tersedia tanaman sagu yang sebenarnya melimpah dan bisa mereka konsumsi. Namun, karena keturunan orang Papua yang sekarang makin banyak yang tidak terlalu kenal ragam olahan dari sagu, akhirnya mereka jadi rentan apabila enggak ada beras.

Dari cerita-cerita tersebut kita jadi paham kan betapa pentingnya keberagaman pangan dan mempertahankan makanan khas daerah masing-masing?

Setahu saya saat sekolah dasar (SD) dulu saya juga diajarin bahwa makanan pokok di daerah-daerah Indoensia tuh berbeda-beda, lho. Seperti sagu di Papua dan Maluku, jagung di Madura, dll. Entah mengapa sekarang kok penduduk Indonesia makanan pokoknya sama semua, yakni beras ya?

Kita dikaruniai kekayaan keberagaman mari kita jaga, mari kita rawat, mari kita lestarikan. Tuhan menciptakan itu tidak semena-mena, pasti karena itu ada manfaatnya, kalau kita teliti, kalau kita gali ,pasti ada manfaatnya,” kata Mas Aries menanggapi masalah pangan di Indonesia yang seragam.

MH. Firdaus dari Pangan Bijak Nusantara.

Menanggapi soal keseragaman pangan ini, Mas MH. Firdaus dari Pangan Bijak Nusantara yang juga salah satu pemateri dalam webinar mengatakan sangat menyayangkan hal ini. Terlebih lagi problemnya makin terlihat saat pandemi seperti sekarang, di mana terjadi kesenjangan antara masyarakat dalam hal pangan ini. Belum lagi mereka yang tidak beruntung mendapatkan bahan pangan juga mendapatkan bonus masalah lain, yakni kesehatan, seperti ketahanan imunitas tubuh yang rendah.

Padahal, faktanya Kementan mencatat bahwa sumber pangan di Indonesia itu meliputi:

  • 100 jenis sumber karbohidrat
  • 100 jenis kacang-kacangan
  • 250 jenis sayuran
  • 450 jenis buah-buahan, dll.

Masih banyak lagi yang mungkin belum terdata, bahkan belum ditemukan sebagai bahan pangan.

Selain itu, Mas MH. Firdaus juga mengatakan bahwa pangan lokal meliputi poduksi, distribusi, hingga konsumsinya masih perlu dikuatkan lagi. Iya sih ya? Selama ini, kita terkenal sebagai negara kaya, tapi kenyataannya kok masih sedikit-sedikit impor?

Oleh sebab itu, Pangan Bijak Nusantara menawarkan opsi “Pangan Bijak” kepada masyarakat supaya:

  • Memiliki tradisi pola produksi dan konsumsi yang beranekaragam, sesuai kekayaan khas daerahnya.
  • Memiliki kemandirian, kedaulatan, dan ketahanan pangan, sehingga selalin bisa menjamin nutrisi, juga dapat memberi peluang ekonomi melalui usaha kuliner.

Kemudian, nilai-nilai yang disarankan “Pangan Bijak” meliputi hal-hal ini:

Nilai-nilai yang ingin dicapai dalam “Pangan Bijak”.
  • Adil: Adil untuk lingkungan, gampang diakses oleh konsumen, membuat produsennya bisa sejahtera, terdapat harga pasar yang adil baik bagi produsen maupun konsumen.
  • Lestari: Termasuk varietas lokal, organik (tumbuh alami), ramah lingkungan, berkelanjutan dengan memperhatikan keanekaragaman hayati, ketahanan ekosistem, kesejahteraan produsen, serta menghormati hak asasi manusia.
  • Lokal: Bukan impor, diproduksi di daerah itu sendiri bukan diambil dari daerah lain, mencantumkan identitas daerah termasuk identitas komunitas, bagian dari budaya dan kearifan masyarakat lokal.
  • Sehat: Berasal dari pangan alami, tidak mengandung pengawet buatan, bersih, bernutrisi.

Dalam kaitannya dengan Wallacea, Mas MH. Firdaus kemudian bercerita kalau pergi ke daerah-daerah seperti Maluku, Nusa Tenggara, dan sekitarnya pasti yang dicari adalah ikan. Soalnya ikan di sana kebanyakan adalah ikan karang yang badannya seger-seger dan enak disantap. Bahkan, makan ikan tanpa nasi pun di sana sudah bikin kenyang.

Sebagaimana yang disebut Ibu Meilati emang ikan menjadi makanan khas banget di Wallacea. Pasti ada menu ikan di beberapa daerah di sana.

Saya yakin itu di daerah Wallacea itu pangan bijak ini mudah-mudahan sudah bagus, tinggal dikondisikan menjadi bagian dari wisata kuliner,” kata Mas MH. Firdaus.

Cara hemat traveling ke Wallacea

Nah, bagaimana menurut teman-teman tentang kuliner Wallacea? Bayangin ada ikan dengan banyak sambal, belum lagi kue-kue dengan campuran kenari, tak ketinggalan sagu dengan gulai ikan, cukup bikin ngiler kan?

Hehe, maaf ya puasa-puasa…

Namun, sekarang jadi paham kan? Betapa pentingnya mempertahankan tradisi makanan khas Wallacea yang sudah ada sejak dulu, tidak membuatnya seragam dengan makanan daerah lain? Tentu saja, hal ini juga sebaiknya berlaku pula untuk daerah-daerah lainnya di negeri yang kaya akan keberagaman bahan baku makanan ini.

BTW, setelah ngobrolin makanan khas daerah Wallacea, pasti ada donk teman-teman yang tertarik menyicipi makanan yang sudah saya sebutkan contoh-contohnya di atas di tempat aslinya?

Kalau tertarik, ya mau enggak mau wajib datang, traveling ke daerah Wallacea, ke Indonesia bagian timur, seperti ke Maluku, Sulawesi, atau ke kepulauan di sekitar Nusa Tenggara 😀 .

Masalahnya, bepergian ke sana kan enggak murah ya? Namun, sebenarnya, ada lho cara hemat untuk traveling ke Wallacea. Dalam webinar hadir pula Fitria Chairani (Mbak Fitria) dari Campa Tour yang berbagi tips gimana caranya traveling hemat budget ke Indonesia Timur.

Berikut adalah beberapa tips dari Mbak Fitria:

  • Buat skala prioritas

Biasanya orang traveling kan waktunya agak terbatas ya? Maka dari itu sejak awal harus membuat prioritas, mau menjelajahi alamnya, sejarahnya, budayanya, atau apa? Sehingga, nanti jalan-jalannya bisa fokus.

  • Pilih vendor/ guide lokal untuk menemani perjalananmu

Kita bisa mencari vendor/ guide lokal untuk menemani kita selama traveling. Bisa melalui referensi di forum-forum travel. Salah satu kelebihan mencari guide lokal adalah biasanya kita akan berkesempatan juga diundang ke rumahnya, sehingga kemungkinan bisa mendapat informasi/ cerita yang mungkin tidak terdapat di buku atau artikel di internet mengenai daerah tersebut dan tentu saja kesempatan mencicipi makanan daerah yang asli masakan orang sana 😀 .

  • Buat perkiraan budget

Lakukan research khusus untuk budget ini, jangan sampai di sana tiba-tiba boncos karena tidak paham medan. Misalnya, kita memperkirakan di sana bisa naik kendaraan umum aja, eh ternyata medan yang mau kita tempuh tidak dilewati angkutan umum. Mau enggak mau harus sewa mobil kan jadinya?

Berikut adalah contoh budgeting termasuk itinerary yang dibuat oleh Mbak Fitria:

Contoh budgeting liburan ke Timor.
  • Siapkan diri untuk unexpected things

Kadang kalau melakukan perjalanan di sana banyak unexpected things, seperti kendaraan yang delay karena keterbatasan armada, tiba-tiba cuaca yang enggak mendukung, dll. Semua harus dipersiapkan. Maka dari itu sangat disarankan untuk memiliki jadwal yang tidak terlalu ketat apabila bepergian ke sana.

Mbak Fitria juga mengingatkan untuk membawa obat-obatan pribadi, camilan/ makanan, atau benda-benda pribadi untuk dipersiapkan ketika melakukan perjalanan dengan model backpacker. Kemudian, untuk menghemat budget memang sebaiknya persiapkan diri untuk naik kendaraan umum yang mungkin agak kurang nyaman, seperti angkot, pesawat ATR, dan kapal yang jadwalnya tidak terlalu pasti.

Budgetnya besar memang kalau ke sana, tapi bisa dikurangi sih, misal kalau enggak mau sewa mobil, pakai kendaraan umum aja. Tapi yang paling penting adalah kita harus melibatkan masyarakat lokal, kalau bisa kita cari guide lokal sehingga kita bisa berinteraksi dengan orang sana,” jelas Mbak Fitria.

Bagaimana? Tertarik mengunjungi Wallacea, menelusuri jejak jalan-jalannya Pak Wallace sekaligus berwisata kuliner?

Kalau saya pengeeen banget. Baru satu lokasi aja yang sempat saya kunjungi, yakni Nusa Tenggara Barat, sayangnya saat itu tidak banyak makanan lokal yang saya cicipi, huhu. Namun, saya jadi teringat sajian ikan bakar dengan sambal yang dimasak sendiri oleh ibu teman saya yang juga sekaligus tuan rumah saya kala itu memang sangat enak. Maafkan, saya lupa nama masakannya. Sudah lebih dari 10 tahun lalu, soalnya 🙁 .

Makanya, apabila ada rezeki dan kesempatan mengunjungi daerah Wallacea lagi, insyaAllah mau ke sana lagi. Nabung, yuk, nabuuung! 😀

Poster webinar “Jelajah Alam dan Kuliner Wallacea”.

Demikian, teman-teman, sedikit cerita mengenai kuliner Wallacea yang saya rangkum dari webinar “Jelajah Alam dan Kuliner Wallacea” kemarin. Kira-kira begini kesimpulan dari tulisan saya ini:

  • Kuliner Wallacea dipopulerkan kepada warga dunia oleh peneliti abad ke-19 Alfred Russel Wallace.
  • Kuliner Wallacea meliputi makanan khas daerah di Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
  • Kuliner Wallacea patut dilestarikan supaya tidak punah.
  • Sebaiknya, memang kuliner di Indonesia, khususnya makanan pokoknya tidak perlu diseragamkan. Makanan khas daerah memiliki banyak manfaat, selain sebagai identitas daerah, makanan lokal bisa menjadi penyelamat masyarakat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sehari-hari dan bisa jadi pendapatan daerah melalui wisata kuliner.

Nah, semoga sekelumit informasi mengenai kuliner Wallacea ini membuat kita makin bangga pada pangan lokal daerah kita masing-masing ya 🙂 .

April Hamsa