Kalau teman-teman ke Johor Bahru Malaysia atau yang sering orang Indonesia sebut sebagai Johor Baru, salah satu tempat yang sebaiknya dikunjungi adalah Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee. FYI, Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee ini merupakan kawasan bersejarah Johor Baru yang menjadi saksi akulturasi Budaya Melayu dengan Tionghoa di Malaysia.

Gapura Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee.

Waktu itu saya ke sana udah malam banget. Mungkin sekitar pukul 8 atau malah 9 malam ke atas. Lokasinya agak jauh dari hotel tempat saya menginap, sehingga waktu itu saya naik kendaraan online bareng beberapa teman.

Sampai di sana, ternyata tempatnya ramai sekali dengan pedagang dan pengunjung. Yes, jadi Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee ini adalah semacam jalan atau gang yang dipakai buat pasar malam gitu.

Ketika melihat gapuranya, saya jadi teringat gapura Pasar Baru di Jakarta. Mirip aja, sih. Tinggi menjulang, gitu. Namun, masih lebaran atau gedean gapura Pasar Baru. Hal ini karena jalan atau gang yang di Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee ini lebih sempit.

Gangnya tidak terlalu lebar.

Berbeda dengan gang di Pasar baru yang lebar dan mungkin kalau nggak ada pedagang bisa dilalui dua mobil. Kalau gang di Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee ini lebih sempit. Mungkin faktor ini juga yang membuat flow pengunjungnya dibuat searah. Maksudnya kalau masuk ke Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee ini, kita enggak bisa keluar melalui pintu atau gerbang yang tadi. Harus keluar melalui sisi satunya.

Lalu, ada apa saja sih di Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee ini?

Sebenarnya tadi saya sudah kasi clue ya, yakni ada pedagang-pedagang gitu. Yes, ada pasar malam di sini.

Namun, sebelum membahasnya lebih jauh, saya mau coba cerita mengenai sejarah Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee dulu ya.

Sejarah Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee

Sebelum pedagang-pedagang yang saya maksud memenuhi jalan/ gang di Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee, sebenarnya kawasan tersebut dulu juga pusat perdagangan. Pengunjung akan banyak menjumpai bangunan-bangunan tua yang dulunya adalah toko-toko orang Tionghoa.

Ada beberapa informasi yang bisa pengunjung temukan mengenai Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee di antara bangunan-bangunan tua itu. Informasinya menggunakan Bahasa Melayu, Inggris, dan Mandarin.

Banyak bangunan tua di sini.

Salah satu informasinya menceritakan bahwa Johor Baru dahulu di kenal dengan sebutan “Hujung Tanah”. Mungkin maksudnya tanah yang paling ujung kali ya atau bisa disebut Kota Johor Baru ini ada di ujung Selatan Semenanjung Malaya. Kita semua mengetahui kan kalau di seberangnya merupakan negara Singapura yang waktu itu lebih banyak etnis Tionghoa-nya.

Tertulis di salah satu informasi kalau saat itu adalah abad ke-19 di mana Malaysia  dipimpin oleh Temenggung Ibrahim dan anaknya Sultan Abu Bakar yang digambarkan arif dan bijaksana. Mungkin saking baiknya, para pemimpin itu kemudian menyambut kedatangan orang Cina yang datang ke Johor Baru. Orang-orang etnis Tionghoa ini kebanyakan adalah kuli atau petani yang kerja di perkebunan dan pedagang.

Ada yang menjual pernak-pernik souvenir.

Orang-orang Tionghoa ini kemudian membentuk perkumpulan tidak resmi atau semacam komunitas gitu. Perkumpulan ini kemudia membentuk sistem sosio-ekonomi yang mereka sebut sebagai “kangchu”.

Di bawah sistem kangchu ini, mereka menyediakan tempat untuk mengolah hasil panen perkebunan. Waktu itu yang terkenal dari Johor Bahru adalah perkebunan gambir.  Selain itu ada perkebunan cengkeh, lada, dan pinang. Mereka juga melakukan jual beli di sini.

Melihat-lihat koleksi kerudung.

Trus, yang namanya komunitas pasti ada pemimpinnya, donk ya. Salah satunya yang terkenal adalah Pak Tan Hiok Nee yang namanya kemudian diabadikan sebagai Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee itu.

Bisa dibilang Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee merupakan salah satu bukti asal mula keberadaan orang-orang Tionghoa di Malaysia. Itulah sebabnya daerah ini menjadi salah satu kawasan bersejarah di Johor Baru.

Ada apa saja di Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee?

Selain berkebun, orang-orang Tionghoa tersebut juga mendirikan toko dan berdagang di kawasan tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, orang Melayu pun mengikuti jejak mereka sebagai pedagang. Hingga sekarang (baca: tahun 2018 ketika saya ke sana), baik pedagang Tionghoa, Melayu, dll masih tetap berdagang di Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee ini.

Bedanya dengan masa lampau, pedagang-pedagang ini tidak hanya berjualan di bangunan toko, tetapi juga menggelar dagangannya di jalan. Jadi semacam pasar malam, gitu.

Namun, mohon maaf, jujur saya enggak tahu, apakah pedagang di sana buka lapak malam hari saja atau sejak pagi/ siang. Saya mencoba googling informasinya enggak ketemu.

Ada yang jualan topeng dan pernak-pernik yang agak creepy.

Apa saja yang dijual di Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee?

Menurut saya ya sama saja dengan pasar malam yang ada di Indonesia. Mereka menjual barang-barang seperti souvenir, mulai pakaian, lukisan, gantungan kunci, serta pernak-pernik lainnya.

Selain itu ada pula yang berjualan makanan dan minuman. Seingat saya waktu itu saya enggak makan, karena sebelum ke sana sudah makan malam. Saya cuma mencicipi es milo yang dijual oleh salah satu pedagang. Ya, rasanya sama saja sih dengan es milo di tanah air 😀 . Cuma seru aja bisa nyicipin es milo Malaysia bareng teman-teman malam itu.

Saya juga enggak belanja apa-apa di sana, karena sebelumnya sudah membeli souvenir di tempat lain. Menurut saya barang-barangnya mirip dengan yang dijual di Indonesia, kok. Namun, ada beberapa teman yang kemudian tertarik untuk membeli satu dua barang juga untuk oleh-oleh ketika kembali ke tanah air.

Mencicipi es milo.

Oh ya, di Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee juga banyak rumah makan atau café, lho. Waktu itu di hari yang berbeda saya mengunjungi Jumpa Selalu Vintage Cafe. Sayangnya, saya coba googling tidak menemukan informasi lagi mengenai kafe ini. Khawatirnya, setelah pandemi mereka tutup. Namun, harapan saya mereka cuma pindah lokasi saja sih.

Makanan di Jumpa Selalu ini yang terkenal adalah kari yang disajikan dengan nasi. Ada pula yang disajikan dengan roti planta atau roti canai khas India.

Sebenarnya agak bingung, karena kafe Jumpa Selalu ini papan namanya mengandung unsur Chinese, eh, tetapi makanannya kok India atau Melayu gitu ya? Atau waktu itu pas kebetulan saja karena rombongan saya pilih makanannya yang menu non masakan Cina? Hahaha udah lupa 😛 .

Ada yang menggelar dagangan di lantai.

Nah, seingat saya waktu saya ke Jumpa Selalu sore, jalanan Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee tuh sepi pedagang. Jadi, kemungkinan besar benar dugaan saya kalau Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee cuma ramai pedagang saat malam hari.

Adakah teman-teman yang pernah mengunjungi Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee juga? Mungkin ada yang lebih paham sejarahnya? Kemudian tahu di sana selain pasar malam dan restoran ada hal apa lagi yang unik ya? Ditunggu sharing-nya di kolom komentar ya 😀

April Hamsa