Makanan ramah iklim, apakah itu?”

Emangnya konsumsi makanan ramah iklim dapat menjadikan lingkungan sekitar jadi lebih baik?”

Demikian pertanyaan beberapa teman, ketika saya share e-flyer tentang talkshow Makanan Ramah Iklim dan Peluncuran E-book “Memilih Makanan Ramah Iklim + 39 Resep Gorontalo” beberapa waktu lalu di media sosial.

Acara talkshow tentang makanan ramah iklim minggu lalu. 

FYI, talkshow ini diinisiasi oleh Omar Niode Foundation, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, budaya, dan kuliner nusantara, khususnya daerah Gorontalo. Talkshow ini diselenggarakan minggu lalu, tepatnya tanggal 14 Februari 2021.

Sama seperti teman-teman saya, pada mulanya saya juga enggak terlalu paham mengenai konsep makanan ramah iklim ini. Saya juga penasaran, apakah benar jika saya mengubah makanan yang saya konsumsi dengan makanan yang dimaksud, bisa mempengaruhi iklim secara positif?

Yaaa, kalau benar memberi dampak baik, alhamdulillah. Seenggak-enggaknya, walau tak memiliki kemampuan menumbuhkan kembali hutan-hutan yang gundul, saya bisa berkontribusi dengan pola makan saya. Yekan? 🙂

Dampak perubahan iklim makin terlihat nyata

Apalagi, dampak perubahan iklim makin terlihat nyata di sekitar kita. Berita-berita duka tentang bencana banjir hingga tanah longsor yang diakibatkan oleh curah hujan tinggi, yang belakangan kita dengar, merupakan salah satunya.

Eh, namun, sesungguhnya, bukan hanya faktor alam aja sih, yang menyebabkan perubahan iklim. Aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan juga merupakan faktor yang membuatnya jadi lebih parah.

Tak usah jauh-jauh menyalahkan pabrik yang membakar minyak bumi, coba kita lihat ke dalam rumah kita sendiri, deh. Selama ini kita memasak menggunakan apa? Apakah sudah menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan? Proses memasak kita berapa lama waktunya? Apakah makanan yang kita sajikan di rumah selalu habis atau ada yang kita buang?

Ibu Amanda Katili Niode dari Climate Reality Indonesia.

Yes, perilaku memasak dan pola makan kita ternyata membawa pengaruh terhadap perubahan iklim, lho. Saya juga baru memahaminya ketika mendengarkan penjelasan dari talkshow yang saya sebut di atas tadi.

“Cara kita produksi pangan, maupun cara kita konsumsi pangan juga sangat mempengaruhi krisis iklim ini,” kata Ibu Amanda Katili Niode dari Climate Reality Indonesia, salah satu narasumber dalam talkshow.

Jadi, begini teman-teman, ternyata manajemen makanan rumah tangga, yang di dalamnya terdapat produksi dan konsumsi pangan, merupakan penyumbang 30% dari semua emisi gas rumah kaca. Penyebabnya adalah beberapa faktor berikut:

  • Sumber makanan terlalu jauh dari rumah-rumah kita. Perlu didatangkan dari kota atau provinsi lain, bahkan impor dari luar negeri. Akibatnya, produksi makanan tersebut menggunakan metode kimia untuk mengawetkan pangan. Selain itu, jarak tempuh untuk membawa makanan tersebut ke kita cukup jauh, sehingga butuh transportasi yang pasti juga mengeluarkan emisi gas yang mempengaruhi iklim.
  • Limbah makanan yang terlalu banyak di tingkat rumah tangga. Padahal, makanan yang terbuang tersebut akan membusuk dan gas yang terurai juga bisa menjadi penyebab krisis iklim.
  • Terlalu banyak mengkonsumsi daging. Saya juga baru tahu juga bahwa produksi satu kilogram daging sapi mengeluarkan 60 kg gas rumah kaca (setara CO2). Hal ini tentu berbeda dengan kalau kita mengolah bahan makanan nabati.

Selain hal-hal tersebut, waktu kita melakukan persiapan dan proses memasak makanan juga memberikan pengaruh besar.

Makanan ramah iklim untuk lingkungan yang lebih baik

Lalu, bagaimana donk, supaya makanan kita dapat menjadi lebih ramah iklim?”

Dalam kesempatan tersebut, ibu Amanda menunjukkan beberapa pilihan yang dapat menjadi solusi. Saya akan coba jelaskan poin-poin dari setiap pilihan tersebut ya:

  • Hemat air dan energi

Perhatikan penggunaan air dan bahan bakar/ energi yang kita pakai di rumah, khususnya pada saat memasak. Jangan terlalu boros. Tentu saja, hal ini tidak terbatas dalam proses memasak, namun juga konsumsi air dan energi harian kita, seperti kita mencuci baju, menyiram tanaman, dll.

  • Menanam tanaman tahan krisis

Sekarang kayaknya lagi trend ya berkebun di rumah sendiri? Barangkali teman-teman mau menanam tanaman sayuran atau buah-buahan yang panen sepanjang tahun di rumah? 😀

  • Memperbanyak protein nabati, mengurangi konsumsi daging

Tak harus jadi vegetarian/ vegan, sih. Cukup mengurangi konsumsi daging dan perbanyak makanan yang mengandung protein nabati, juga udah oke banget.

  • Mengkonsumsi masakan rumahan

Ini kayaknya tak perlu diperdebatkan lagi. Pertama, dari sisi biaya aja, memasak sendiri pasti lebih baik dari segi ekonomi. Ketimbang kita konsumsi pangan yang diawetkan dengan metode kimia atau makanan yang siap saji.

  • Menjaga tradisi kuliner lokal

Kuliner lokal biasanya bahan-bahannya pun didapatkan dari daerah kita sendiri. Biasanya juga dimasak dengan kearifan lokal yang tak terlalu menghabiskan energi.

  • Menghindari membuang makanan (limbah pangan)

Jangan memasak makanan terlalu banyak. Masaklah dalam porsi yang cukup. Ketika makan, kita juga sebaiknya tidak mengambil makanan terlalu banyak. Ambil sesuai porsi makan kita untuk satu kali makan setiap makan.

Kemudian, apabila ada sisa makanan, bisa kita manfaatkan untuk yang lain. Bisa kita daur ulang makanannya atau kita manfaatkan untuk pembuatan pupuk kompos.

  • Mendukung petani dan nelayan

Caranya dengan membeli produk-produk lokal yang dipanen oleh petani dan melayan di sekitar rumah kita. Dengan demikian kita akan mendapatkan bahan pangan yang lebih segar, tidak butuh banyak pengeluaran untuk transportasi, dan sekaligus mendukung produsen lokal di daerah kita.

  • Menghindari penggunaan plastik

Kalau sesekali mau membeli makanan di luar, pilihlah toko atau restoran yang menjual makanan dengan bungkus lebih ramah lingkungan. Bila perlu bawa wadah sendiri.

  • Lakukan daur ulang

Sebaiknya manfaatkan wadah plastik di rumah dengan bijak dengan melakukan daur ulang.

Bahan pangan dan tradisi budaya lokal dukung perbaikan lingkungan?

Saya highlight pada bagian bahan pangan lokal ya, dari beberapa pilihan yang diberikan oleh Ibu Amanda di atas tadi. Soalnya kebetulan, di talkshow yang saya ikuti tersebut hadir Mbak Nicky Ria (Ketua Sobat Budaya) yang membahas tentang pemetaan bahan pangan lokal dari seluruh Indonesia.

Dengan melakukan pemetaan kita bisa mengetahui kesediaan kuliner kita ini apa aja, jadi kita enggak mentok. Diversifikasi kita begitu luas. Ada tiga puluh ribu kuliner, sehingga ternyata kalau ada satu kuliner kita habiskan satu hari kita butuh delapan puluh tahun, seenggaknya,” kata Mbak Nicky Ria saat menjelaskan mengapa bahan pangan lokal di Indonesia sebaiknya dipetakan seperti itu.

Mbak Nicky Ria dari Sobat Budaya,

Yaaa, menurut saya bener juga, sih. Kalau kita bisa menemukan lebih banyak lagi bahan pangan lokal di daerah kita, kita bisa lebih banyak memasak beragam makanan. Sehingga, enggak kepikiran membeli bahan pangan dari area yang lebih jauh, apalagi impor bahan pangan donk ya?

BTW, selain menunjukkan diversifikasi juga menunjukkan kekerabatan yang erat antara makanan/ kuliner lokal suatu daerah dengan daerah lainnya, lho.

Mbak Nicky Ria kemudian menunjukkan website yang hingga saat ini masih digarap oleh mbak Nicky Ria dan rekan-rekannya. Website ini bisa dikatakan merupakan perpustakaan budaya yang menunjukkan beragam kategori budaya dari seluruh daerah di Indonesia, termasuk makanan daerahnya.

Makin banyak dipakai di banyak daerah makin terlihat kekerabatan bahan makanan tersebut.

Nanti, untuk kuliner daerah, kita bisa mendapatkan data kira-kira makanan dari daerah A perbedaannya dengan daerah B apa sih? Lalu, bahan makanan apa aja yang sama dan cukup sering dipakai di seluruh Indonesia?

Tak hanya bahan pangan lokal, namun cara mengolah makanan, teknik menyeduh dan minum kopid, dll, di tiap-tiap daerah juga bisa kita temukan. Buat yang penasaran, langsung kunjungi website-nya sendiri aja ya 🙂 .

Oh ya, satu hal yang menarik dari pemaparan Mbak Nicky Ria adalah soal data pengemasan makanan sesuai tradisi budaya. Dahulu, pengemasan makanan nenek moyang kita tuh pakai daun, pelepah pinang, dll. Namun, seiring perkembangan zaman rupanya dilupakan dan berganti ke plastik.

Mirisnya, negara sebelah ada lho yang mengadopsi cara pengemasan makanan ini (pakai pelepah pinang). Ambil pelepahnya dari negara kita, hehe. Sementara, masyarakat kita sendiri, masih jarang yang melakukannya.

Mungkin kita harus melirik ke belakang. Jangan-jangan ada solusi tersimpan di budaya tradisi kita. Untuk menyelesaikan problem-problem yang ada sekarang,” kata Mbak Nicky Ria.

Menarik!

Makanan Gorontalo termasuk makanan ramah iklim?

Nah, dalam talkshow ini, kuliner nusantara yang ingin diangkat adalah makanan Gorontalo. Itulah sebabnya dalam kesempatan itu pula dilakukan launching virtual e-book berjudul “39 Resep Gorontalo”. Penulisnya adalah Ibu Amanda Katili Niode dan Mbak Zahra Khan, seorang pelaku UMKM dan dosen di bidang Teknologi Pangan.

Binte Biluhita, salah satu makanan khas Gorontalo. 

Mungkin ada yang penasaran, mengapa kok makanan Gorontalo yang diangkat? Apa kuliner Gorontalo termasuk jenis makanan ramah iklim?

Ternyata jawabannya terletak pada beberapa hal berikut (berdasarkan cerita Mbak Zahra Khan):

  • Makanan asli Gorontalo jarang yang digoreng/ pakai minyak goreng. Biasanya lebih banyak dibakar atau direbus sebentar atau digoreng di atas daun pisang yang diolesi sedikit minyak.
  • Kalaupun ada makanan yang digoreng, penduduk setempat pun jarang menggunakan minyak sawit. Minyak yang lebih sering dipakai adalah minyak kelapa. Kalau di Gorontalo orang lebih mengenalnya dengan sebutan “minyak kampung” atau “minyak klethik”.
  • Bahan makanan seperti sayuran jantung pisang, dll biasanya ditanam di halaman rumah orang Gorontalo. Jadi, ketika mau memasak tinggal ambil/ petik aja.
  • Orang Gorontalo lebih sering mengkonsumsi protein hewani berupa ikan, karena memang posisi daerah ini dekat dengan wilayah perairan/ laut.

Orang Gorontalo itu katanya kalau tidak makan ikan, berarti belum makan,” celetuk Mbak Zahra.

Di Gorontalo, makanannya masih basisnya masih ikan dan sedikit sayur. Tapi, sayurnya enggak seberagam di Jawa, tapi yang ada di sekitar kayak jantung pisang, kembang pepaya,” Mbak Zahra Khan menjelaskan lebih lanjut.

Mbak Zahra Khan penulis buku “39 Resep Gorontalo”.

Kemudian, Mbak Zahra Khan juga menjelaskan bagaimana sampai akhirnya tulisan/ resep makanan tradisional khas Gorontalo yang dibuatnya dibukukan menjadi e-book “39 Resep Gorontalo”. Menurut Mbak Zahra Khan, waktu itu berangkat dari hobinya mengunggah resep dan foto makanan khas Gorontalo yang mendapat respon positif dari Ibu Amanda.

Ibu Amanda lalu mengajak Mbak Zahra Khan berkolaborasi menulis resep-resep tersebut. Tujuannya ya untuk memperkenalkan kepada masyarakat tentang bagaimana tradisi lokal/ daerah Gorontalo, khususnya kulinernya yang sebenarnya sangat support perilaku ramah iklim.

Mas Terzian Ayuba Niode, sekretaris Omar Niode Foundation menuturkan bahwa buku ini diharapkan dapat memotivasi masyarakat untuk memilih makanan yang lebih ramah iklim. Soalnya, bagaimanapun juga, sistem pangan berkontribusi besar terhadap krisis iklim yang berlangsung di bumi. Kalau kita mau berubah, walau terlihat kecil, namun kontribusi tersebut sangat berarti untuk lingkungan yang kita huni saat ini.

Terlebih dengan terjadinya pandemi Covid-19 semakin membuktikan adanya kebutuhan mendesak untuk mengubah sistem pangan dunia, karena pandemi sekarang terjadi akibat menularnya penyakit makanan dari hewan ke manusia,” jelas Mas Terzian.

Mas Terzian Ayuba Niode sekretaris Omar Niode Foundation.

Balik ke e-book resep tadi, resep-resep makanan khas Gorontalo yang ada di e-book menurut Mbak Zahra Khan adalah makanan yang dimakan sehari-hari oleh orang Gorontalo. Termasuk oleh Mbak Zahra Khan dan keluarganya.

Bahan-bahan yang digunakan untuk makanan-makanan tersebut juga gampang didapat di daerah lain. Walaupun, juga ada bahan makanan yang musiman yang hanya ada di Gorontalo. Meski demikian, tenang aja, karena bahan baku yang tak bisa kita dapatkan, bisa kita subtitusi dengan bahan lain, kok.

Mbak Zahra Khan juga mengatakan, bahwa yang namanya makanan ramah iklim itu tak perlu yang menye-menye gitu, syaratnya cuma ini:

  • Tidak harus mahal, ambil bahan pangan lokal yang ada di sekitar kita.
  • Menepiskan gengsi. Yaaa gpp makan makanan lokal yang dibuat di rumah.
  • Punya tujuan untuk menerapkan pola hidup sehat.

Yaaa, bener sih, makanan rumahan apalagi yang dimasaknya dengan cara tradisional, tanpa banyak menggunakan minyak tuh juga bagus dari sisi kesehatan, yekan?

Buku resep makanan khas Gorontalo yang baru dilaunching.

Teman-teman ada yang kepengen mencoba memasak masakan khas Gorontalo juga? Bisa lho nyontek  resep-resep makanan khas Gorontalo di sini (klik aja).

Saya sudah buka-buka e-book-nya dan kayaknya enggak terlalu susah untuk dipraktikkan.

Kebetulan mama mertua saya aslinya orang Gorontalo (tetapi lama tinggal di pulau Borneo), kali nanti pas mama mertua datang bisa nih disuguhin makanan-makanan ini. Biar dicap menantu sholehah #uhuuuks 😛 .

Eh, namun, kalau teman-teman, khususnya yang di Jakarta, belum ada waktu untuk memasak sendiri, bisa juga icip-icip kuliner Gorontalo di rumah makan khas Gorontalo, lho. Ada salah satu restoran khas Gorontalo, namanya Olamita, yang berlokasi di daerah Tebet. Katanya sih tak jauh dari stasiun Tebet. Coba deh yang tinggal di kawasan Tebet cari di aplikasi ojek daring Gofood/ Grabfood. Katanya udah tersedia di apps tersebut.

Owner Olamita Mas Ihsan Averroes Wumu.

Dalam kesempatan tersebut, owner Olamita, Mas Ihsan Averroes Wumu juga menunjukan komitmennya sebagai pelaku UMKM yang peduli lingkungan, yakni dengan menggunakan packaging makanan yang sudah eco atau ramah lingkungan. Terbuat dari kertas daur ulang namun sudah food grade. Monggo aja yang mau mesen, hehe.

Mas Ihsan mengatakan bahwa ternyata makanan Gorontalo ternyata juga disukai orang yang bukan dari Gorontalo. Pada tahun 2020, Mas Ihsan katanya sempat bikin survey pengunjung restorannya, ternyata 70% bukan orang Gorontalo. Data ini berbeda dengan tahun 2016, ketika pertama kali Mas Ihsan membuka restorannya, sekitar 80% pengunjung adalah orang Gorontalo yang merantau ke Jakarta dan sekitarnya.

Ini menunjukkan bahwa makanan Gorontalo bisa diterima oleh siapa saja,” kata Mas Ihsan.

Kuliner Indonesia tak kalah dari kuliner negara lain

Daaan, bisa jadi tak hanya lidah orang Indonesia yang cocok dengan kuliner Gorontalo, orang luar negeri/ bule juga kali ya?

Pakar Kuliner Nusantara yakni William Wongso (Om William) berbagi pengalamannya memperkenalkan makanan tradisional Indonesia ke dunia internasional. Menurut Om William kalau kita mau memperkenalkan kuliner Indonesia tak cukup hanya dengan rasa. Soalnya kalau orang bule cuma kita perkenalkan rasa, paling tanggapannya cuma “Oh iya makanannya enak”, tapi abis itu mereka lupa.

Buku yang mengulas kuliner Indonesia karya Om William Wongso.

Hal yang lebih baik kalau sebelum kita tunjukkan rasa dan bentuknya adalah beri embel-embel Ini adalah makanan tradisional/ budaya khas daerah tertentu”. Dengan begitu akan mengundang pertanyaan lain, seperti daerah itu ada di mananya Indonesia? Baru kita bisa membuat mereka mengingat makanan khas Indonesia seperti apa.

Om William juga menjelaskan untuk membawa makanan Indonesia ke ajang internasional tentu saja ada perbedaan penyajian/ pengemasan. Begitu pula untuk makanan yang disajikan kepada VVIP, seperti jamuan kepresidenan, misalnya. Namun, kalau disajikan di rumah ya beda, biasa aja, tak masalah. Tak perlu platting, kudu ada kembangnya, dll, apabila di rumah. Pokoknya elemen makanannya lengkap, sudah sajikan saja tak perlu merasa malu atau gimana-gimana, gitu.

Om William Wongso pakar kuliner Indonesia.

Kalau untuk kepentingan membawa nama Indonesia tentu saja harus dibikin semenarik mungkin. Biasanya Om William melakukan hal-hal berikut untuk memperkenalkan kuliner Indonesia:

  • Menjelaskan bahwa kuliner tersebut adalah budaya daerah tertentu.
  • Membawa bumbu-bumbu asli dari Indonesia. Walaupun mungkin bahan-bahan makanannya dari luar sana, namun kalau bumbu sebisa mungkin jangan disubtitusi dengan bumbu di luar Indonesia. Soalnya bumbu Indonesia tuh unik dan cita rasanya kaya.
  • Memberi nama makanan dengan menggunakan bahasa Indonesia terlebih dahulu, baru kemudian dijelaskan dengan bahasa Inggris. Hal ini penting untuk membedakan makanan asli Indonesia dengan makanan dari negara lain. Selain itu juga bisa membuat orang luar negeri mudah mengingat makanan daru Indonesia.

Kita bisa masing-masing daerah bisa cari short list makanan apa aja, trus diulik lagi diambil esensinya untuk dibawa ke internasional. Indoensia itu banyak banget,” jelas Om William.

Binte Biluhuta yang disajikan di ajang internasional.

Kita jangan kecil hati bahwa kita bisa tampil bukan secara tradisional saja tapi bisa juga menyajikan kuliner indonesia secara modern tapi tetep cita rasanya otentik dan tradisional,” pesan Om William.

Sedangkan dalam kaitan dengan makanan ramah lingkungan, Om William memberikan saran sebagai berikut:

  • Mengurangi makanan daging, walau tak harus jadi vegetarian sudah sangat membantu. Sebagai gantinya bisa makan makanan plant base yang diperbanyak.
  • Makan secukupnya. Apalagi di masa pandemi begini, harus banyak berhemat.
  • Pengusaha-pengusaha restoran sebaiknya menjelaskan porsi makanannya untuk pelanggan di awal, supaya pelanggan tahu bahwa makanan tersebut terlalu banyak atau terlalu sedikit. Apabila terlalu banyak, supaya bisa memesan sesuai kebutuhan, sehingga tak ada lagi sisa makanan yang terbuang sia-sia.

Makanan ramah iklim versi saya

Sebagai orang asli Surabaya yang tinggal di ibu kota (coret), makanan yang selalu saya rindukan adalah “Salad Jowo” alias “Pecel”. Kalau di Surabaya, saya bisa mendapatkan makanan ini dengan gampang. Namun, di kota domisili saya yang sekarang agak susah menemukan pecel yang sesuai lidah arek Suroboyo.

Makanya, saya paling suka kalau ibu saya mengirimi bumbu pecel bikinan ibu sendiri dari Surabaya. Sesekali saya juga bikin bumbu pecel homemade sendiri. Bahan-bahannya gampang kok, cuma butuh: kacang tanah yang disangrai dengan sedikit minyak, gula merah, duo gula garam, duo bawang merah bawang putih, cabe besar kecil, dan kalau mau lebih enak bisa tambahkan daun jeruk, dan kencur.

Pecel makanan favorit yang saya nilai sih cukup ramah iklim ya? 😀 .

Untuk sayurannya, beli saya sayuran yang gampang didapat sepanjang tahun di pasar lokal. Bisa daun kangkung, bayam, kol, kacang panjang, dll. Bila perlu tanam sendiri di rumah. Pas butuh makan pecel tinggal petik deh hasil kebun kita di rumah 😀 .

Baca juga: Berkebun Bersama Anak-anak di Hari Minggu. 

Oh iya, biasanya kalau bikin pecel, sayurannya saya kukus. Menurut saya, sayuran yang dikukus lebih sehat karena tidak banyak kehilangan nutrisinya. Rasa sayurannya juga lebih terasa natural 😀 .

Saya bisa lho makan pecel setiap hari. Enggak bakal bosan. Memang makanan favorit, soalnya. Daaan, enggak ribet bikinnya,  hahaha.

Yuk, coba bikin pecel sendiri di rumah! 😀

Nah, begitu teman-teman kira-kira sedikit rangkuman dari materi yang diperbincangkan di talkshow Makanan Ramah Iklim sekaligus Peluncuran E-book “Memilih Makanan Ramah Iklim + 39 Resep Gorontalo” oleh para narasumber pada waktu itu. Plus, rekomendasi makanan ramah iklim versi saya. Yang enggak cuma menyehatkan lingkungan, namun juga bikin sehat tubuh kita.

Saya simpulkan dikit lagi yaaa, jadi yang dimaksud dengan makanan ramah iklim adalah:

  • Makanan rumahan yang dimasak sendiri
  • Makanan yang menggunakan bahan-bahan lokal.
  • Mengurangi konsumsi daging. Perbanyak makan protein nabati.
  • Diolah dengan cara tradisional, sedikit menggunakan minyak goreng.
  • Makanan yang bisa diolah dengan cepat dan menggunakan sedikit energi.
  • Makanan yang dimasak dan dimakan sesuai porsi, tidak berlebihan.
  • Makanan yang tidak dikemas dalam kemasan tidak ramah lingkungan.

Jadi, bagaimana? Sudah lebih paham tentang makanan ramah lingkungan? Apakah ingin mengubah manajemen memasak/ mengolah makanan plus pola makan sehari-hari di rumah kita menjadi lebih ramah lingkungan, supaya bisa ikut berpartisipasi mencegah perubahan iklim menjadi lebih parah lagi? 😀

April Hamsa