Mata anak plus, kok bisa? Bukannya yang biasanya punya mata plus tuh nenek-nenek ya? Hooohh, iya sama, awalnya saya juga heran, kok bisa anak punya mata plus? 😛 Namun, ternyata memang mata plus bisa terjadi pada anak-anak dan bukan sesuatu yang mengejutkan.

Memang anak itu sejak lahir, masih bayi, matanya plus kok, Bu,” begitu pernyataan dokter mata yang menangani kesehatan mata Maxy, anak pertama saya, akhir tahun lalu.

Ceritanya, akhir tahun lalu, kami memang beberapa kali ke rumah sakit untuk mengecek tumbuh kembang Maxy. Baik ke dokter tumbuh kembang anak, maupun ke psikolog.

Maxy udah beberapa bulan terakhir pakai kacamata.

Pada saat ke psikolog, pemeriksaannya merembet lagi nih, haha, jadi ke dokter mata. Soalnya, pada saat ketemu psikolognya, Maxy suka banget kedip-kedipin mata. Psikolognya kepengen tahu, itu tuh efek psikologis kayak gugup doank atau ada gangguan mata yang lebih serius sih?

Yawda, singkat cerita, dirujuklah Si Maxy ke dokter mata.

Waktu itu kami ke dokter mata yang ada di RS Azra Bogor. Ketemu sama dr. Artha Sandi, Sp, M.

Penyebab mata plus pada anak

Seperti kata pak dokter tadi, sebenarnya bayi tuh sejak lahir matanya memang plus. Namun, nanti seiring pertumbuhan si anak, kondisi mata plus itu akan berubah menjadi normal.

Nah, kalau kasusnya Maxy ini, matanya belum normal seutuhnya. Buat yang udah kenal Maxy, FYI, Maxy dulu memang terlahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) karena saat hamil saya menderita anemia. Akibatnya, beberapa pertumbuhan maupun perkembangan Maxy agak ngos-ngosan ngejarnya supaya bisa sesuai dengan milestones-nya.

Maxy ketika periksa mata.

Ternyata, tanpa kami sadari ada problem di matanya juga. Soalnya, sebelum pandemi, penggunaan gadget kan kami benar-benar batasi, sehingga memang enggak pernah ada keluhan.

Lalu, biasanya nih, anak yang punya mata plus tuh penyebab paling sering selain karena pertumbuhannya agak terhambat adalah karena faktor genetik. Apabila orang tua punya mata plus, biasanya si anak juga akan ada mata plus.

Kalau kasus Maxy, ternyata punya mata silinder dan menurut dokter itu warisan dari orang tuanya. Kebetulan bapake ada silinder. Saya juga sih, walau enggak parah 😛 .

Ciri-ciri anak menderita mata plus

Hmmm, kalau ciri-ciri Maxy menderita mata plus, yang saya sadari selama pandemi ini adalah Maxy kalau membaca atau menulis tuh jarak matanya dekat sekali dengan objeknya. Kemudian, sesekali mengeluh pusing.

Soal kedip-kedip tadi, waktu itu kami enggak menganggapnya serius soalnya anaknya perilakunya emang suka gitu. Jadi, kadang ada waktu di mana Maxy punya kebiasaan baru, seperti kadang bergumam apa gitu geje, main-mainin ludah (yang sempat bikin tanduk emaknya keluar :p ), suka membunyikan suara-suara seperti klok-klok pakai lidah, dll.

Cek mata pakai Autorefraktometer.

Nah, pada saat berdekatan dengan cek ke psikolog kebiasaannya berubah menjadi suka ngedip-ngedipin mata dengan intensitas cukup sering. Ya akhirnya dirujuk ke dokter mata tadi sama psikolognya.

Baca juga: Jangan Sepelekan Mata Belekan!

Kalau sekarang ditanya, “Maxy masih sering kedipin mata?”

Jawabannya adalah, “Enggak.” Ini pas kondisi Maxy nyopot kacamata ya. Cuma, memang kalau enggak pakai kacamata Maxy kalau baca atau menulis deket banget sama bukunya. Kan kacamatanya suka beberapa kali dilepas tuh, hedeeehh, kid!

Namun, alhamdulilah sih, kalau enggak gitu kan tidak pernah cek mata sama sekali ya? Padahal, anjurannya sih sebaiknya sejak kecil anak-anak tuh cek mata juga, sebagaimana periksa gigi. Apalagi musim sekolah online-online kayak sekarang ini. Coba deh cek mata anaknya. Buat tindakan preventif aja, sih.

Maxy akhirnya periksa mata

Maxy pertama kali ketemu dr. Artha Sandi tanggal 4 Desember 2020. Waktu itu ada tiga macam alat untuk mengetes mata Maxy. Saya googling nama-nama alatnya antara lain:

  • Snellen Chart dan Trial Lens

Teman-teman yang memakai kacamata pasti udah tak asing kan dengan alat ini?

Jadi, Maxy diminta untuk membaca huruf-huruf dengan ukuran yang berbeda-beda. Pertama dengan mata telanjang, kemudian ganti dengan memakai lensa kacamata yang dipilihkan oleh dokter. Biasanya dokter akan bertanya lebih enak melihat pakai lensa yang mana.

  • Autorefraktometer

Alat yang bentuknya seperti layar monitor komputer jadul dalam ukuran mini ini fungsinya untuk mengukur ketajaman pandangan mata.

Maxy diminta meletakkan dagunya gitu ke penyangga dagu yang ada di alat, kemudian alatnya akan mulai mengukur ketajaman matanya.

Saya lupa yang dilihat Maxy di layar monitornya waktu itu gambar balon atau rumah ya? Cuma inget dramanya doank, karena pada saat diminta meletakkan dagu aja Maxy histeris, entah dikira mau diapain 😛 .

Baru setelah yakin pemeriksaan mata itu enggak akan menyakitinya (seperti melibatkan jarum suntik, dll 😛 ), Maxy mau diperiksa oleh dokter.

  • Slit Lamp

Alat ini disebut juga sebagai mikroskop mata. Sayang saya enggak sempat foto alatnya hehe, sorry. Alat ini untuk memeriksa apakah ada kelainan atau penyakit pada mata yang tidak bisa dilihat hanya dengan mata telanjang.

Jadi, sama kayak alat autorefraktometer, Maxy diminta meletakkan dagunya gitu, kemudian matanya diberi cahaya.

Kalau baca-baca artikel kesehatan, fungsi alat ini adalah untuk pemeriksaan mata secara menyeluruh, meliputi kelopak mata, iris, lensa, kornea, dll.

Setelah diperiksa dengan semua alat-alat yang saya sebut tadi. Sebenarnya dokter mata masih ingin mengulang semua tes-tes itu lagi untuk perbandingan.

Perbedaan dengan sebelumnya adalah, mata Maxy harus ditetesi semacam obat mata dulu gitu. Tujuannya (kalau tak salah, maaf saya agak-agak lupa) supaya matanya lelah.

Maxy saat diperiksa matanya secara menyeluruh pakai alat kayak mikroskop gitu.

Jadi pada saat tes pertama kan matanya tidak dalam kondisi lelah tuh, belum melakukan aktivitas berat atau gimana gitu, sehingga khawatirnya tidak ketahuan problem mata yang sebenarnya. Bisa jadi si anak saat tes berusaha untuk menajam-najamkan matanya (gimana ya bilangnya? Haha 😛 ), sehingga ukurannya tak akurat.

Nah, kalau udah ditetesi obat mata tadi, matanya akan ada dalam kondisi sebenarnya, kayak tak bisa dibuat-buat gitu, lho. Bisa dipahami enggak yaaa? Wkwkwk, maaf kalau kurang bisa menjelaskan dengan baik heuheuheu.

Namun, pemeriksaan untuk perbandingan belum bisa dilakukan saat itu, soalnya Maxy menolak ditetesi obat mata. Anaknya takut matanya perih (emang ini anak satu grrrhhh 😛 ).

Akhirnya pak dokter bilang untuk melanjutkan tesnya hari lain aja. Syaratnya mata Maxy udah ditetesi obat mata itu.

Yawda, kami kembali lagi tanggal 12 Desember 2020, deh, setelah Maxy dibujuk-bujuk supaya mau ditetesi matanya pakai obat itu. Selain itu, ternyata obat tetes mata yang diresepkan agak susah didapatkan di apotek dekat rumah. Kudu nyari di apotek besar kayak Kimia Farma gitu. Oh iya, di apotek rumah sakit tempat dokter praktik matanya juga saat itu tak ada hehe.

Obat tetes mata ini hanya bisa ditemukan di apotek besar.

Pemeriksaan mata pada tanggal 12 Desember juga masih sama seperti sebelumnya. Alhamdulillah, kalau dari hasil semua pemeriksaan ini syaraf mata Maxy baik-baik aja sih, namun ada mata plus dan silinder 😛 . Dikasi resep kacamata deh 😛 .

Lalu apakah mata plus ini akan hilang?

Sempat nanya sih, tapi pak dokter bilang kemungkinan bisa, ketika remaja. Cuma pak dokter berpesan sebaiknya si anak kontrol cek mata lagi setelah 6 bulan kemudian.

Selama masa pertumbuhan itu si anak dianjurkan memakai alat bantu seperti kacamata atau kontak lensa. Tujuannya supaya mata anak tidak terlalu lelah, yang nanti berakibat pada terjadinya mata malas (kayak mata tampak juling gitu).

Ya, kami prefer kacamata aja dah kalau buat anak kecil. Lebih tak banyak dramanya, lha wong ditetesi mata pakai obat mata saja drama gitu 😛 . Maka, sepulang dari dokter kami langsung beli kacamatanya.

Tips membeli kacamata untuk anak kecil

Membeli kacamata buat anak kecil, tentu berbeda dengan kacamata orang dewasa. Soalnya biasanya anak kecil kebanyakan gerak dan ada aja ulahnya yang bikin kacamata kadang enggak awet.

Kemarin pertimbangan kami membeli kacamata buat Maxy adalah:

  • Pilih kacamata dengan bingkai, bukan sekadar mur (kacamata tanpa bingkai). Kami pilih bingkainya yang agak mahalan dengan harapan supaya awet. Anak kecil kan suka memakai dan membuka kacamata dengan ngasal ya?
  • Sedangkan untuk lensa, sebaliknya. Kami tidak membelikan yang terlalu mahal. Mengingat 6 bulan lagi kalau cek mata lagi ada perubahan ukuran atau gimana gitu kan? Jadi, enggak terlalu mewekin harga kalau mesti ganti lensa lagi 😛 . Berbeda dengan kacamata yang yaaa bisa dipakai bahkan hingga 2-3 tahun. Kalau ini sih ipilih lensa yang bagusan hehe.
  • Sebenarnya kalau untuk anak kecil lebih aman dibelikan yang ada rantainya ya? Namun, waktu itu kami izinkan Maxy memilih bingkai sendiri dan prefer yang tidak memakai rantai, jadi yowes pilih yang biasa aja.

Maxy dan kacamata pilihannya sendiri 😛 .

Itu aja kayaknya pertimbangan kami beli kacamata buat Maxy kala itu. Hal-hal lainnya paling ya sering-sering bawel supaya kacamatanya dipakai dan ngingetin supaya enggak ditaruh sembarangan saat dilepas 😛 .

Yaaa, jadi begitulah teman-teman cerita singkat mengapa anak saya atau mungkin anak lain bisa mengalami masalah mata plus. Yes, karena ternyata mata plus bukan hanya masalah lansia namun juga bisa diderita oleh anak-anak.

Semoga postingan tentang mata plus pada anak ini bermanfaat dan jangan lupa cek mata si kecil ya 🙂 .

April Hamsa