Disclaimer: Tulisan ini mengandung curhatan – Bulan Juni-Juli biasanya identik dengan masukkin anak sekolah tetapi kami malah kebalikannya, mengeluarkan anak dari sekolah, heuheu. Yeah, mengeluarkan anak dari sekolah konvensional di masa pandemi merupakan salah satu keputusan terbesar yang kami buat tahun ini.
Tak sedikit yang kaget serta menyayangkan keputusan kami. Iya sih, soalnya keputusan ini agak terdengar konyol ya (buat sebagian orang)? Terutama untuk si sulung yang udah kelas 1 SD ya?
“Wong wes mbayar mlebu sekolahe larang-larang, uang gedung, seragam, dll, kok , malah metu?”
“Sudah bayar masuk sekolah mahal-mahal (meliputi) uang gedung, seragam, dll, kok malah keluar?” Gitu deh kira-kira gumunannya orang-orang. FYI, anak saya Maxy kemarin masuk sekolah swasta, SD IT.
Perpisahan itu menurut saya kadang ada baiknya. Sumber gambar: Pixabay.
Untungnya yang komeng-komeng kek gitu bukan keluarga, sih. Justru orang-orang lain. Kalau mbah-mbahnya ketika dikabarin cucu-cucunya enggak disekolahin lagi jawabannya cuma: “Yo wes gapapa yang penting gimana pun yang terbaik.”
Alhamdulillah, punya mbah-mbah yang bisa mengerti #terhura.
Jadiiii, sakjane ngunu yang menjadi alasan kami, saya dan suami, berani mengeluarkan anak dari sekolah konvensional itu apa sih?
Sebenarnya ada beberapa alasan, sih, namun tiga hal ini adalah alasan utama kami, khususnya saya pribadi ya:
Masa pandemi membuat saya sadar mengenai konsep sekolah terbaik
Bagi teman-teman yang muslim, pasti tidak asing dengan Hadist:
“Al ummu madrasatul ula.”
Yang artinya: “Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.”
Bahwa, seseorang yang telah menjadi ibu biasanya secara tak langsung menjadi guru bagi si anak.
Bagaimana tidak? Sejak anak masih kecil, ibu mengajari gimana caranya makan, caranya duduk, dan hal-hal lainnya. Hal ini membuat anak-anak, biasanya menjadi sangat dekat dengan ibu, sehingga mencontoh perilaku ibunya. Itulah modal utama yang wajib diyakini semua ibu, bahwa dirinya tuh bisa jadi guru, minimal untuk anaknya sendiri.
Nah, belakangan, sedikit demi sedikit, keyakinan saya mengenai itu makin membesar.
Tahu donk ya, masa pandemi gini mengharuskan kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah konvensional sebagian besar beralih ke pembelajaran online? Kondisi ini membuat orang tua, khususnya ibuk-ibuk nih. mau enggak mau lebih banyak terlibat dengan aktivitas belajar anak kan?
Makin hari makin menikmati jadi guru anak-anak sendiri. Sumber gambar: Pixabay.
Nah, saya tuh menyadari bahwa mengajari anak-anak tuh ternyata “semenyenangkan” itu. Walau kata suami dan anak-anak saya tuh serem kalau ngajar, ada galak-galaknya, enggak sabaran pas anak tak kunjung mengerti saat saya ajarin (heuheu 😛 ), namun saya happy gitu lho ngajarin anak-anak saya sendiri.
Apalagi saat progress-nya bagus ya. Anak yang tadinya enggak bisa menjawab soal kemudian jadi bisa lancar menerjakan soal tersebut. Anak yang tadinya jarang kami ajak berdiskusi tentang pelajaran sekolahnya, jadi lebih aktif menyuarakan pendapatnya mengenai pelajaran mana yang dia suka atau enggak suka.
Singkat kata, masa-masa sekarang tuh mengingatkan kembali mengenai keinginan saya duluuuu bangeeett untuk menjalankan homeschooling atau sekolah di rumah saat anak-anak masih berusia dini, dulu. Sayangnya, ada masa di mana saya terserang rasa enggak percaya diri untuk mengajari anak-anak saya sendiri, sehingga saya seolah melupakan hal tersebut.
Padahal, kalau dipikir-pikir yang bikin enggak PD apa gitu, lho? Sejak kecil saya selalu masuk ranking 5 besar di sekolah, saya diterima masuk PTN dua tahun berturut-turut (walau yang satu saya lepas 😛 ), saya bisa sekolah sampai S2? #uhuuukks
InsyaAllah, kalau dari track record akademis saya mampu lha (ini yang saya katakan kepada diri saya sendiri ya? Gpp dikatain syombonk wkwkwk). Tinggal, pondasi kesabaran aja nih yang perlu saya kuatin saat mengajari anak-anak (doakan ya! 😛 ).
Selain itu, alasan lainnya adalah dengan bersekolah di rumah dan saya menjadi guru utamanya, saya bisa lebih gampang mentransfer nilai-nilai keluarga kami kepada anak-anak.
Nilai-nilai yang diajarkan sekolah lama tidak sesuai dengan value keluarga kami lagi
Alasan kedua, terus terang faktor sakit hati. Heuheuheu iyaaaa, saya lelah dengan kebijakan-kebijakan sekolahannya yang kemarin 🙁 .
Bayangin, ketika anak-anak lain belajar di rumah (PJJ) karena pandemi, kebijakan sekolah malah tetap masuk (PTM). Anak-anak diminta pakai seragam bebas gitu. Lalu, kalau ada dinas terkait sidak, anak-anak dipulangkan cepat atau diliburkan.
Sebagai orang yang selalu berusaha nurut sama aturan yang berlaku, ini bertentangan dengan hati saya. Mungkin orang-orang akan menilai lebay atau gimana ya? Namun, menurut saya, menyuruh anak masuk sekolah secara sembunyi-sembunyi, bukannya secara tidak langsung mengajari anak tidak taat aturan dan lebih parahnya lagi, berbohong ya?
Tidaaakk. Saya enggak bisa. Biarin aja dikatain lebay!
“Kok enggak dilaporin ke pihak terkait?” Mungkin ada yang bertanya demikian?
Yaaa, gimana, masa saya tega? Di zaman susah gini ntar bikin laporan ke instansi terkait, kalau sekolahnya disegel gimana nasib guru-gurunya nanti?
Lagian, sebenarnya sekolah ini masih menyediakan kegiatan belajar mengajar online, sih. Tapiii yaaa gituuu, deeehh, karena fokusnya tatap muka, maka yang ikutan online-online berasa banget dinomor duakan. Sekolah terlihat tidak punya keinginan sama sekali membuat pembelajaran daring yang lebih inovatif. Masih terpaku pada duduk depan layar monitor dari pukul 8 pagi hinggal 12 siang. Lha, bokonge anakku keju, rek. Belum lagi risiko kesehatan mata yang mengancam 🙁 .
Setiap keluarga memiliki prinsip/ nilai-nilai yang dianut dan berharap hal itu sama dengan sekolah anaknya. Sumber gambar: Pixabay.
Betenya lagi, tiap ada pengumuman kegiatan apapun dari sekolah, yang online ini enggak pernah disebut secara spesifik. Kami yang online kudu nanya dulu, nanti anak-anak yang online gimana. Grrrhhh, gimana enggak gemes? Mbayare podho, tapi ora dianggep!
Trus, yang bikin kesel, sekolah mewacanakan tahun ajaran baru nanti, PTM akan dilaksanakan 5 hari dalam seminggu. Itu artinya anak berangkat sekolah setiap hari seperti dulu, hanya jamnya berkurang atau gimana, gitu. Yang memilih PJJ enggak dibahas karena fokusnya ke tatap muka.
Soal kegiatan belajar mengajar itu satu hal ya? Masih ada satu hal lagi yang bikin saya makin stress.
Yaaa, kalau PTM dengan murid dibatasin dan shift-shiftan mungkin saya masih ada sedikiiitt memaklumi. Namun, di luar itu, sekolah sering bikin acara kumpul-kumpul murid, bahkan dengan orang tua, yang saya rasa tidak terlalu urgent. Sebut saja, acara dongeng, perpisahan TK, acara penghargaan, dll.
Masio bilang pritikil-pritikil kisihitin, bagi saya yang namanya mengumpulkan massa, apalagi itungannya lebih dari 100 orang dalam satu venue, itu enggak bener.
Puncaknya, yang bikin saya benar-benar geram adalah ketika sekolah tetap memaksakan bikin acara penghargaan dengan panggung, bertepatan dengan makin banyaknya berita orang positif Covid-19 varian Delta dan meninggal. Kenapa enggak ditiadakan aja gitu lho untuk mengajari anak-anak berempati pada kondisi?
Yang malesin lagi juga komitenya. Kebetulan, saya tergabung di WAG komite sekolahnya. Dua hari sebelum acara penghargaan itu diadakan di WAG itu kasak-kusuk soal kok acara enggak ditunda. Eh, namun tak ada seorang pun yang inisiatif untuk mempertanyakan di WAG komite satu lagi (yang ada kepsek mapun manajemennya), tuh.
Ealah, saya pikir komite sekolah tuh semacam DPR-nya warga sekolah. Yang saya dapati satu per satu member komite bilang bahwa dirinya udah izin secara pribadi supaya anaknya enggak ikutan acara tersebut.
Lha, lalu bagaimana dengan orang tua lain yang enggak paham perihal acara tersebut? Khususnya untuk orang tua anak kelas 1?
Menurut saya PJJ adalah pilihan terbaik untuk anak-anak yang bersekolah di area dengan akses internet yang gampang di masa pandemi ini. Sumber gambar: Pixabay.
Beneran lho ada yang enggak paham. Soalnya waktu itu ada ibu teman sekelasnya anak saya yang tidak tahu soal acara itu. Trus, karena saya tahu beliau ini ikut PJJ dan kurang sreg juga dengan acara rame-rame semacam itu, yawda saya inisiatif japri menjelaskan acaranya tuh ada panggung dan kemungkinan akan mengumpulkan banyak massa. Beneran deh, si ibu ini yang memang tidak sreg juga dengan kegiatan itu lalu japri walas untuk janjian sendiri soal pengambilan raport dan penghargaan anaknya.
Lanjut soal WAG komite, dari perbincangan terakhir di WAG itu pula saya mengetahui ada beberapa orang tua/ keluarga murid yang terkena Covid-19. Namun, ya mereka pada santuy aja. Bikin saya flashback saat dulu ada keluarga tetangga sekolah atau murid TK yang masih satu lingkungan dengan SD ada yang kena Covid-19, pada ribut di WAG. Eh, sekarang warga sekolahnya yang kena sendiri, mereka santuy.
Wes embuhlah, akhirnya saya putuskan berpamitan aja, daripada saya stress dengan kebijakan-kebijakan sekolah dan komite yang enggak kayak DPR (iyes, saya selebay itu, memang).
Intinya, nilai-nilai yang ditawarkan oleh sekolah untuk anak-anak saya sudah tak sesuai dengan yang dianut dan dipahami oleh keluarga saya. Maka, saya mantab memutuskan “berpisah” demi kebaikan.
Dengan begitu, saya enggak akan merasa sakit hati dan stress dengan kebijakan sekolah. Sebaliknya, sekolah enggak akan terbebani oleh satu orang tua murid yang bawel kek saya, yang mungkin menghambat progress kegiatan mereka.
See? Kadang perpisahan ada baiknya juga kan?
Menemukan sekolah yang ideal di masa pandemi
Lalu, alasan ketiga, iyes, saya menemukan institusi pendidikan yang ideal di masa pandemi.
“Lho katanya mau homeschooling?” Ada yang nanya?
Iyes, anak-anak saya secara teknis tuh sebenarnya homeschooling, namun ada lembaga yang memandu kami, supaya lebih terarah gitu belajarnya. Guru utamanya ya tetap kami, orang tuanya.
Menemukan sekolah yang ideal saat pandemi adalah rezeki. Sumber gambar: Pixabay.
Pilihan sekolah yang ini memang saya akui bukanlah yang terbaik, namun menurut saya IDEAL sebagai media belajar anak-anak di masa pandemi ini.
Anak saya yang kedua sudah terlebih dahulu ada di sekolah ini saat TK B (ndouble dengan TK konvensionalnya), sehingga saya sudah yakin, “Ahaaahh, inilah yang saya cari selama ini!”
Begituuuu…
Yaaa, itulah 3 alasan utama yang membuat saya dan suami berani mengambil keputusan untuk menarik anak dari sekolah konvensional.
Nanti, kalau pandemi udah kelar, kalau anak-anak mau belajar di sekolah konvensional lagi ya hayuk aja. Tentu saya survey dulu sekolahnya, selama pandemi kemarin kegiatan belajar mengajarnya gimana, supaya enggak kecewa lagi. Supaya tahu bahwa value-nya sama. Namun, kalau anak-anak masih mau terus belajar bersama orang tuanya dan sekolah yang saat ini, ya itu juga tak masalah.
BTW, maafkeun saya sebelumnya, kalau hawa tulisan ini agak kurang enak yaaa? 🙁
Tulisan ini sesungguhnya saya bikin hanya untuk menuangkan uneg-uneg saya aja, bukan untuk memberi inspirasi orang tua lain supaya mengeluarkan anak dari sekolah konvensional juga di masa pandemi ini. Soalnya saya paham kok setiap orang tua pasti tahu apa yang terbaik untuk dirinya, anak-anaknya, serta keluarganya. Saya tidak mau menjejalkan pikiran saya mentah-mentah ke orang lain. Harapan saya cuma semoga pengalaman saya ini bisa menjadi pelajaran buat orang tua lainnya ketika memilih sekolah untuk anak-anak ya 🙂 . Terima kasih sudah mau membaca curhatan saya 🙂 .
April Hamsa
I feel youuu, sist
Emang masalah sekolah anak ini sesuatuuuu
Terlebih d masa pandemi.
Aku jg sempat mindahin anakku k homeschooling kannn
Bener banget, aku dah gak kuat deh, drpd aku setres, trus berimbas ke anak. Alhamdulillah skrng dapat sekolah yang sesuai harapanku. Memang bukan yang terbaik tapi ideal utk masa pandemi yang msh gak jelas
OMG! Bandel banget itu sekolah, membahayakan siswa-siswa. Padahal mereka tugasnya mengedukasi ya, ini malah acuh sama COVID-19. Sehat-sehat ya mba dan keluarga!
Beberapa sekolah banyak yang gini kalau baca komen2 soal sekolah di salah satu akun IG yang kasi info ttg covid 🙁
Semoga ibu2 lain bisa bertahan, kalau saya terus terang gampang down dan kepikiran, jd drpd saya stress lbh baik segera saya cut
Jadi TK nya dimana? Rekomen doongg
Anakku udah SD mas, moso TK terus heuheu
wah sebagai orang tua yang punya anak kelas 1 juga, ngerasain banget aku mba. andai aku di posisi mbak aku beneran mungkin akan melakukan hal yang sama. aku bener2 gak sepaham dengan sekolah PTM di masa delta dan kappa sedang mengerikan. aku dukung keputusannya mbak, toh kalau kenapa2 kenapa dengan anak kita, sekolah konven tsb mungkin tak bisa berbuat banyak, tetap kita yg menanggung
Nah, semoga aja ada pertimbangan utk mulai memikirkan KBM daring yg lbh baik di sana. jg di sekolah2 lain yg msh kyk gtu.
tentu masing masing orang tua punya pandangan dan pilihan nya masing masing ya mbak. Mana yang terbaik itu tentu yang dipilih. Pasti ini jadi tantangan tersendiri ya
pastinya 🙂
Wah, kok aku jadi ikut gregetan ya Pril. Emang akhirnya value dari sekolah itu keliatan banget pas masa pandemi gini, jadi keliatan aslinya, haha. Setuju dah, keluarkan dari sekolah konven drpd sakit ati mulu, hehe. Semangat jadi ibu homeschooler yaaa, sambil ngomong ke diri sendiri juga nih, hehe
Betuuull sekali.
Gak hanya sekolah, watak org juga keliatan heuheu
Sebel kalau sekolahnya gak kooperatif gini yaa…
Tapi tetap kebijakan terbesar ada di tangan orangtua.
Semoga homeschoolingnya lancar dan semua bahagia.
Terima kasih mbak
Sejujurnya, kemarin sempat aku mikir untuk byebye dengan sekolahnya anak-anak yang sekarang. Karena gak sekolah offline kok SPP malah naik?
Belum lagi uang gedung.
Pas ngeluh begini ke suami, beliau bilangnya “Kita salah besar kalau mengorbankan pendidikan anak-anak.”
Jawaban begitu antara bikin hati tenang sama emm….aku kudu extra mendampingi anak-anak sekolah PJJ niih… ((emak gak mau rugi)) huhuu….
((keluar deh, akhirnya curhatanku selama ini, maaf yaa, kak April… Suka banget kalau keluarga kak April bisa memutuskan yang terbaik dan yang ideal menyesuaikan kebutuhan anak-anak saat ini)).
Soal sekolah ini saya sudah sering baca tweet-tweet dirimu di Twitter. Paham banget dengan perasaanmu dan visi misi yang keluarga Hamsa miliki. Semoga dimudahkan semua urusan dan anak-anak sehat serta ceria selalu. 🙂
Aamiin makasih mbak
Di tengah kondisi pandemi seperti sekarang ini, yang punya anak sekolah rasanya memang bikin emak-emak bekerja ekstra untuk anak-anaknya ya mba’. Waktu antara bermain dan belajar pun kudu pinter mambagi waktunya.
Pastinyaaa
Masa pagebluk yg entah kapan berakhir ini menuntut kita utk “berakrobat” memutuskan banyak hal secara bijak.
termasuk dalam hal sekolah anak
semangaattt buat kita semuaaaa
Semangaatt
Sama nih.. sampai sekarang saya juga belum mendaftarkan anakku ke sekolah resmi. Tapi saya masih berharap untuk sekolah resmi, semata-mata untuk sosialisasi anak. Kalau urusan akademik saya insya Allah sanggup ngajarin. Tapi sosialisasi kan mereka harus bergaul.. ini yang agak susah. Khawatir agak egois aja nantinya di lingkungan kalau ga dibiasain sosialisasi. Soalnya anakku dominan.
Buat adik Fi?
Wah kata siapa anak HS gak bisa sosialisasi?
Justru “pergaulan” lbh luas gk hanya dgn yang sepantaran tp jg dr jenjang usia lain. Gak harus didapat dr sekolah, bisa jg dari kegiatan lain seperti les, dgn tetangga, dll.
Keluarin aja Mbak unek-uneknya. Aku ngezoom 3 jam aja ngehang apalagi anak-anak yang kudu natap layar mulu tiap hari. Yo kesel lah
Pilihan ini pasti udah ada pertimbangan macam-macam apalagi lagi pandemi kan. Yang penting Mbak April mau ngajar anak-anak. Soalnya di sini tuh ada anak keluar sekolah terus ortunya biarin aja dia dan gak belajar. Kasihan soal pendidikannya. Sekeluarga pada lulus SD doang coba
memang pandemi gini mau gak mau mengembalikan fitrah ortu dlm pendidikan anak
Ya begitulah sekolah konvensional, kalo dihitung2 sih kadang rugi juga, banyak yang mengalami, udah bayarnya mahal, kebijakan yang labil.
Bersyukur dengan Pilihan dirimu mak, kedepannya tinggal bagaimana sebagai orang tua memberikan pendidikan yang terbaik buat anak2nya. Apapun pilihan dan disepakai setiap orang tua, pastinya ada tanggung jawab yaa dan udah ada solusinya.
Tetep semngaaat.
Dan uneg2nya sudah diterima yo, wess tak buang maning, biar eike ga misuh2 juga hahhaaa.
Nah itulah udah bayarnya mihil, gak memuaskan, mengalami diskriminasi pula dgn yg PTM. Pdhl selama ini kami berusaha patuh ikut anjur pemerintah, justru kami yg salah.
Ini mewakili curhatan kabanyakan ibu di Indonesia deh. Aku udah sejak awal pandemi lalu memutuskan homeschooling, mbak. Awalnya kacau balau sih.. tapi lama kelamaan sudah mulai nemu pola walau belum sempurna banget. Untungnya banyak yang bantu, ada komunitasnya juga. Jadi belajar pelan-pelan deh.
Alhamdulillah mbak, semoga selalu semangat dan diberikan kemudahan ya 🙂
itu sekolahnya di mana sih mba #eh 😀
masih di Jabodetabek kan? Kok masih kekeuh PTM dan event yg lain2nya gt di masa pandemi?
Klo ddulu awal 2020 sih masih banyak emang di daerah yg msh PTM krn msh zona hijau gt
tp klo Jabodetabek kan klo ga merah ya item hehehe…jd dr awal ku pikir dah ga ada sekolah yg PTM.
aku kangen anak2 PTM, anak2ku juga cm ya klo kondisi kayak gini ya enggaklah. pilih PJJ aja
Iyaaa masih di kota yang fasilitas inetnya mumpuni huhu
Aku walau belum punya anak, turut merasakan sih nano-nanonya nemenin anak sekolah masa pandemi. Keputusan apapun yang diambil orang tua, pasti maunya yang terbaik buat anaknya. Kalau dirasa homeschooling lebih baik, kenapa nggak ya mbak? Hehe.
Iya mbak 🙂
Manajemen masing-masing sekolah beda-beda ya terkait PJJ. Ada yg siap dan ada juga yg gak siap. So far kalo sekolah anakku (SMK) ya sebenernya biasa aja sih manajemennya, fokus daring tapi u.praktik nah baru pada hari tertentu akan PTM. Alhamdulillah jd berasa HS sebenarnya selama daring ini hehe.
Iya kalau praktik jelas butuh luring ya mbak
Mbak April…. semangat, orang tua yang paling tahu kondisi anaknya memang jadi yang menetukan mau gimana-gimana yang kita orang tuanya. Semoga dimudahkan homeschoolingnya yaa mbak, Next mungkin bikin tulisan tips dan trik memulai homeschooling
Aamiin makasih mbak
Kyknya aku tu msh jauh dr HS murni, wong aku msh ngandelin lembaga hehe’
Meresahkan memang jika ada yang tak sesuai dengan peraturan. Mumpung masih awal mending kluarin aja. Ini yang terbaik
iyaaaaaaaaaa
Tadinya saya udah mantap untuk homeschooling setelah anak gagal masuk sekolah negeri. Sempat tanya ke April juga, kan. Anak saya juga udah mau banget.
Eh, gak taunya saya gak ditelpon-telpon. Coba DM dan tanya via WA, jawabannya dioper-oper. Hubungin ke sini bilangnya harus kontak ke sana. Hubungin ke sana dioper lagi hehehe.
Mungkin kalau untuk jenjang SMA masih kurang siap kali, ya. Jadi ya udah lah, kami langsung gercep cari sekolah lain.
Alhamdulillah dapat sekolah swasta kecil. Sampai sekarang masih PJJ. Semoga aja pelaksanaannya lebih bagus. Karena kalau cerita dari banyak orangtua, PJJ sekolah swasta lebih siap daripada negeri.
Haha iya kali ya mbak, soalnya emang ada beberapa kelas blm terisi sesuai kuota dan kyknya dicancel.
Beda ma anak PAUD TK dan SD kelas 1 yang bisa 500an lebih anaknya
Kelas2 pun msh 100an
Jd yg SMA mungkin msh blm siap
Semoga sukses di sekolah barunya kakak Nai
i feel u mbak
aku juga merasakan ini dan akhirnya aku pun juga mengeluarkan anakku dari sekolah konvensional
yuk semangat yuk
Huhuhu
Klo baca alasan kamu ya mba, yo aku juga setuju untuk mengeluarkan anak-anak. Akupun mungkin akan melakukan hal yang sama. Tapi klo alasannya cuma yang no 1, kayaknya ku tak sangguuupppppppppp. Wkwkwkwk. Bisa makin bertaring gigi aku ntar.
hehehe, mangaaatt mbak 😀
alhamdulillah udah ketemu bentuk pembelajaran yang terbaik buat anak-anak, yo, mbak. Daripada dongkol ngikutin aturan sekolah atau komite yang tidak cocok. Lha kalo emaknya enggak happy, gimana anak bisa belajar happy.
btw, mau nanya tentang si PKBM ini nih walau belum dibahas di tulisan, hahaa. Dema udah 7 tahun? Setahuku kalau daftar PKBM nunggu 7 tahun barulah dapat NISN. Itu gimana ya?
Dema udah dapat NISN dari TK konvensionalnya dulu
Aku yang baca aja ikutan gemes dengan keputusan sekolah yang suka-suka gini. Masa iya umpet-umpetan dengan dinas? Nggak bener sih kalo masih pandemi yang parah gini tetap ngadain PTM. Di Semarang yang sempat PTM cuma anak SMK karena ada praktek segala. Tapi sekolah di bawah nya kayak SD dan SMP gitu masih PJJ
Iya mbak banyak sekolah kyk gini
Parah juga ya pihak sekolah memaksakan tatap muka dan berbagai acara di masa begini kalau ada apa-apa nanti pada menyesal ya hiks.. akhirnya dirimu memutuskan keluar juga, lebih baik begitu Mak daripada makan hati..
Ya ampun, kok gitu ya.. Muridnya masuk sekolah, kl ada yang datang sidak dipulangin cepet.. Duh ini emang udah nggak bener, apalagi di area Jakarta itu ya mbk.. Udah tau kasusnya banyak disana malah siswanya disuruh masuk huhuhu.
Keren kamu mbk, semoga lancar ya HSnya
Duh, ngerasa banget sih apa yg dituliskan disini. Aku jd kek merasa terwakili.
Jd gini loh (jd mo curhat jg kan)..
Sekolah anak aku itu jg akhr2 ini bikin pengumuman ngaget2in.
Masa jam 9 malam dikasih pengumuman ‘besok ptm’. Dan jam 9 malam jg batas japri guru ybs kalo gak bisa ikut ptm. Alhasil kan namanya mamak rempong gak bs semuanya yg buka hp pd jam segitu.
Anak aku sendiri akhirnya for the first time masuk sekolah. Shift sih dan muridnya dikitt. Tp aku msh bs tolerir selama ya gak ada macem2. Kek acara ini itu. Krn komunikasi tuh kurang banget disini. Masa ada anak yg gak masuk grup bhs inggris gurunya gak tau sampe 1 semester. Berarti selama itu gak ada masukin nilai anak dong. Kan aneh.. Huhu. Jd drpd komunikasi sering dicuekin gegara milih pjj. Aku masukin anak aja. Sering banget dicuekin soalnya.. Heu heu
AKu mendukungmuuu!
Untuk sekolah yang belum punya ketegasan dalam belajar mengajr kek gini – anak disuruh berbohong, jadi mencla mencle mengko la’an!
Met homeschooling yaaa Maxy, semoga Ibu menjadi madrasah terbaiiiik!
Salut dengan idenya mengeluarkan anak-anak dari sekolah konvensional. Benar ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anak.
Aku juga bersyukur banget dengan pilihan kami sekarang. Anak-anak yang HS dan terkonsep itu malah valuenya lebih ngena. Nilai-nilai yang disampaikan juga lebih mudah diterima anak-anak. Alhamdulillah setahun ini progres anak-anak bagus meskipun kondisi lagi pandemi
Aku angkat topi mba ;). Kalo aku jadi dirimu, aku bakal lakuin yg sama. Lah ga bener kok sekolahnya.
Walopun aku sadar fondasi sabarku itu setipis rambut dibelah tujuh, tapi tetep aja aku ga rela nyekolahin anak tatap muka di masa pandemi LG naik begini . Ya mending aku yg ngalah naikin kadar sabar drpd anakku sakit.
Lah TK nya si Adek , sebelum ppkm, mereka itu juga masuk mba. Tapi dr THN lalu aku minta khusus anakku TLG kirimin aja materinya. Aku ga akan izinin anakku masuk dengan guru2nya dan ortu murid plus murid2 paud dan TK yg ga ngerti cara pake masker yg bener. Ntr kenapa2 ke anakku gimana. Aku ga kluarin dia, Krn kebetulan gurunya walopun aku curiga dia ga percya covid, tp tetep hormatin pilihanku, dan tetep mau kirim2 materi sekolah. Lagian uang sekolah TK nya msh murah sih, Yo wislah aku pertahankan aja.
Kdg yaa, kalo baca chat para ibu2 murid di grub, mau emosi sendiri. Mereka maksa tetep masuk aja walo sdg ppkm. Malah nyalahin pemerintah anak2 mereka JD goblok sjk sekolah di rumah. Gimana coba aku nahan diri biar ga emosi bacanya -_- . Kluar Dr grub ga mungkin, tapi mood selalu drop kalo udh baca chat di situ.
Memang hrs banyakin sabar ya mba, di masa pandemi. Selalu Inget Ama kata2, yang waras ngalah laah…
Duh.. Kok tega banget mba sekolahnya memaksa murid masuk saat pandemi, harusnya kan ortu dikasih opsi ya. Masa pandemi begini memang sudah semi homeschooling sebetulnya. Salam kenal.
semangattt mak semoga betah di sekolah baru tanpa drama sesuai keinginan hati
tapi biasanya dilema orang tua dalam banyak hal ya begitulah xD
tapi moga di smm lancarrrrrrrrr
Kok ada ya sekolah yang mangkreng masih mau tatap muka sedangkan angka positif lagi naik2 ke puncak gunung?
Sepakat sih, sejatinya guru yg terbaik memang orangtuanya, dan memang sudah langkah baik sih untuk keluar dr sekolah yg seperti itu.
Semoga di SMM sekarang jadi betah ya, anakku juga mau masuk ke SMM tahun ajaran baru nih..
aku setuju dengan keputusanmu kalo aturan sekolah ga jelas apalagi banyak pengeluaran ini dan itu trus ada acara duh bikin ilfil. Lebih baik panggil guru private gitu ke rumah seminggu berapa kali ,soalnya ponakanku ada yg SMP begitu masuk tahun lalu sampai skg panggil private. Alhamdulillah anaknya pun lebih cerdas bahasa inggrisnya udah lancar banget
Peluk jauh. .
Mbaaaa, komite seharusnya nggak gitu. Dan aku mungkin bakal pilih hal yg sama dgn mba April, karena kok sekolah diem2. Alhamdulillah para mbah support yaaa. Orang lain mah biarkeun sajalah..
Ini nggak lebay mbaaaaa… aku padamu
Kok aku ikut geregetan ya bacanya. Memang paguyuban itu seperti DPR, jembatan antara warga sekolah dengan guru/kepsek. Di tempatku fungsinya masih normal. Senin besok ada perwakilan wali murid yg mau ngadep kepsek. Meski aku sangsi akan ada jalan keluar yg oke 🤣
Jadi pilih SMM mbak?
Iyaa mbak
Bukan pilihan terbaik tp yang ideal utk saat ini #imho 😀
Tahu ga si mbaaa, waktu itu aku kan mau masukinnya smp yaa, agak mikir nanggung ah kelas 6. Eh taunya masalah dtg di kelas 6 semester akhir ini. Ya ampun tobaaatt.
Skrg stress sendiri dan nyesel ga jadi say good bye di sekolah lama.
Btw sekalian tanya mba, di “sekolah yg skrg” ini tuh banyak yg mesti di print gak sih? Atau kalau ada kerjaan selain di playkit itu bisa di ss dan sent pic aja?
Lagi mau menghitung “perlengkapan sekolah” yg harus dibeli nih aku.
Makasi mba