Disclaimer: Tulisan ini mengandung curhatan – Bulan Juni-Juli biasanya identik dengan masukkin anak sekolah tetapi kami malah kebalikannya, mengeluarkan anak dari sekolah, heuheu. Yeah, mengeluarkan anak dari sekolah konvensional di masa pandemi merupakan salah satu keputusan terbesar yang kami buat tahun ini.

Tak sedikit yang kaget serta menyayangkan keputusan kami. Iya sih, soalnya keputusan ini agak terdengar konyol ya (buat sebagian orang)? Terutama untuk si sulung yang udah kelas 1 SD ya?

Wong wes mbayar mlebu sekolahe larang-larang, uang gedung, seragam, dll, kok , malah metu?”

Sudah bayar masuk sekolah mahal-mahal (meliputi) uang gedung, seragam, dll, kok malah keluar?” Gitu deh kira-kira gumunannya orang-orang. FYI, anak saya Maxy kemarin masuk sekolah swasta, SD IT.

Perpisahan itu menurut saya kadang ada baiknya. Sumber gambar: Pixabay.

Untungnya yang komeng-komeng kek gitu bukan keluarga, sih. Justru orang-orang lain. Kalau mbah-mbahnya ketika dikabarin cucu-cucunya enggak disekolahin lagi jawabannya cuma:Yo wes gapapa yang penting gimana pun yang terbaik.”

Alhamdulillah, punya mbah-mbah yang bisa mengerti #terhura.

Jadiiii, sakjane ngunu yang menjadi alasan kami, saya dan suami, berani mengeluarkan anak dari sekolah konvensional itu apa sih?

Sebenarnya ada beberapa alasan, sih, namun tiga hal ini adalah alasan utama kami, khususnya saya pribadi ya:

Masa pandemi membuat saya sadar mengenai konsep sekolah terbaik

Bagi teman-teman yang muslim, pasti tidak asing dengan Hadist:

Al ummu madrasatul ula.”

Yang artinya: “Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.”

Bahwa, seseorang yang telah menjadi ibu biasanya secara tak langsung menjadi guru bagi si anak.

Bagaimana tidak? Sejak anak masih kecil, ibu mengajari gimana caranya makan, caranya duduk, dan hal-hal lainnya. Hal ini membuat anak-anak, biasanya menjadi sangat dekat dengan ibu, sehingga mencontoh perilaku ibunya. Itulah modal utama yang wajib diyakini semua ibu, bahwa dirinya tuh bisa jadi guru, minimal untuk anaknya sendiri.

Nah, belakangan, sedikit demi sedikit, keyakinan saya mengenai itu makin membesar.

Tahu donk ya, masa pandemi gini mengharuskan kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah konvensional sebagian besar beralih ke pembelajaran online? Kondisi ini membuat orang tua, khususnya ibuk-ibuk nih. mau enggak mau lebih banyak terlibat dengan aktivitas belajar anak kan?

Makin hari makin menikmati jadi guru anak-anak sendiri. Sumber gambar: Pixabay. 

Nah, saya tuh menyadari bahwa mengajari anak-anak tuh ternyata “semenyenangkan” itu. Walau kata suami dan anak-anak saya tuh serem kalau ngajar, ada galak-galaknya, enggak sabaran pas anak tak kunjung mengerti saat saya ajarin (heuheu 😛 ), namun saya happy gitu lho ngajarin anak-anak saya sendiri.

Apalagi saat progress-nya bagus ya. Anak yang tadinya enggak bisa menjawab soal kemudian jadi bisa lancar menerjakan soal tersebut. Anak yang tadinya jarang kami ajak berdiskusi tentang pelajaran sekolahnya, jadi lebih aktif menyuarakan pendapatnya mengenai pelajaran mana yang dia suka atau enggak suka.

Singkat kata, masa-masa sekarang tuh mengingatkan kembali mengenai keinginan saya duluuuu bangeeett untuk menjalankan homeschooling atau sekolah di rumah saat anak-anak masih berusia dini, dulu. Sayangnya, ada masa di mana saya terserang rasa enggak percaya diri untuk mengajari anak-anak saya sendiri, sehingga saya seolah melupakan hal tersebut.

Padahal, kalau dipikir-pikir yang bikin enggak PD apa gitu, lho? Sejak kecil saya selalu masuk ranking 5 besar di sekolah, saya diterima masuk PTN dua tahun berturut-turut (walau yang satu saya lepas 😛 ), saya bisa sekolah sampai S2? #uhuuukks

InsyaAllah, kalau dari track record akademis saya mampu lha (ini yang saya katakan kepada diri saya sendiri ya? Gpp dikatain syombonk wkwkwk). Tinggal, pondasi kesabaran aja nih yang perlu saya kuatin saat mengajari anak-anak (doakan ya! 😛 ).

Selain itu, alasan lainnya adalah dengan bersekolah di rumah dan saya menjadi guru utamanya, saya bisa lebih gampang mentransfer nilai-nilai keluarga kami kepada anak-anak.

Nilai-nilai yang diajarkan sekolah lama tidak sesuai dengan value keluarga kami lagi

Alasan kedua, terus terang faktor sakit hati. Heuheuheu iyaaaa, saya lelah dengan kebijakan-kebijakan sekolahannya yang kemarin 🙁 .

Bayangin, ketika anak-anak lain belajar di rumah (PJJ) karena pandemi, kebijakan sekolah malah tetap masuk (PTM). Anak-anak diminta pakai seragam bebas gitu. Lalu, kalau ada dinas terkait sidak, anak-anak dipulangkan cepat atau diliburkan.

Sebagai orang yang selalu berusaha nurut sama aturan yang berlaku, ini bertentangan dengan hati saya. Mungkin orang-orang akan menilai lebay atau gimana ya? Namun, menurut saya, menyuruh anak masuk sekolah secara sembunyi-sembunyi, bukannya secara tidak langsung mengajari anak tidak taat aturan dan lebih parahnya lagi, berbohong ya?

Tidaaakk. Saya enggak bisa. Biarin aja dikatain lebay!

Kok enggak dilaporin ke pihak terkait?” Mungkin ada yang bertanya demikian?

Yaaa, gimana, masa saya tega? Di zaman susah gini ntar bikin laporan ke instansi terkait, kalau sekolahnya disegel gimana nasib guru-gurunya nanti?

Lagian, sebenarnya sekolah ini masih menyediakan kegiatan belajar mengajar online, sih. Tapiii yaaa gituuu, deeehh, karena fokusnya tatap muka, maka yang ikutan online-online berasa banget dinomor duakan. Sekolah terlihat tidak punya keinginan sama sekali membuat pembelajaran daring yang lebih inovatif. Masih terpaku pada duduk depan layar monitor dari pukul 8 pagi hinggal 12 siang. Lha, bokonge anakku keju, rek. Belum lagi risiko kesehatan mata yang mengancam 🙁 .

Setiap keluarga memiliki prinsip/ nilai-nilai yang dianut dan berharap hal itu sama dengan sekolah anaknya. Sumber gambar: Pixabay.

Betenya lagi, tiap ada pengumuman kegiatan apapun dari sekolah, yang online ini enggak pernah disebut secara spesifik. Kami yang online kudu nanya dulu, nanti anak-anak yang online gimana. Grrrhhh, gimana enggak gemes? Mbayare podho, tapi ora dianggep!

Trus, yang bikin kesel, sekolah mewacanakan tahun ajaran baru nanti, PTM akan dilaksanakan 5 hari dalam seminggu. Itu artinya anak berangkat sekolah setiap hari seperti dulu, hanya jamnya berkurang atau gimana, gitu. Yang memilih PJJ enggak dibahas karena fokusnya ke tatap muka.

Soal kegiatan belajar mengajar itu satu hal ya? Masih ada satu hal lagi yang bikin saya makin stress.

Yaaa, kalau PTM dengan murid dibatasin dan shift-shiftan mungkin saya masih ada sedikiiitt memaklumi. Namun, di luar itu, sekolah sering bikin acara kumpul-kumpul murid, bahkan dengan orang tua, yang saya rasa tidak terlalu urgent. Sebut saja, acara dongeng, perpisahan TK, acara penghargaan, dll.

Masio bilang pritikil-pritikil kisihitin, bagi saya yang namanya mengumpulkan massa, apalagi itungannya lebih dari 100 orang dalam satu venue, itu enggak bener.

Puncaknya, yang bikin saya benar-benar geram adalah ketika sekolah tetap memaksakan bikin acara penghargaan dengan panggung, bertepatan dengan makin banyaknya berita orang positif Covid-19 varian Delta dan meninggal. Kenapa enggak ditiadakan aja gitu lho untuk mengajari anak-anak berempati pada kondisi?

Yang malesin lagi juga komitenya. Kebetulan, saya tergabung di WAG komite sekolahnya. Dua hari sebelum acara penghargaan itu diadakan di WAG itu kasak-kusuk soal kok acara enggak ditunda. Eh, namun tak ada seorang pun yang inisiatif untuk mempertanyakan di WAG komite satu lagi (yang ada kepsek mapun manajemennya), tuh.

Ealah, saya pikir komite sekolah tuh semacam DPR-nya warga sekolah. Yang saya dapati satu per satu member komite bilang bahwa dirinya udah izin secara pribadi supaya anaknya enggak ikutan acara tersebut.

Lha, lalu bagaimana dengan orang tua lain yang enggak paham perihal acara tersebut? Khususnya untuk orang tua anak kelas 1?

Menurut  saya PJJ adalah pilihan terbaik untuk anak-anak yang bersekolah di area dengan akses internet yang gampang di masa pandemi ini. Sumber gambar: Pixabay.

Beneran lho ada yang enggak paham. Soalnya waktu itu ada ibu teman sekelasnya anak saya yang tidak tahu soal acara itu. Trus, karena saya tahu beliau ini ikut PJJ dan kurang sreg juga dengan acara rame-rame semacam itu, yawda saya inisiatif japri menjelaskan acaranya tuh ada panggung dan kemungkinan akan mengumpulkan banyak massa. Beneran deh, si ibu ini yang memang tidak sreg juga dengan kegiatan itu lalu japri walas untuk janjian sendiri soal pengambilan raport dan penghargaan anaknya.

Lanjut soal WAG komite, dari perbincangan terakhir di WAG itu pula saya mengetahui ada beberapa orang tua/ keluarga murid yang terkena Covid-19. Namun, ya mereka pada santuy aja. Bikin saya flashback saat dulu ada keluarga tetangga sekolah atau murid TK yang masih satu lingkungan dengan SD ada yang kena Covid-19, pada ribut di WAG. Eh, sekarang warga sekolahnya yang kena sendiri, mereka santuy.

Wes embuhlah, akhirnya saya putuskan berpamitan aja, daripada saya stress dengan kebijakan-kebijakan sekolah dan komite yang enggak kayak DPR (iyes, saya selebay itu, memang).

Intinya, nilai-nilai yang ditawarkan oleh sekolah untuk anak-anak saya sudah tak sesuai dengan yang dianut dan dipahami oleh keluarga saya. Maka, saya mantab memutuskan “berpisah” demi kebaikan.

Dengan begitu, saya enggak akan merasa sakit hati dan stress dengan kebijakan sekolah. Sebaliknya, sekolah enggak akan terbebani oleh satu orang tua murid yang bawel kek saya, yang mungkin menghambat progress kegiatan mereka.

See? Kadang perpisahan ada baiknya juga kan?

Menemukan sekolah yang ideal di masa pandemi

Lalu, alasan ketiga, iyes, saya menemukan institusi pendidikan yang ideal di masa pandemi.

Lho katanya mau homeschooling?” Ada yang nanya?

Iyes, anak-anak saya secara teknis tuh sebenarnya homeschooling, namun ada lembaga yang memandu kami, supaya lebih terarah gitu belajarnya. Guru utamanya ya tetap kami, orang tuanya.

Menemukan sekolah yang ideal saat pandemi adalah rezeki. Sumber gambar: Pixabay.

Pilihan sekolah yang ini memang saya akui bukanlah yang terbaik, namun menurut saya IDEAL sebagai media belajar anak-anak di masa pandemi ini.

Anak saya yang kedua sudah terlebih dahulu ada di sekolah ini saat TK B (ndouble dengan TK konvensionalnya), sehingga saya sudah yakin, “Ahaaahh, inilah yang saya cari selama ini!”

Begituuuu…

Yaaa, itulah 3 alasan utama yang membuat saya dan suami berani mengambil keputusan untuk menarik anak dari sekolah konvensional.

Nanti, kalau pandemi udah kelar, kalau anak-anak mau belajar di sekolah konvensional lagi ya hayuk aja. Tentu saya survey dulu sekolahnya, selama pandemi kemarin kegiatan belajar mengajarnya gimana, supaya enggak kecewa lagi. Supaya tahu bahwa value-nya sama. Namun, kalau anak-anak masih mau terus belajar bersama orang tuanya dan sekolah yang saat ini, ya itu juga tak masalah.

BTW, maafkeun saya sebelumnya, kalau hawa tulisan ini agak kurang enak yaaa? 🙁

Tulisan ini sesungguhnya saya bikin hanya untuk menuangkan uneg-uneg saya aja, bukan untuk memberi inspirasi orang tua lain supaya mengeluarkan anak dari sekolah konvensional juga di masa pandemi ini. Soalnya saya paham kok setiap orang tua pasti tahu apa yang terbaik untuk dirinya, anak-anaknya, serta keluarganya. Saya tidak mau menjejalkan pikiran saya mentah-mentah ke orang lain. Harapan saya cuma semoga pengalaman saya ini bisa menjadi pelajaran buat orang tua lainnya ketika memilih sekolah untuk anak-anak ya 🙂 . Terima kasih sudah mau membaca curhatan saya 🙂 .

April Hamsa