Kata orang sih, pamali namanya, jika menolak rejeki. Eh, tapi, toh nggak ada salahnya dilihat-lihat juga, rejekinya halal apa nggak? Berkah apa nggak? Menguntungkan atau sebaliknya, merugikan?

Ayah

Jadi ceritanya, awal bulan ini, pagi-pagi ada telepon masuk ke henpon Ayah. Ternyata, ada orang yang menawari pekerjaan. Pekerjaan sesuai dengan yang diinginkan ayah, sudah deal-deal’an gaji di awal dan kami berhak atas dua digit angka yang menggiurkan, dan yang paling bikin seperti ketiban durian seger adalah penempatannya di Surabaya. Iyaaaa, di Surabaya. Artinya kan kami balik kampung ke kota kelahiran Bunda.

Udah seneng aja ceritanya, mbayangin yang indah-indah. Nggak usah mikir kontrakan rumah lha, nggak usah mikir macet dan transportasi (lha wong kantornya deket sama rumah ortu Bunda), lebih seneng lagi mbayangin nanti disana anak-anak banyak teman main, nggak kayak disini yang zona zero anak-anak.

Ternyataaaaa, tetootttt… tanda silang warna merah, perusahaan yang menawari adalah perusahaan rokok. Bukan sok idealis ya, tapi emang sebisa mungkin kalau perusahaan rokok nggak deh. Akhirnya kami menolak. Si penelepon bahkan memberikan tambahan nominal sejuta lagi, tapi ya tetep nggak ngaruh sih. Kami tolak.

Bunda dan Ayah sama-sama berpandangan rokok itu lebih banyak mudhorotnya daripada manfaatnya. Bekerja di perusahaan semacam itu malah khawatir nanti kepikiran yang uangnya nggak berkahlah, apalah, apalah, karena produknya sendiri aja merusak kesehatan manusia kan? Jadi ya tetap kami putuskan tolak. Meski dua digitnya juga bikin kami mewek-mewek sih (hahaha maklum, manusia đŸ˜› ).

Pas masih nggumun termewek-mewek itu, untungnya kami kesenggol sebuah status di fesbuk punya orang.

Inti statusnya tuh orang empat kali menolak pekerjaan haram (karena berurusan dengan riba). Padahal gaji yang ditawarkan gedhe-gedhe, tapi dia tetap tolak, tolak, tolak, dan tolak. Hingga akhirnya ada tawaran pekerjaan lain yang luar biasa gajinya 137,5% kenaikannya dari sebelumnya. Oh iya kalimat yang ngena banget tu bagian ini ya:

Ya sudahlah emang belum rejeki, moga-moga next time ada tawaran yang lebih baik lagi dan lebih barokah buat kami sekeluarga đŸ™‚ .

Bunda

Kalau Bunda, lain lagi ceritanya. Minggu-minggu terakhir ini Bunda lagi nyobain jadi freelancer. Pekerjaan pertama Bunda sangat Bunda sukai, berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak. Meski upah pertama nggak terlalu tinggi, namun alhamdulillah oke deh buat pemula.

Nah, pagi ini, Bunda dapat tawaran lagi untuk menulis artikel sebanyak minim 750 kata dengan bayaran Rp. 5.000,-/ artikel. Jujur saja, Bunda kok ya ngrasa ngenes gitu ya, sedih… 750 kata itu nggak sedikit lho. Dulu malah jaman kuliah pernah nulis kurang dari itu per-artikel dibayar Rp. 25.000,-. Jaman Bunda kuliah segitu udah banyak, lumayan buat jajan kalau dapat banyak. Tapi 5000 untuk tenaga jari dan asah otak, kok kayaknya Bunda nggak sanggup.

Tadi sempat juga ngajakin teman Bunda, Om Ihwan dan Tante Novi, diskusi soal ini. Makin menguatkan Bunda buat menolak saja. Bunda sebenarnya butuh buat review supaya ada orang lain yang mau pakai jasa Bunda sih, tapi, ya sudahlah, belum rejeki (juga). Moga nanti bisa ketemu yang pas, dimana karya Bunda dihargai dengan layak.

Depok. 18 November 2015

– Bunda Maxy dan Dema-

Ket: foto nyomot dari Google dan Facebook

Categorized in: