“Sudah pernah membawa Maxy ke Klinik X?” kata tetangga saya suatu kali.

“Belum pernah,” jawab saya.

“Coba ke sana. Kliniknya dekat sini, kok,” sarannya.

Saat itu, kami sekeluarga masih tinggal di daerah Jakarta Selatan. Maxy masih bayi dan Dema belum lahir. Saat itu, kami kesulitan mencari dokter spesialis anak (DSA) untuk berkonsultasi tentang tumbuh kembang Maxy, sekaligus imunisasi rutin buat Maxy. Akhirnya, kami memutuskan untuk mendatangi klinik itu dan akhirnya menjadi pasien rutin (untuk imunisasi dan konsultasi) di sana.

Pelayanan kesehatan yang berbeda.

Ketika pertama kali tiba di depan klinik, saya kaget, kok kliniknya tidak seperti klinik praktek DSA yang lain, ya? Bentuknya lebih seperti rumah, bukan tempat untuk memeriksa anak/ orang sakit. Begitu pula saat saya masuk, saya enggak perlu mengantre lama-lama sebab waktu kedatangan memang dijadwal. Pasien harus datang sesuai waktu yang disepakati, apabila tidak maka akan “dihukum” menjadi pasien terakhir pada jam praktek hari itu. Saya rasa cukup fair, lha, ya? Buat mengajari kita disiplin waktu juga, hehe. Begitu masuk ke ruangan dokter, saya mendapati dokter di sana tidak memakai jas kebesarannya yang berwarna putih. Ada yang bilang karena dokter-dokter di sana ingin memposisikan dirinya sebagai teman diskusi mengenai masalah kesehatan anak dengan para orang tua.

Pelayanan kesehatan di klinik tersebut tentu saja kami rasakan sangat jauh berbeda dengan pelayanan di salah satu rumah sakit besar milik pemerintah yang pernah kami sambangi sebelumnya. Waktu itu, masih konsultasi tentang tumbuh kembang Maxy juga, saya ingat kami di-pingpong kesana kemari hanya karena urusan administrasi. Padahal, kami pasien yang membayar dengan uang pribadi, lho. Saat itu belum ada asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Belum lagi, ada tenaga kesehatan yang judesnya naudzubillah. Orangnya sudah sepuh, sih. Ditanya baik-baik, jawabnya sengak. Ya, mungkin beliau lelah, sudah waktunya pensiun.

Akhirnya, waktu itu saya putuskan untuk tanya-tanya soal alur penanganan anak saya ke dokter-dokter yang kebetulan lagi berkumpul di sebuah ruangan. Ruangan itu sepertinya dihuni oleh dokter-dokter muda. Entah mereka praktek di sana atau masih magang (internship, kalau enggak salah ya istilahnya?). Mereka pun menjawab pertanyaan saya dengan baik. Mereka menjelaskan alur periksa ke klinik tumbuh kembang seharusnya bagaimana. Waktu itu, saya tak sengaja keliru masuk ke ruang untuk penanganan kesehatan anak secara umum. Miris juga, sih, waktu itu. Bukan hanya saya yang merasa “terlantar”, tapi saya melihat banyak para ayah dan bunda duduk-duduk dengan muka lesu di sepanjang lorong. Sesekali mereka menenangkan anak-anaknya yang sedang sakit. Ada yang diinfus, ada yang tiduran, ada yang digendong-gendong, bahkan ada yang duduk di kursi roda dengan selang NGT terpasang di hidungnya. Saya beruntung segera pindah ke klinik tumbuh kembang yang lebih sepi pasien, ketimbang di bagian yang tadi. Tapi, tetap merasa sedih melihat pasien dan keluarga pasien yang wajahnya lesu di lorong rumah sakit. Mereka menunggu apa? Menunggu hasil laboratorium kah atau menunggu dokter untuk memeriksa anaknya, kah? Entahlah…

Perlakuan yang 180 derajat berbeda baru saya dapatkan saat konsultasi ke Klinik X. Tak perlu lama mengantre, dokternya bisa diajak berdiskusi hampir ¾ jam lamanya, tak langsung meresepkan obat, dan berderet kepuasaan lainnya yang saya rasakan. Tentu saja ono rego ono rupo. Kalau di Klinik X, biaya konsultasi dokternya lebih mahal dibanding biaya dokter di rumah sakit milik pemerintah yang saya ceritakan sebelumnya. Namun, salahkah saya sebagai orang awam, jika saya bermimpi mendapatkan pelayanan yang sama seperti yang saya dapatkan di Klinik X, ketika memeriksa kesehatan di rumah sakit (utamanya rumah sakit milik pemerintah)? Tentu saja, harapannya biayanya lebih terjangkau.

Pemahaman masyarakat yang keliru tentang profesi dokter.

Soal mengantre dan menunggu ketidakjelasan di lorong-lorong rumah sakit, itu salah satu kondisi yang sering saya jumpai di rumah sakit (pemerintah) di kota-kota besar. Kalau di kota-kota besar saja seperti itu, saya jadi enggak berani membayangkan kondisi yang terjadi di rumah sakit di daerah-daerah pelosok. Sudah sering saya membaca berita ada pasien terlantar atau meninggal dunia karena tidak segera memperoleh pertolongan dokter. Tentu saja, saya enggak bisa begitu saja menyalahkan dokter sebagai pihak yang tidak bisa bertindak cepat menangani pasiennya. Dokter pun konon katanya tunduk pada aturan rumah sakit alias ada kondisi-kondisi seperti masalah administrasi atau bahkan fasilitas yang masih terbatas untuk melakukan tindakan kepada pasien. Memang, selama ini masyarakat memandang dokter adalah “dewa penolong” yang siap sedia menyembuhkan saat seseorang sakit. Maka, pada saat harapan tak sesuai kenyataan, masyarakat akan cenderung menyalahkan dokter. Jujur, dulu saya juga begitu, hehehe.

Pandangan saya terhadap dokter mulai berubah saat para dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melakukan aksi damai di Istana Negara tanggal 24 Oktober lalu. Tanggal 24 Oktober dipilih karena bertepatan dengan hari ulang tahun (HUT) IDI ke-66 tahun. Pada hari ulang tahunnya itu, para dokter mengungkapkan kepada pemerintah mengenai keresahannya. Salah satu di antaranya adalah ingin meluruskan pandangan masyarakat terhadap profesi dokter.

Dalam kesempatan itu, IDI juga mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi terhadap pelayanan kesehatan. Selama ini, dokter pun merasakan bahwa pelayanan kesehatan yang mereka berikan masih belum pro rakyat, karena terbentur politik dan minimnya fasilitas. IDI ingin pemerintah melakukan penguatan baik dari segi finansial maupun dukungan-dukungan lain terhadap bidang kesehatan di negara ini.

Suasana aksi damai oleh IDI di Kota Depok. Sumber: IDI.

Saya membaca di media, bahwa ada beberapa poin yang ditekankan oleh IDI terkait keinginan untuk mereformasi pelayanan kesehatan di negara ini, yakni:

  • IDI menginginkan pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berjalan lebih harmonis dengan praktek di lapangan. Salah satunya adalah penyelenggaraan BPJS. Dokter menginginkan pemerintah dapat memberikan alokasi besar terkait pembiayaan pasien, sehingga dokter bisa lebih leluasa melakukan tindakan untuk menyelamatkan pasien. Selain itu IDI menuntut pengurangan beban pajak terhadap alat-alat kesehatan yang diperlukan untuk menangani pasien.
  • IDI meminta pemerintah untuk meningkatkan fasilitas kesehatan di tingkat pertama. Sehingga masyarakat tidak banyak yang “lari” ke fasilitas kesehatan rujukan. Hal ini akan lebih memudahkan bagi masyarakat dari segi waktu maupun biaya.
  • IDI juga menyinggung mengenai krisis Pendidikan Kedokteran yang terjadi di negara ini. Dimana saat ini biaya Pendidikan Kedokteran sangat mahal, sehingga tidak semua orang, terutama dari golongan ekonomi lemah dapat menikmati Pendidikan Kedokteran. Akibatnya, sekolah-sekolah kedokteran sekarang lebih banyak diisi oleh kaum elit tertentu yang kemudian melahirkan dokter-dokter elit. Dokter-dokter elit ini, biasanya setelah lulus akan langsung menempatan dirinya ke posisi yang sudah nyaman. Jarang, ada yang mau melakukan pelayanan kesehatan ke daerah-daerah pelosok. Akibatnya profesi dokter pun makin dipandang sebagai suatu usaha/ bisnis yang menjanjikan di bidang kesehatan, bukan lagi “panggilan jiwa”. IDI ingin pemerintah melakukan reformasi terhadap Pendidikan Kedokteran pula.
  • IDI juga mengungkapkan bahwa Indonesia kekurangan dokter-dokter spesialis di daerah-daerah pelosok. Saat ini, dokter-dokter lulusan seolah kedokteran hanya mau mengabdi di kota-kota besar. Ya, sebenarnya tak sepenuhnya salah mereka juga, sih. Minimnya infrastruktur dan fasilitas kesehatan di daerah-daerah, membuat dokter-dokter juga enggan praktek di sana.
  • IDI juga menolak keputusan pemerintah yang membuat Prodi Dokter Layanan Primer (DLP) beberapa waktu lalu. DLP dipandang hanya akan menimbulkan “dokter kelas baru”. Selain itu lamanya waktu pendidikan akan membuat dokter terlalu lama “berada di sekolah” akibatnya fasilitas kesehatan kekurangan dokter. Belum lagi waktu pendidikan yang lama, juga akan mengeluarkan biaya yang banyak juga. IDI mengkhawatirkan akan menurunkan minat masyarakat yang ingin menjadi dokter. Kembali lagi, sekolah kedokteran akan lebih banyak didominasi kaum elit.

Atas aksi yang dilakukan oleh IDI tanggal 24 Oktober lalu, saya sebagai masyarakat turut memberikan apresiasi dan dukungan terhadap tuntutan mereka. Apalagi, saya juga memimpikan adanya tenaga dan pelayanan kesehatan yang baik di negara ini. Dimana pada saat pasien masuk rumah sakit, satu hal yang perlu dipikirkannya cuma kesehatannya semata. Si pasien hendaknya jangan lagi dibebani masalah administrasi, masalah tidak tersedianya fasilitas kesehatan, atau lebih parah lagi masalah biaya. Begitu pula dengan dokter, supaya bisa melayani masyarakat dengan lebih baik, hendaknya didukung penuh oleh pemerintah.

Karena untuk mewujudkan mimpi indah tentang tenaga dan fasilitas kesehatan yang pro rakyat di Indonesia, butuh banyak dukungan. Utamanya tentu saja dari pemangku kebijakan. Jika pemerintah all out mendorong perbaikan pelayanan kesehatan pasti akan tercipta kualitas kesehatan yang bagus pula di negeri ini. Bukankah rakyat yang sehat akan membuat negeri ini makin sejahtera? Semoga apa yang disuarakan oleh IDI pada saat HUT ke-66 tahunnya itu direspon positif oleh pemerintah sehingga kondisi dimana tenaga dan pelayanan kesehatan yang pro rakyat benar-benar tercipta. Kalau menurut teman-teman, bagaimana?

April Hamsa

Categorized in: