Mona Ratuliu pernah gagal menjadi orang tua? Yup, setidaknya hal itu pernah dirasakan oleh artis cantik yang lahir di Jakarta pada 31 Januari ini. Perasaan inilah yang kemudian membuatnya menuangkan pengalaman pribadinya sebagai ibu dari Davina (Mima), Raka, dan Nala ke dalam buku berjudul ParenThink.
Saya cukup kaget ketika membaca lembar-lembar pertama buku ini, ketika menemukan bahwa seorang Mona Ratuliu pernah frustasi menjadi orang tua. Hal itu ditunjukkannya pada bagian drama saat dia dan Mima pernah saling pukul bahkan jambak-jambakan rambut. Belum lagi, Mima yang ketika itu masih berumur enam tahun minggat dari rumah karena merasa tidak nyaman dengan Bundanya.
Dari situ, saya memutuskan untuk terus membaca buku ini. Sebab saya merasakan, semenjak melahirkan anak kedua, hubungan saya dengan Maxy, anak pertama saya, sepertinya “ada masalah”. Saya tidak mau Maxy minggat juga seperti Mima dulu, hanya karena bagi dia, saya menyebalkan.
Menjadi orang tua memang tidak mudah. Tidak ada buku panduan dan sekolah khusus untuk menjadi orang tua. Beruntung di jaman sekarang, tersedia beragam media dimana kita bisa mengakses ilmu-ilmu parenting. Mona Ratuliu sendiri, belajar dari kegagalannya, kemudian belajar tentang parenting dari pakar dan internet dan mencoba menerapkannya untuk anak-anaknya.
Buku dengan cover foto Mona Ratuliu dan keluarganya ini berisikan hal-hal yang dipelajari Mona mengenai parenting. Semua yang telah Mona pelajari dan berhasil diaplikasikannya, dituangkan dalam buku yang isinya terdiri dari sembilan bab ini.
Bab pertama mengajak kita introspeksi diri, apakah sebenarnya kita telah siap menjadi orang tua untuk anak-anak kita. Apakah tindakan kita sudah tepat untuk menjadi teladan bagi anak? Jika belum, apa yang sebaiknya kita lakukan? Dalam buku ini Mona mengawalinya dengan meminta maaf kepada anaknya. Bab kedua mengajak kita untuk terus belajar menjadi orang tua. Ada dua tipe orang tua yang ditonjolkan Mona dalam bab ini, tipe pelindung buat anak dan sumber belajar.
Bab ketiga mengajak kita untuk membuat visi dan misi untuk anak serta rancangan global pola asuh untuk si anak. Bab keempat mengingatkan kembali tentang ilmu parenting yang sesuai dengan budaya dan karakter keluarga Indonesia. Bab kelima mengajak kita untuk bergaul lahir batin dengan anak, sejak anak dalam kandungan hingga awal-awal kehidupannya. Pada bab ini, kita juga diajak mengenali perilaku dan strategi anak dalam menarik perhatian kita sebagai orang tuanya.
Selanjutnya bab enam berisi tentang bagaimana kita sebagai orang tua bisa mengajari anak untuk menelan kekecewaan. Sebab memang hidup kan tidak selalu manis. Ada kalanya asam juga. Anak perlu tahu tentang itu sejak kecil. Bab ketujuh adalah favorit saya, di bab ini kita sebagai orang tua disadarkan untuk tidak memanjakan anak supaya mereka mau berjuang buat diri mereka sendiri. Lalu ke delapan, juga favorit saya, yakni bagaimana kita membangun kesepakatan dengan anak, tanpa ada nada mengancam. Lalu, bab terakhir berisi apa saja yang sebaiknya perlu kita ubah untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Hal yang saya sukai dari buku setebal 200 halaman ini adalah adanya kutipan-kutipan dari beberapa tokoh yang membuat saya termotivasi untuk berubah menjadi orang tua yang lebih baik buat anak-anak saya.
Buku bernuansa warha hijau tosca ini juga memberikan kita ilustrasi menarik serta beberapa kuisioner untuk kita isi. Dari kuisioner tersebut kita dapat menilai sendiri, orang tua seperti apa kita selama ini. Lalu tindakan-tindakan apa yang memungkinkan kita ambil supaya jika ada yang dirasa perlu diubah, maka kita perbaiki segera.
Sayangnya, Mona Ratuliu tidak menulis bab khusus apa dan bagaimana menjadi orang tua ideal untuk anak. Supaya setidaknya pembaca punya teori yang bisa dijadikan bahan acuan untuk dipraktekkan. Memang susah sih, menjadi ideal. Sebab, pada prakteknya, setiap anak itu unik. Setiap orang tua punya gaya parenting yang sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Namun, bagaimanapun juga, Mona berhasil menyampaikan pengalamannya dalam bentuk buku yang jauh dari kesan menggurui pembacanya.
Tentang Buku:
Judul Buku: ParenThink
Penulis: Mona Ratuliu
Penulis Pendamping: Isthi Rahayu
Penyunting: Khairi Rumantati
Penerbit: Noura Books PT Mizan Publika, Jakarta
Tebal: 200 halaman
ISBN: 978-602-385-057-0
Cetakan I, Desember 2015
-Aprillia-
Hah?ankny mona bahkan pernah minggat?oh no! Trnyta bukan cm saya yg pernah mrsa gagal jd ibu. Ternyta terjadi pd byk orangtua ya
Saya juga sering merasa gagal, makanya suka baca buku2 parenting hehe
-April-
Wah bagus bukunya, mau donk baca juga. Cari dimana ya?
Ini saya beli di toko buku online. Udah launching Desember tahun kmrn, jadi sepertinya di toko buku kyk gramed mungkin udah ada mbak Rian 🙂
-April-
Saya belum punya anak, huhu
tapi kayanya menarik juga jadi list bacaan sebelum berumah tangga
tfs mbak 🙂
Iya mbak. Saya nyesel nih gak baca buku parenting sejak dulu sblm pny anak. Jd ortu gak mudah ternyata…
-April-
Sering nggak nyadari betapa menyebalkannya ortu dimata anak2. Nice book.
Bener mbak. Saya juga takut nanti pas anak dewasa di pikiran mereka saya nyebelin 🙁
Moga2 dengan belajar teori kyk gini bisa diprakteikn dgn baik aamiin
-April-
apik ono kuesioner e juga, dadi iso karo nggo refleksi
Yup, ndang tuku ndang diwoco! hehe
-April-
Weh anak 6 th dah tau arti minggat ???
salah didik kayak nya hahaha
lha iya, kan Mona Ratuliu pernah bilang pernah gagal jadi ortu saat anak pertamanya masih kecil dulu hehe
-April-
Karena memang tak ada yang sempurna, termasuk orang tua. Aku juga terkadang berada pada saat dimana aku bertanya, “jangan-jangan aku sudah gagal sebagai orangtua. Yah.. hidupemang harus selalu belajar 🙂
Iya Mbak jadi ortu tu gak ada sekolahannya, jd kudu pinter2 mencari tau sendiri da terus belajar 🙂
wah, kalau bisa sedia payung sebelum hujan
alangkah lebih baik kalau kita jg bersedia belajar sebelum terjadi hal2 yg tak diinginkan.. mumpung banyak media nya
saya jd tertarik baca bukunya dehhh
:3
Iya Mbak, beruntung kita ya, jd ortu di masa sekarang. Banyak media bisa jd tempat kita belajar 😀
wah, kalao saya sebagai seorang bapak gimana ya harus adaptasi dan belajar mengasuh anak? terkadang kita marah-marah terhadap apa yang anak lakukan, terlebih lagi saat dia rewel dan belum bisa ngomong atau berbicara (maklum anak belum berusia 2th) dan itu memang manusiawi, apalagi bagi orang biasa seperti saya.
namun demikian saya pun banyak belajar kepada anak saya, khususnya belajar bersabar dan menjadi guru yang baik saat dirumah atau dimanapun saat dekat dengan nya. padahal masa anak-anak itu sangat singkat, setelah mereka menjadi tambah besar.. barulah kita merindukan masa-masa dimana anak-anak masih kecil dan saat masih lucu-lucunya.
yaah.. begitulah hidup, harus banyak belajar menjadi manusia yang bijak, karena banyak godaan dan kebutuhan yang membuat kita seolah-olah bakal lupa diri yang akhirnya kecewa dengan apa yang telah kita perbuat saat emosi mengiringi keputusan dan sikap kita.
Jadi ortu emang gak gampang. Anak kecil jg sebenarnya pengen bicara tapi saynagnya blm lancar bicaranya, kdng kita yg dewasa susah memahaminya jd kita nganggapnya rewel gtu ya?
Saya sendiri jg msh banyak kurang sabarnya menghadapi anak2 saya, paling banter klo dah gtu saya mundur sejenak supaya cooling down, baru deh ngadepin polah anak2 lagi.
Yg penting tetep semangat dan yakin baha kita bisa kok jd ortu yg baik 🙂 Iya bener nanti saat mereka gedhe kita pasti rindu mereka saat kecil 🙂
thx yaaa 🙂
Belum baca, semoga di Gramedia sini udah ada ahh.. klo gak yaahh beli online jadinya..
jadi penasaran pengen baca juga 🙂
Insyaallah sih udah ada di toko buku kok mbak Diah 🙂