Masih dalam rangka jalan-jalan ke Rangkasbitung, Lebak, Banten yang saya ceritain beberapa hari lalu, kali ini saya mau melanjutkan dengan cerita pengalaman mengunjungi Museum Multatuli. FYI, Museum Multatuli ini berlokasi tepat di samping  Perpustakaan Saidjah Adinda yang juga udah saya tulis sebelumnya.

Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak, Banten.

Museum Multatuli simbol antikolonalisme

Museum Multatuli ini menempati bangunan bekas kantor Wedana Rangkasbitung yang dibangun tahun 1923. Kalau pembangunan dan penataan museumnya, katanya sih dilakukan sekitar tahun 2015-2016an, gitu. Lalu , pada tahun 2017 dimulailah pengisian koleksi museum ini. Baru kemudian pada tahun 2018 museum ini dibuka untuk umum.

Gerbang Museum Multatuli.

Lokasi Museum Multatuli berada di Jl. Alun-alun Timur No. 8, Rangkasbitung. Iyes bener, deket banget ma alun-alun Rangkasbitung. Buat mereka yang dari Jabodetabek, bisa ke sini dengan moda transportasi commuter line (KRL), turun di Stasiun Rangkasbitung. Dari Stasiun Rangkasbitung, bisa ke Museum Multatuli naik angkot, kendaraan online, bahkan (katanya ada) becak.

Keistimewaan Museum Multatuli adalah museum ini menyimpan dan mendokumentasikan paham antikolonial pertama di Indonesia. Yaaa, yang zaman sekolah dulu dapat pelajaran Sejarah pasti tahu donk Multatuli itu siapa?

Untuk masuk ke museum bayar tiket dulu, ya.

Kalau lupa, yaweslah, saya coba ingetin, tapi singkat aja, ya. Jadi, Multatuli ini adalah nama pena Pak Eduard Douwes Dekker. Pak Eduard ini pernah bekerja sebagai Asisten residen Lebak sekitar tahun 1856. Namun, Pak Eduard sering berselisih dengan atasannya, karena tidak menyetujui sistem tanam paksa yang menindas rakyat Lebak saat itu. Akibatnya, Pak Eduard cuma bekerja kurang dari 3 bulan saja, waktu itu.

Lalu, Pak Eduard berkelana ke Belgia. Hingga pada tahun 1860, Pak Eduard dengan nama samaran Multatuli menulis novel Max Havelaar yang menceritakan tentang Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia Belanda. FYI, nama Multatuli itu berasal dari Bahasa Latin “multa tuli” yang artinya “banyak yang aku sudah derita”.

Jangan lupa mengisi buku tamu.

Buku Max Havelaar ini pada masanya membuat Kerajaan Belanda meradang. Namun, di satu sisi, masyarakat Eropa mulai menyadari bahwa apa yang mereka nikmati saat itu merupakan hasil penderitaan rakyat di sisi benua yang lain.

Tentang bangunan Museum Multatuli

Okeee… kita lanjutin cerita mengunjungi Museum Multatuli ya.

Dahulu, kalau masuk museum, katanya sih gratis. Namun, saat ini, terakhir saya ke sana Desember tahun lalu ternyata dikenai tiket Rp. 2.000,-00 per orang. Enggak terlalu mahal juga kan ya? Namun, apa yang kita dapatkan dari museum ini sangat “mahal” dan berharga.

Bagian depan Museum Multatuli.

BTW, sebelum cerita tentang dalemannya museum, saya mau cerita bangunan Museum Multatuli dari bagian luarnya dahulu ya.

Jadi, saat melewati ke gerbang Museum Multatuli, nanti kita akan disambut dengan pendopo di sebelah kiri. Kalau lurus, nanti langsung menuju bagian belakang museum (pintu keluar dari gedung museum).

Di bagian tengah halaman luar museum terdapat semacam tempat dengan patung-patung dan rak buku. Pengunjung bisa berfoto-foto di sini. Patung-patungnya, antara lain ada patung Pak Multatuli/ Pak Eduard yang sedang membaca buku, patung Saidjah yang sedang berdiri dan Adinda yang duduk di bangku.

Patung replika Multatuli, Saidjah, dan Adinda.

Bisa berfoto di sini.

Berfoto dengan Adinda.

Siapa Saidjah dan Adinda ini? Sudah saya ceritakan di postingan tentang Perpustakaan Saidjah Adinda sebelumnya ya. Intinya, keduanya adalah sepasang kekasih yang kisah romansanya berakhir tragis dalam buku Max Havelaar.

Lalu, di belakang tempat yang ada patung-patung ini terdapat sebuah bangunan yang saya sendiri agak kurang paham buat apa fungsinya. Seperti gazebo, namun kok enggak ada atapnya ya? Mungkin belum selesai dibikin atau gimana ya? Namun, yang pasti juga oke buat poto-poto.

Saya kurang paham bangunan ini untuk apa, mungkin belum selesai dibangun?

Mengenai bangunan museum, sebelumnya saya sudah bilang kalau gedung ini dibangun sebelum masa kemerdekaan Indonesia, makanya bentuknya khas bangunan tempo dulu, gitu. Bangunannya berbentuk T dengan bagian ekornya ini adalah bagian belakang museum, yang kalau kita keluar dari pintu yang ada di sini, maka artinya kunjungan kita ke museum ini sudah selesai.

Tembok samping museum.

Bagian luar museum terlihat asri, karena dihiasi dengan pot-pot tanaman yang cuku terawat. Bagi saya, pintu-pintu dan jendela-jendela bangunannya yang besar sangat mengesankan. Terdapat satu sisi dinding yang diberi semacam spanduk besar berisi pemikiran Pak Multatuli/ Pak Eduard yang berbunyi:

Sikap setengah hati tidak akan menghasilkan apa-apa. Setengah baik berarti tidak baik. Setengah benar berarti tidak benar.”

Sejujurnya, saya enggak benar-benar paham apa maksudnya. Mungkin, itu pesan agar dalam hidup ini sebaiknya kita berpegang teguh pada keyakinan kita. Kalau mau jadi orang yang baik, berarti kudu kuat menganut prinsip itu, jangan sama Si A baik, sama Si B enggak, kayak tebang pilih gitu.

Mungkin, itu juga yang membuat Pak Multatuli eneg sama kelakuan atasannya saat itu. Biarpun mereka sama-sama orang Belanda, namun kalau melihat keburukan yang dilakukan oleh orang Belanda kepada rakyat Indonesia kala itu, berarti ya itu buruk. Enggak, karena mentang-mentang sama-sama orang Belanda, trus harus didukung kalau melakukan kesalahan. Begitu kali ya?

Puas melihat-lihat bagian luar museum, kemudian saya dan rombongan lanjut masuk ke gedung museum. Pintu masuknya melewati pendopo di sebelah kiri pintu gerbang masuk halaman museum yang saya ceritakan tadi.

Bagian belakang museum.

Setelah membayar tiket masuk, kemudian pengunjung diminta untuk mengisi buku tamu. Baru kemudian bisa masuk ke dalam museum.

Pintu masuk ke gedung museum.

Oh ya, pintu masuk ke Museum Multatuli berupa pintu kayu dengan kaca yang cukup tinggi kusennya. Di depan pintu masuk terdapat hiasan lampu kuno, serta gambar anak Suku Baduy.

Apa saja yang bisa dilihat di Museum Multatuli?

Begitu masuk museum, hal pertama yang bisa kita lihat adalah gambar Pak Multatuli lagi yang besar sekali di dinding museum. Terdapat satu quote lagi dari Pak Multatuli yang berbunyi:

Tugas manusia adalah menjadi manusia.”

Mepet di dinding yang sama, terdapat miniatur replika gedung Museum Multatuli, Perpustakaan Saidjah Adinda, dan beberapa gedung lainnya.

Ruangan pertama setelah masuk museum.

Trus, tak jauh dari pintu masuk, di sebelah kanan terdapat prasasti peresmian museum yang ditandatangani oleh Bupati Lebak yang menjabat tahun 2018. Lalu, di sebelah kirinya terdapat patung setengah badan Pak Multatuli.

Patung Multatuli.

Anak-anak berpose di sini.

Masuk ke ruangan kedua, isinya tentang sejarah tanaman kopi yang berada di Lebak. Ada miniatur kapal yang dipakai di masa Belanda dulu. Kemungkinan biji kopi yang masuk ke Indonesia juga dibawa naik kapal ini.

Di ruang ini terdapat video yang diputar di salah satu dindingnya yang menceritakan tentang perdagangan kopi ini pada era Belanda.

Masuk ke ruangan kedua.

Buat yang belum tahu, Lebak, Banten dahulu merupakan daerah penghasil kopi yang terkenal sekali. Bibit kopinya dibawa oleh VOC Belanda pada abad ke-17 dari Malabar, India Selatan ke Jawa, salah satunya Banten dan mulai dibudidayakan pada abad ke-18. Daerah penghasil kopi terbesar pada masa itu salah satunya adalah Lebak.

Terdapat informasi tentang sejarah kopi Lebak.

Namun, saya sendiri juga enggak mengerti kenapa nama kopi Lebak enggak seperti dulu ya? Kayaknya kurang ngetrend jika dibandingkan dengan kopi dari daerah-daerah lain di Indonesia. Itulah sebabnya, sepertinya saat ini Pemerintah Kabupaten Lebak beberapa kali bikin event berkaitan dengan kopi Lebak. Mungkin sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan kembali pamor kopi khas daerahnya.

Kapal milik Belanda.

Terus terang, saya sendiri juga baru ngeh kalau Lebak adalah salah satu daerah penghasil kopi ketika masuk Museum Multatuli ini. Banyak peninggalan sejarah dan informasi mengenai kopi Lebak dipamerkan di museum ini.

Dari ruang kedua, selanjutkan kita masuk ke pintu yang berada di sudut kanan ruangan. Ternyata, dari sini enggak langsung ke ruang berikutnya, melainkan melewati lorong gitu. Di dinding-dinding sepanjang lorong masih banyak “cerita” tentang kopi.

Lorong yang dilewati untuk memasuki ruangan lain.

Setelah lorong ini habis, kita akan masuk ke ruangan di mana terdapat koleksi buku yang ditulis oleh Pak Multatuli. Di salah satu dinding ada semacam testimoni mengenai buku Max Havelaar yang ditulis oleh Pak Multatuli. Uniknya, testimoni ini enggak hanya dari tokoh-tokoh yang hidup di era yang lebih modern, namun juga ada yang berasal dari RA Kartini dan Soekarno, lho.

Max Havelaar, aku punya karena aku sangat, sangat suka pada Multatuli.” (RA Kartini).

Dan tidakkah ‘kena’ sekali perbandingannya Multatuli yang membandingkan ‘cultuur-stelsel’ itu dengansuatu kupulan pipa-pipa… yang masing-masing masuk di dalam dadanya milliunan-milliunan orang Jawa… tiap-tiap pengejar untung bolehlah masuk di dalam semua pipa dan bolehlah mengerjakan ia punya mesin sendiri memompa sumber itu.” (Ir. Soekarno).

Saya juga melihat ada earphone di dinding ini. Mungkin untuk memperdengarkan testimoni-testimoni tersebut. Sayangnya waktu saya ke sana kayaknya kabel earphone-nya enggak nyolok.

Koleksi uang kuno.

Koleksi surat.

Di sisi dinding yang lain terdapat etalase kaca tempat buku-buku karya Pak Multatuli ditempatkan. Ada buku-buku lawas, ada pula buku-buku yang lebih baru. Buku-buku yang lebih lawas itu katanya merupakan terjemahan pertama novel Max Havelaar ke dalam Bahasa Perancis. Selain itu, terdapat beberapa buku-buku lainnya karya Multatuli juga. Di etalase ini juga terdapat satu ubin/ tegel dari rumah kediaman Pak Multatuli.

Koleksi buku-buku Multatuli.

Ubin dari rumah Multatuli.

Tak jauh dari etalase ini terdapat surat Multatuli kepada Raja Belanda (Raja Williem III) yang telah didigitalisasi. Pengunjung bisa membuka surat tersebut di layar monitor yang telah disediakan. Surat yang berisi protes atas situasi tanah jajahan dan pemberitahuan tentang buku Max Havelaar tersebut juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Bangku untuk menikmati buku-buku Multatuli.

Trus, di tengah-tengah ruangan tersebut terdapat bangku panjang di mana pengunjung bisa menikmati apa yang dipamerkan di ruangan itu.

Surat dan buku Multatuli yang sudah didigitalisasi.

Dari ruangan yang berisi koleksi buku Multatuli itu kita bisa melanjutkan masuk ke ruangan yang dindingnya didominasi warna merah. Ternyata, ada gambaran mengenai perjuangan pahlawan-pahlawan Banten di masa dulu yang menentang Belanda. Saya baru mengenal nama Nyimas Gamparan, Haji Wasid, Haji Samanhudi, dll dari dinding ini. Mereka adalah tokoh-tokoh yang memimpin pemberontakan kepada Belanda.

Ruangan yang menggambarkan perjuangan tokoh-tokoh pahlawan Banten dulu.

Di ruangan ini dipamerkan borgol kaki yang ada batu bola besarnya itu. Kemudian, tombak dan juga tali gantungan. Kemungkinan, itulah peralatan yang dipakai oleh Belanda untuk menghukum kaum pemberontak. Serem ya? Namun, karena pencahayaan museum cukup bagus, maka kesan seram itu enggak ada sama sekali.

Meski begitu, ruangan ini membuat kita sebagai generasi penerus bangsa bisa bersyukur, karena kondisi sekarang lebih baik. Kita udah lepas dari penjajahan berkat pahlawan-pahlawan di masa lampau.

Baju wedana di masa lampau.

Masih satu ruangan dengan ruangan “merah” ini, agak masuk ke dalam ada ruangan yang kali ini didominasi dengan warna coklat. Ternyata di dindingnya terdapat foto-foto dan informasi mengenai sejarah terbentuknya Kabupaten Lebak dari tahun ke tahun.

Ada baju seragam juga yang dipamerkan di sini, lengkap dengan topinya. Kalau saya enggak salah sepertinya baju wedana gitu ya?

Batu prasasti dari Kerajaan Tarumanegara.

Di tengah-tengah ruangan terdapat etalase kaca berisi batu besar. Ternyata, itu bukan sembarang batu, melainkan Prasasti Cidanghiyang dari era Kerajaan Tarumanegara yang ada sekitar abad 4-5 M. Prasasti ini dulu ditemukan di Desa Lebak, Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Dari sini, mari kita kembali ke ruangan tempat buku-buku Multatuli tadi, lalu lanjut masuk ke ruangan yang berada di depan bangku duduk tadi.

Koleksi buku.

Inilah ruangan terakhir di Museum Multatuli ini. Di sini terdapat beberapa koleksi buku. Sayang saya lupa judulnya apa saja. Lalu, ada beberapa foto tokoh-tokoh yang pernah lahir, menetap, serta yang berkarya karena terismpirasi oleh daerah Lebak. Ada WS Rendra yang pernah menulis “Orang-orang dari Rangkasbitung”, ada pula Maria Ulfah Subadio seorang aktivis perempuan kelahiran Serang yang pernah menjadi Menteri Sosial pada Kabinet Sjahrir II, dll.

Ruangan terakhir.

Di ruangan ini juga terdapat bangku yang bentuknya artistik untuk pengunjung berisitirahat, setelah capek mengelilingi museum. Yaaa, walaupun menurut saya museum ini enggak terlalu luas, namun koleksinya cukup kaya dan mampu menceritakan sejarah Banten. Maka, kalau dah capek, ngaso dulu aja di bangku yang disediakan di ruangan ini. Baru kemudian keluar melalui pintu kayu tinggi bercat putih yang ada di ujung ruangan.

Bisa beristirahat di ruangan ini.

Keluar dari pintu ini, maka kita akan berada di halaman belakang museum. Selesai deh, tur Museum Multatuli ini 😀 .

Setelah dari museum kita bisa lanjut mengunjungi Perpustakaan Saidjah Adinda atau kalau mau sholat or ke toilet bisa menuju halaman belakang perpustakaan yang masih nyambung dengan halaman belakang museum.

Pintu keluar museum.

Itulah teman-teman mengenai Museum Multatuli. Semoga memberikan gambaran mengenai museum antikolonilisme ini ya.

Oh ya, FYI, Museum Multatuli ini buka setiah Hari Selasa hingga Minggu. Kalau Selasa sampai Kamis buka jam 08.00-16.00 WIB istirahat jam 12.00-13.00 WIB. Kalau hari Jumat-Minggu buka jam 08.00-15.00 WIB. Waktu istirahatnya sama, kecuali Jumat istirahatnya mulai pukul 11.00 WIB dan dibuka lagi pukul 13.00 WIB. Hari Senin dan hari libur nasional, termasuk hari besar keagamaan museum ini tutup ya.

Untuk informasi lebuh lengkap mengenai Museum Multatuli, mungkin teman-teman juga bisa mengintip media sosialnya di:

Semoga, sedikit postingan tentang Museum Multatuli ini bermanfaat yaaa 🙂 .

April Hamsa