Pendidikan adalah mengeluarkan potensi anak.”

Kalimat tersebut saya kutip dari newsletter yang saya dapat via email dari Rumah Inspirasi. Teman-teman ada yang belum mengenal Rumah Inspirasi? For your information, sekilas saja, Rumah Inspirasi itu sebuah website yang banyak mengupas mengenai Home Education (HE) atau yang lebih kita kenal sebagai homeschooling. Kalau belum jelas, teman-teman bisa langsung searching sendiri mengenai Rumah Inspirasi ya!

Wuih, sejak kapan April tertarik dengan homeschooling?” Mungkin ada yang mbatin seperti itu. Terus terang, saya bukannya yang tertarik banget gitu sih dengan homeschooling. Saya masih dalam tahap kepengen lebih tahu saja.

Seperti apa sih homeschooling itu? Apakah anak-anak saya, saya, dan suami kira-kira bisa menerapkan homeschooling? Kebetulan, anak saya Maxy (4,5 yo) tidak terlalu suka sekolah. Jadi, saya merasa pas saja gitu kalau saat ini saya mencari informasi tentang homeschooling. Siapa tahu Maxy lebih suka tertarik homeschooling, kelak.

Kekepohan saya tentang homeschooling bermula ketika sebulan lalu saya traveling ke Suku Baduy Dalam. Kebetulan saya menginap di satu rumah bersama dengan beberapa ibu-ibu yang anak-anaknya (masih usia SD) mendapat pendidikan dengan cara homeschooling. Saat itu mereka saling sharing mengenai kebijakan terbaru dari instansi pendidikan terkait tentang homeschooling. Saya lupa apa tepatnya, tapi kalau saya enggak salah berhubungan dengan nilai (sebagai tolak ukut prestasi) anak-anak mereka.

Lha, justru kita ini homeschooling kan karena enggak terlalu menekankan pada angka-angka (nilai) itu,” kata salah seorang ibu yang sekamar dengan saya kala itu.

Sudah menjadi hal yang biasa, bahkan sejak kecil kita dahulu, bahwa ukuran pintar adalah nilai rapor. Ada peringkat siswa dalam kelas berdasarkan nilai-nilai itu. Bahkan jaman saya sekolah dulu, anak-anak yang nilai rapornya tinggi, saat naik kelas dikumpulkan dalam satu kelas. Dahulu, istilahnya “kelas unggulan” kalau tidak salah. Di kelas baru tersebut, mereka “diadu” lagi untuk mencari tahu siapa yang terbaik di antara yang terbaik (nilai-nilainya).

Namun, kalau berdasarkan pengalaman saya pribadi, saat berada di kelas unggulan pun enggak terasa istimewa. Masih ada kok anak yang mencontek saat mengerjakan tugas ataupun ujian. Pas dewasa, pas jadi orang tua seperti sekarang ini, saya juga mikir-mikir apa artinya semua angka-angka itu? Angka-angka itu memang berguna, namun saya rasa bukan segalanya.

Saya dan suami sempat juga membicarakan tentang homeschooling. Namun, saya enggak mengatakan kalau homeschooling itu yang paling ideal, lho. Sebab, beberapa sekolah sekarang pun sudah ada yang tidak memakai angka-angka lagi sebagai patokan mengukur prestasi anak. Melainkan, memakai penilaian berdasarkan interaksi anak dengan teman-temannya, cara si anak berpikir, cara si anak mengeluarkan pendapatnya, dan tolak ukur lainnya.

Dari pembicaraan saya dengan suami, serta dari membaca buku-buku dan artikel-artikel tentang pendidikan, menurut pendapat saya, pendidikan yang ideal itu adalah:

Pendidikan yang bisa mengeluarkan potensi anak

Seperti yang saya tulis sejak awal, salah satu yang menarik dari homeschooling adalah mendorong orang tua untuk memberikan pendidikan yang dapat mengeluarkan potensi si anak. Hal ini ternyata sesuai dengan asal kata pendidikan (education) yang memiliki akar kata dari Bahasa Latin educare, yang artinya mengeluarkan.

Berkenaan dengan hal itu, saya dan suami sama-sama setuju, bahwa anak-anak kami nanti enggak perlu jago di segala bidang, cukup menonjol di satu bidang saja. Bidang-bidang lain sebagai pelengkap. Saya mau potensi yang memang ada sejak mereka kecil itu menjadi terbina dan membuat anak-anak saya menjadi seseorang yang tangguh di bidangnya.

Misalnya nih, saya mengamati anak saya Maxy sangat suka sekali bermain membuat bentuk gitu. Maxy suka menyusun balok-balok, Maxy suka membentuk brick lego-nya, pokoknya yang nanti akan menjadi bentuk baru sesuai imajinasinya. Bentuknya juga cukup menarik dan membuat kami yang dewasa kadang suka takjub. Mempertimbangkan hal itu, mungkin kami akan mengarahkan Maxy, entah ke bidang desain, bidang bangunan, atau bidang-bidang lain yang juga sesuai potensi dan minatnya itu.

Maxy saat bermain brick lego.

Bisa membentuk karakter anak

Saya mengharapkan pendidikan yang bisa membentuk karakter anak sedemikian rupa. Mungkin teman-teman yang aktif bermedia sosial pernah membaca status yang banyak di-sharing tentang bagaimana sekolah untuk anak-anak di negeri tetangga (saya lupa nama negaranya) mendidik anak-anak untuk paham tentang mengantre. Ada pula sekolah yang membiasakan murid-muridnya membereskan sendiri makan siangnya di sekolah.

Karakter-karakter seperti contoh di atas, mengantre, mandiri, disiplin dan lain sebagainya bukanlah hasil pendidikan instan. Melainkan, selama bertahun-tahun diajarkan sehingga sudah mendarah daging dalam aktivitas mereka sehari-hari. Kalau contoh yang bagus-bagus dari negara tetangga tidak masalah bukan kita ambil?

Kalau mencari yang sesuai dengan negara kita, ehmm, mungkin kita bisa menekankan toleransi. Contohnya seperti menghargai perbedaan pendapat. Mengingat bahwa negara kita ini warganya sangat heterogen, baik suku, budaya, agama, dan lain-lain.

Tak lupa, karena saya beragama dan kebetulan seorang muslim, saya sih ingin karakter anak saya sesuai dengan apa yang tertuang dalam ajaran agama saya. Kalau yang terakhir ini lebih menitikberatkan ke “moral” yang sudah pasti sangat kuat dapat mempengaruhi karakter anak.

Tidak sekadar melihat hasil, namun juga proses

Selain itu saya menginginkan pendidikan yang melihat pada prosesnya. Hal ini penting sebab dengan memberi anak apresiasi terhadap pekerjaan yang dilakukannya, maka hal tersebut akan menumbuhkan kepercayaan diri si anak. Sehingga, walaupun hasilnya tidak sesuai harapan, maka anak enggak langsung down. Melainkan akan mampu mencoba lagi dan lagi.

Selain itu, dengan tidak sekadar melihat kepada hasil, anak juga akan merasa bahwa dirinya mampu mengerjakan sendiri. Tidak perlu lagi ada yang menyontek tugas orang lain hanya karena merasa dirinya enggak mampu meraih hasil yang bagus sendiri. Kita pun enggak akan disodori berita lagi tentang kasus-kasus plagiarisme.

Jadi, selain menumbuhkan kepercayaan diri anak untuk berusaha sendiri, dengan pendidikan yang tidak sekadar melihat kepada hasil, maka kejujuran anak pun akan tumbuh. Sebuah karakter yang sangat mahal di masa sekarang ini.

Tiga itu sih yang saya anggap penting untuk bisa dimasukkan ke dalam (kurikulum) pendidikan anak saat ini. Kalau menurut teman-teman bagaimana? Yuk, sharing!

April Hamsa

***

Note: Artikel ini dibuat sebagai tanggapan atas tulisan Ina Tanaya yang berjudul Mengejar Ketertinggalan Pendidikan.