Menjadi seorang ibu adalah anugerah yang terindah dalam hidup saya. Makanya, ketika dokter menyatakan saya hamil, meski pada saat itu saya tengah sibuk menyelesaikan tesis dan long distance marriage sama suami, saya pun bahagia tak terkira. Saya menerima rejeki ini dengan ikhlas. Setiap bulan, saya rajin check up ke klinik kandungan. Pada waktu itu saya masih tinggal di Surabaya. Saya kontrol kehamilan di sana hingga usia kandungan saya menginjak akhir trimester kedua.

Oh ya, meski rajin kontrol, dokter belum pernah sekalipun menyuruh saya untuk memeriksa kesehatan di laboratorium. Mungkin, karena secara kasat mata, bagi dokternya saya terlihat baik-baik saja. Juga, dari hasil pemeriksaan dan USG janin yang selalu normal, maka dokter pun selalu mengatakan kondisi kehamilan saya, ya, normal-normal aja. Saya pun tak pernah berpikiran negatif, karena memang selama hamil tidak ada keluhan berat.

Drama kehamilan itu berupa “Anemia”.

Masalah baru muncul ketika saya selesai wisuda dan pindah ke Jakarta pada saat usia kandungan saya sekitar 32-33 minggu. Dokter kandungan saya yang di Jakarta, mencurigai kondisi janin saya yang ukurannya tidak sesuai dengan usia kandungan. Ukuran janin lebih kecil dari yang seharusnya. Dokter langsung menyuruh saya untuk cek darah lengkap. Hasilnya, diketahui bahwa saya anemia, hemoglobin (Hb) saya sangat rendah, plus kekurangan albumin (bagian dari protein plasma darah).

Drama kehamilan tak berhenti sampai di situ. Selanjutnya, saya menjalani infus venofer, cek di Klinik Fetomaternal, terapi protein hewani, dan sederetan usaha lainnya, dengan tujuan agar bayi saya bisa lahir dengan berat badan normal. Namun, saat kontrol di usia kandungan 39 minggu, ternyata dokter melihat janin saya tak juga berkembang. Akhirnya diputuskan untuk melakukan operasi caesar. Menurut dokter karena bayi saya kecil, khawatir tak kuat menerima kontraksi. Tapi, qodarullah, di hari dimana saya dijadwalkan operasi, saya mengalami kontraksi berujung pembukaan lengkap. Sehingga anak pertama saya dapat saya lahirkan lewat jalan lahir (partus per vaginam). Tapi, berat badannya sangat mungil, cuma 2,1 kg.

Anak pertama saya (dilingkari) di antara bayi-bayi lain yang lahir dengan berat badan normal.

Belajar dari pengalaman itu saya pun banyak mencari tahu apa itu “Anemia”. Apakah bahaya anemia? Apakah anemia merupakan penyakit keturunan? Harusnya, dulu, saya melakukan apa supaya tidak kena anemia, apalagi “Anemia during pregnancy”? Setidak-tidaknya, kalau saya hamil lagi, anak saya yang berikutnya bisa lahir dengan berat badan normal dan lebih sehat. Sebab, dokter kandungan saya yang pertama, yang di Surabaya, juga tak bisa sepenuhnya saya salahkan begitu saja. Sebagai ibu mestinya saya juga proaktif mencari tahu. Sayangnya, saya baru tahu kalau ibu-ibu lain suka “belanja dokter kandungan” untuk second opinion dan suka sharing tentang kehamilan di media sosial. Sesuatu yang baru saya ketahui saat saya sudah punya anak pertama. Ya ampun, saya terlalu sibuk dengan sekolah saya, sampai saya lupa kondisi janin dalam kandungan saya. Itulah yang saya sesali 🙁 .

Kembali kepada “Anemia”. Sebenarnya apakah anemia itu? Anemia adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak cukup banyak memiliki sel darah merah yang sehat untuk membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh. Jika dalam kondisi normal, anemia dapat membuat seseorang bisa merasa kelelahan dan merasa lemah, maka efeknya buat ibu hamil bisa jauh lebih berbahaya. Apabila ibu hamil mengalami anemia, maka oksigen yang disalurkan pada jaringan-jaringan tubuh maupun janin menjadi terbatas. Risiko yang akan terjadi adalah:

  • Risiko mengalami pendarahan sebelum dan sesudah melahirkan.
  • Risiko kelahiran bayi secara prematur.

  • Risiko kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR).

Dan, benarlah, saya mengalami sendiri, anak pertama saya terlahir BBLR.

Sebagai informasi, tanda-tanda seseorang mengalami anemia, antara lain sebagai berikut:

  • Menjadi mudah lelah dan lemah.

  • Terlihat pucat.

  • Jantung berdebar-debar.

  • Tiba-tiba mengalami sesak nafas.

  • Merasa sering pusing.

Nah, tanda-tanda tersebut hampir sama dengan yang dialami ibu-ibu hamil yang normal lainnya, bukan? Tak heran, jika tanda-tanda ini sering diabaikan dan tidak dikenali sebagai anemia.

Premarital check up untuk identifikasi dan pencegahan penyakit.

Jika bisa mengulang waktu kembali, besar kemungkinan saya akan memperbaiki kesalahan saya di masa lampau, yakni terlalu cuek terhadap kesehatan saya. Sebenarnya, sebelum menikah, saya beberapa kali merasakan tanda-tanda anemia tersebut. Namun, saya tidak menyadari bahwa itu adalah anemia dan ternyata berbahaya buat masa depan saya, di masa sekarang ini. Jika saya mengetahui risikonya sedari dulu, mungkin saya akan melakukan premarital check up untuk mengetahui kondisi kesehatan saya secara detail. Apalagi saya pernah membaca bahwa anemia bisa saja dibawa secara genetik, artinya penyakit ini bisa juga diturunkan kepada anak-anak saya (for your information, anak kedua saya ternyata mengalami anemia saat masa ASI Eksklusif, tapi alhamdulillah sudah mendapat pengobatan yang dibutuhkan).

Premarital check up ini sangat penting untuk dilakukan sebab orang yang terlihat sehat, seperti saya waktu itu, ternyata bisa menjadi pembawa penyakit, sehingga pada saat hamil, sangat berpengaruh pada kondisi bayi yang saya lahirkan. Oleh sebab itu, melalui tulisan ini, saya menyarankan bagi yang belum menikah, berencana akan menikah, atau sedang program kehamilan sebaiknya lakukan beberapa tes untuk mengidentifikasi apakah memiliki masalah kesehatan atau tidak, sehingga bisa hamil dan melahirkan dengan tenang tanpa was-was karena suatu penyakit. Percayalah, dari pengalaman saya, jika penyakitnya ketahuan belakangan setelah hamil, bukan hanya capek materi, namun juga capek tenaga karena berkeliling dari dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Serta yang paling membuat stress, capek pikiran.

Premarital check up dapat dilakukan di rumah sakit atau laboratorium kesehatan. Namun, jika tidak mau ribet dengan alurnya, misal dari dokter, lalu ke laboratorium, lalu balik lagi ke dokter, dapat melakukan premarital check up di In Harmony Health Clinic (In Harmony Clinic). In Harmony Clinic ini merupakan pusat pelayanan kesehatan holistik yang menyediakan berbagai pilihan layanan medis, alternatif, serta preventif. Jadi, misalkan dari hasil cek laboratorium ketahuan bahwa ada gangguan kesehatan, maka akan langsung diberikan pelayanan terkait cara pengobatan ataupun pencegahannya.

Di In Harmony Clinic, premarital check up-nya berupa serangkaian tes yang dirancang untuk mengidentifikasi apakah ada masalah kesehatan saat ini atau nanti, yang akan muncul di kemudian hari, saat pasangan sudah hamil dan memiliki anak. Premarital check up di In Harmony Clinic terdiri dari tiga pemeriksaan kesehatan, sebagaimana yang terdapat dalam tabel berikut:

Sumber: www.inharmonyclinic.com.

Dengan melakukan premarital check up, maka akan membawa manfaat sebagai berikut:

  • Mampu mendeteksi apakah kadar Hb, Hematokrit, Sel Darah Putih (Leukosit), dan Faktor Pembekuan Darah (Trombosit) normal atau tidak.
  • Bisa mengantisipasi apa saja nanti penyakit yang kemungkinan akan muncul pada anak yang dilahirkan, misalkan Hepatitis B, diabetes, alergi, anemia yang diturunkan, dan penyakit keturunan lainnya.

  • Mengetahui apakah memiliki penyakit yang bisa menyebabkan keguguran saat hamil atau yang bisa menjadi penyebab cacat anak.

  • Bisa mendeteksi kesuburan, supaya kelak tidak saling menyalahkan apabila susah punya anak.

Nah, apabila ditemukan ada yang tidak beres dengan kesehatan kita, maka tenaga medis di In Harmony Clinic akan memberikan saran, utamanya untuk pencegahannya. Di klinik yang kantor pusatnya beralamat di Jl. Percetakan Negara IVB No. 48 Jakarta ini, tersedia pula premarital vaccine yakni pemberian vaksin untuk pencegahan beberapa virus. Vaksin yang disarankan untuk calon pengantin antara lain:

  • Human Papiloma Virus (HPV): untuk mencegah terkena virus penyebab kanker serviks dan kutil kelamin pada wanita dan penyebab kutil kelamin pada pria.

  • Hepatitis B: untuk mencegah penyakit kuning dan radang liver, bakan sirosis, dan kanker hati.

  • Mumps-Measels-Rubella (MMR): untuk mencegah infertilitas yang disebabkan oleh penyakit gondongan dan supaya anak-anak yang dilahirkan terlindungi dari gangguan katarak.

  • Varicela Zoster Virus: untuk mencegah sakit cacar air.

  • Tetanus Toxoid: untuk membentuk antibodi kepada ibu dan anak uang dikandung.

Dan, apabila kondisinya serius dapat segera diobati dengan tindakan dan pengobatan yang tepat. Seperti saya yang mengalami anemia, misalnya. Jika diketahui sejak awal, mungkin akan ada semacam terapi zat besi untuk saya konsumsi supaya Hb saya meningkat dan saat hamil saya terhindar dari “Anemia during pregnancy”.

Pencegahan mandiri untuk “Anemia during pregnancy”.

Apabila dalam premarital check up ditemukan bahwa ada kemungkinan memiliki anemia, maka untuk mencegah anemia berkelanjutan menjadi “Anemia during pregnancy”, sebaiknya melakukan beberapa hal berikut:

  • Menambah asupan makanan yang banyak mengandung zat besi. Contoh makanan yang banyak mengandung zat besi adalah daging merah (kecuali daging babi untuk Umat Muslim), sayur berwarna hijau gelap, udang, ayam, kacang-kacangan, biji-bijian, telur, tahu, dan sereal yang sudah difortifikasi zat besi.

    Makanan yang kaya zat besi. Sumber: www.healthview.gr.

  • Supaya zat besi yang terkandung pada makanan terserap maksimal oleh tubuh maka perlu juga disertai dengan mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung vitamin C, seperti jeruk, tomat, jambu, strawberry.
  • Mengurangi minum minuman yang banyak mengandung kafein seperti kopi atau teh. Sebab minuman yang mengandung kafein dapat menghambat penyerapan zat besi.

Semoga dengan melakukan premarital check up dan tindakan preventif lainnya, kita bisa terhindar dari penyakit-penyakit yang membuat kehamilan tidak sehat, khususnya “Anemia during pregnancy” seperti yang pernah saya alami. Jangan lupa juga, saat hamil usahakan untuk banyak membaca dan mencaritahu, entah dari buku-buku ataupun media di internet mengenai kesehatan selama hamil dan setelah melahirkan nanti. Rajin-rajinlah pula untuk kontrol kehamilan secara rutin ke dokter kandungan. Apabila ada yang meragukan, nggak salah kok, melakukan second  bahkan third opinion. Dengan demikian, kita bisa menikmati kehamilan tanpa beban dan dapat melahirkan anak yang sehat.

Depok, 17 Juni 2016

April Hamsa