Akhirnya, kepakai juga nih jari jemariku buat nulis postingan tentang SD Sekolah Murid Merdeka di blog ini #tsaaahh 😛 .

Mohon maaf sebelumnya buat beberapa teman dan pembaca blog yang request tentang pengalaman anakku full sekolah di SD Sekolah Murid Merdeka. Padahal, sebenarnya, kemarin-kemarin saya janjiin nulis setelah satu bulan sekolah ya?

Mohon maaf yaaa, tiba-tiba ada kondisi di luar dugaan di dunia nyata yang cukup bikin saya kehilangan semangat buat ngisi blog. Namun, pagi ini alhamdulillah mood saya sedang bagus, soalnya baru terima transferan #eh. Maka untuk merayakannya saya mau nulis nih, wkwkwk.

Hmmm, enaknya ceritanya dimulai dari mana yaaa…

Memutuskan belajar di SD Sekolah Murid Merdeka

Oh iya, kasi info dulu, deh. Jadi, tahun ajaran 2021/ 2022 ini, anak-anak saya full sekolah di SD Sekolah Murid Merdeka semua. Dema yang dulu double school, sekolah di TK konvensional dan  TK Sekolah Murid Merdeka (6 bulan), sekarang kelas 1. Sedangkan Maxy, masuk ke kelas 2 SD Sekolah Murid Merdeka.

Yup, tahun ajaran baru ini Maxy saya keluarkan dari SD konvensionalnya. Alasan mengapa saya mengeluarkan Maxy dari sekolah konvensional sudah saya tulis di sini (klik aja 😀 ).

Maxy kini belajar full di Sekolah Murid Merdeka.

Sekolahnya start pertengahan Juli kemarin. Daaan, masih sama seperti TK dulu, sekolah di SD Sekolah Murid Merdeka juga menggunakan Learning Management System alias LMS alias aplikasi, namanya Sekolah.mu. Mulai dari jadwal belajar, pengumpulan tugas, diskusi, dll semuanya memanfaatkan aplikasi ini.

Mengapa akhirnya merasa mantab anak-anak sekolah di sekolah berbasis digital ini? Ada beberapa alasan, sih:

  • Sekolah ini mungkin bukan sekolah yang terbaik, namun menurut saya sekolah ini yang paling ideal pada saat pandemi seperti sekarang

Situasi saat ini kan belum jelas, meskipun keliatannya kasus Covid-19 turun, namun banyak ahli yang mengeluhkan datanya kurang akurat. Katanya kasus turun karena testing dan tracing juga dikurangi. Yeah, data ini memang masalah sejak dulu, sehingga saya belum tega melepas anak-anak sekolah dan masih meyakini pembelajaran daring adalah yang paling ideal saat ini.

Kan sekolah konvensional juga menyediakan pembelajaran daring?”

Iya betul, namun tidak semua sekolah konvensional bisa memfasilitasi pembelajaran daring dengan baik. Kalau Sekolah Murid Merdeka, saya nilai lebih mumpuni karena sejak awal memang konsepnya berbasis digital,. Anak tidak terlalu sering online yang berisiko pada kesehatan mata, dll, namun juga masih bisa belajar dengan baik.

Namun, maju mundur gitu. Nah, menyekolahkan anak di sini tuh memberikan saya semacam keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Kepercayaan diri mengajari anak-anak saya sendiri kembali muncul. FYI, Sekolah Murid Merdeka bisa dibilang semi homeschooling gitu #imho. Tetap orang tua yang menjadi guru utama, namun saya memiliki panduan dari LMS tadi.

  • Biaya cukup ramah kantong dengan kualitas bagus

Ibuk-ibuk di grup WA kelas suka bercanda, “Ini tuh sekolah biaya kampung tapi kualitas sekolahnya kayak sekolah ratusan juta.”

Kalau tidak salah waktu itu saya bayar sekolah tidak sampai 4 juta untuk masing-masing anak buat kegiatan belajar selama setahun. Mungkin karena sekolahnya tidak punya gedung, sehingga biayanya bisa ditekan kali ya?

  • Jadwal sekolahnya fleksible

Saya membayangkan pada saat pandemi usai nanti anak-anak bisa sekolah sambil travelingan (aamiin). Mbayangin aja udah seneng, hehe.

Bagaimana sih belajar di SD Sekolah Murid Merdeka itu?

Lalu, gimana sih sistem belajar di sekolah ini?

Secara umum sama aja seperti yang sudah saya ceritakan di postingan saat Dema TK dulu. Saat sudah beli programnya, nanti kita akan dikirim toolkit untuk pembelajaran. Isianya berupa lembar kerja dan beberapa kit untuk belajar.

Kit untuk bahan belajar.

Ada juga toolkit add on yang bisa kita beli di Tokopedia. Toolkit add on ini enggak wajib, namun bermanfaat kalau ada tugas, ketimbang repot nyari bahan lagi #imho.

Selain itu, sekolah ini juga memanfaatkan aplikasi Sekolah.mu. Semua tugas akan diberikan dan diunggah melalui Sekolah.mu ini.

Baca juga: Pengalaman Anak Bersekolah di Sekolah Murid Merdeka

Jumlah murid perkelas pun masih sama seperti TK dulu, yakni 70 murid dengan satu wali kelas.

Banyak yang bertanya kepada saya, “Apa enggak susah handle 70 murid saat online?”

So far, saya amati guru-gurunya cukup baik saat memandu kelas online. Setiap anak diberi kesempatan untuk bicara, entah itu menjawab pertanyaan, memimpin doa, bercerita, dll.

Lagipula, tidak semua anak online dalam satu waktu. Ada yang memilik kelas pagi, ada yang memilih kelas sore, ada juga yang memilih cukup lihat rekamannya aja.

Aplikasi Sekolah.mu.

Iyes, kelas disediakan tiap pagi dan sore. Anak bisa memilih mana waktu belajar yang cocok untuknya. Kalau anak-anak saya, Maxy memilih daring pagi hari, sedangkan Dema sore hari. Tujuannya, selain karena udah sesuai kenyamanan, juga supaya bisa saya awasin bergantian, sih.

Kemudian, kalau ingin anak lebih banyak berinteraksi dengan murid lain dan guru, kita juga bisa membeli kelas add on. Biayanya 30 ribu untuk kelas daring dengan satu guru dan maksimal 10 anak. Anak-anak lebih bisa berinteraksi dengan bebas di kelas ini.

Biasanya murid di kelas sore lebih sedikit ketimbang kelas pagi. Anak-anak kelas sore ini juga masih ada yang double school, jadi mereka masih sekolah di sekolah konvensional saat pagi dan sorenya belajar di Sekolah Murid Merdeka.

Yup, jadi kita bisa memilih menjadikan Sekolah Murid Merdeka sebagai sekolah utama atau pendamping untuk anak-anak. Kalau saya sih udah manteb jadi yang utama. Beberapa orang tua yang awalnya double school-in anaknya juga ada yang akhirnya beralih memilih full sekolah di Sekolah Murid Merdeka.

Apa bedanya full di Sekolah Murid Merdeka dengan yang double school di sekolah konvensional?”

Kalau tidak salah untuk yang menjadikan Sekolah Murid Merdeka sebagai sekolah utama, maka saat mendaftar kita masukkin data lengkap seperti akta kelahiran, KTP ortu, dll. Kalau pindah dari sekolah konvensional perlu juga upload surat keterangan pindah sekolah dari sekolah lama. Apabila tidak menjadikan Sekolah Murid Merdeka sebagai sekolah utama, maka data-data tersebut tidak apa tidak disertakan. Namun, untuk lebih jelasnya lagi bisa ditanyakan ke adminnya ya, saya lupa-lupa inget soalnya.

Contoh lembar kerja siswa.

Kemudian mengenai aplikasinya, bedanya dengan saat TK dulu, terus terang untuk jenjang SD nih saat awal-awal saya agak puyeng, hehe. Soalnya, zaman Dema TK dulu kan untuk penugasan hanya dibuat satu program tematik aja. Semua tugas udah urut tuh di-list di sana. Nah, kalau untuk jenjang SD, ada beberapa program, yakni: homeroom, kelas agama, kelas olahraga, dan tematik.

Harus rajin ngecekin masing-masing program atau kalau enggak mau mumet bisa cek di fitur “kalender”. Biasanya saya gitu, sih.

Trus, kalau TK dulu, anak cuma dua kali seminggu belajar tatap muka secara online, sedangkan saat SD masih ada tambahan kelas olahraga, agama, dan homeroom. FYI, homeroom ini seperti pertemuan semua anak seangkatan gitu. Sedangkan, kalau tatap muka online yang rutin itu biasanya cuma satu kelas dengan wali kelas masing-masing.

Homeroom sering diisi dengan menghadirkan pembicara dari profesional. Kayak kapan hari kelas homeroom menghadirkan Putri Agrowisata Indonesia untuk bicara tentang Papua, juga menghadirkan pejabat pemerintah kota Ambon untuk bicara soal Ambon, dll.

Lalu soal buku-buku, Sekolah Murid Merdeka tidak menggunakan buku teks. Semua sudah tersedia di aplikasi, termasuk bacaan yang sudah dirangkum dalam infografis maupun kuis-kuis permainan. Ada pula video yang memudahkan anak untuk memahami apa yang dipelajarinya.

Membaca artikel/ bacaan materi belajar di aplikasi.

Setiap selesai belajar, akan ada sesi refleksi. Sesi refleksi ini membuat anak dapat menceritakan kembali tentang apa saja yang sudah dipelajarinya, apa yang gampang atau susah, sehingga guru maupun orang tua bisa mengukur kemampuan anaknya.

Sedangkan untuk kekurangannya, sayangnya di SD Sekolah Murid Merdeka tidak ada program Bahasa Inggris. Namun, kalau orang tua ingin anaknya belajar Bahasa Inggris, kita bisa mengikutkan “semacam ekskul” Bahasa Inggris yang tersedia di aplikasi Sekolah.mu. Saat TK dulu Dema pernah saya ikutkan, namun saat SD ini sementara masih belajar dengan saya dulu. Soalnya kalau bahasa asing kan yang penting dipakai dulu dalam keseharian, mengenai teori bisa ditambahkan seiring perjalanan waktu #imho.

Oh iya, SD Sekolah Murid Merdeka juga sudah mulai pertemuan offline. Sejak awal konsepnya memang blended learning, cuma karena pandemi, offline masih terbatas.

Pertama kali ikutan kelas offline.

Mulai akhir Agustus kemarin kelas offline sudah dimulai di 9 kota. Namun, sifatnya tidak wajib.

Saya lupa di mana aja kelas offline-nya, namun Bogor, tempat kami tinggal, sudah tersedia fasilitasnya. Pertemuan offline tidak terbatas di kelas, nanti bisa di museum, perusahaan-perusahaan (maybe), dll. Namun, untuk sementara ini kayaknya masih di kelas dulu. 

Mengapa berani mengikutkan anak kelas offline?”

Kalau ada pertanyaan begitu, jawaban saya:

  • Kelas offline-nya tidak wajib dan tidak setiap hari harus datang ke kelas untuk belajar. Terserah ortu dan anaknya aja.
  • Prokes-nya bagus. Standar lha ya. Pakai masker, cuci tangan, jaga jarak, dll. Namun, tidak semua anak boleh ikutan offline. Untuk anak di bawah 12 tahun yang boleh ikut offline adalah anak-anak yang orang tuanya sudah menerima vaksin Covid-19, sehingga saya tidak khawatir anak sekelas dengan anak yang orang tuanya antivaksin. Maaf ya agak “rasis” alias pilih-pilih 😛 .
  • Satu kali pertemuan kuotanya dibatasi hanya 5 anak dengan durasi 1,5 jam.
  • Aturannya tegas, orang tua tidak boleh nungguin anaknya dan tidak boleh terlambat menjemput. Ada sanksinya pula, sehingga orang tua bisa komit. Enggak ada ceritanya orang tua kumpul-kumpul ngobrol di warung depan sekolah sembari nungguin anaknya sekolah #eh.
  • Meskipun tidak boleh nungguin, orang tua masih bisa memantau kegiatan belajar anak secara online. Jadi, kita bisa tahu selama di kelas anak ngapain aja. Bisa komit makai maskernya apa enggak, bisa jaga jarak ma temennya atau enggak, dll, hehe.

Meski demikian, saat disurvey sih, saya mengatakan mungkin saat pandemi ini saya hanya akan mengantar anak offline cukup sekali dua kali aja dulu. Tujuannya buat refreshing mengurangi kejenuhan anak di rumah aja. Kalau virus Covid-19 di Indonesia nanti sudah terkendali, mungkin akan saya tambah lagi pertemuan tatap mukanya.

Saat kelas offline berlangsung orang tua bisa mengawasi via daring.

Hmmm, kayaknya itu sih ya yang bisa saya ceritakan soal SD Sekolah Murid Merdeka.

Intinya kalau masuk sekolah semacam ini tuh pertama yang harus dilakukan orang tua adalah setting mindset. Buka pikiran dulu, karena memang sangat berbeda dengan sekolah konvensional, sekolah kebanyakan.

Beberapa orang tua teman-teman anak-anak saya di sekolah ini bahkan sering curhat, tak jarang ada saja yang bersikap seperti meremehkan saat orang tua seperti kami memilih model pendidikan atau sekolah semacam ini untuk anak-anak. Namun, ya enggak pa pa sih, karena kalau enggak nyemplung sendiri, ya memang agak susah memahaminya. Makanya, kalau ada yang bertanya soal sekolah ini saya dengan senang hati menjelaskan, walaupun enggak di-endorse #ehgimana 😀 .

Ada pula beberapa yang menyerah karena bingung soal aplikasinya, dll. Percayalah, saat awal-awal masukin Dema ke sekolah ini saya juga bingung gimana “cara mainnya” hahaha. Namun, saya merasa worth it untuk mempelajarinya. Kadang nanya ke CS, kadang nanya ke orang tua lain.

Legalitas SD Sekolah Murid Merdeka

Oh iya, satu lagi pertanyaan yang biasanya diajukan ke saya, “Gimana legalitas Sekolah Murid Merdeka?”

Sekolah Murid Merdeka ini bentuknya PKBM ya, seperti legalitas homeschooling gitu. Sertifikatnya juga bisa diterima untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, bahkan saat anak mau pindah sekolah ke sekolah konvensional.

Saya pribadi tidak ragu karena zaman now homeschooling pun diakui, legalitasnya jelas, dan banyak anak homeschooler sukses di bidangnya masing-masing. Balik lagi ke pernyataan saya di atas sih, bahwa kalau mau memasukkan anak ke sekolah seperti Sekolah Murid Merdeka memang harus setting mindset dulu 🙂 .

Trus, sepertinya sekarang juga ada sekolah lain yang modelnya mirip-mirip Sekolah Murid Merdeka gitu. Saya udah tahu ada 2-3 sekolah serupa, tapi enggak mau mention namanya ah, wkwkwk.

Yeah, mungkin pada masanya kelak, sekolah-sekolah model gini tidak akan asing lagi. Sebut saja namanya sekolah abad 21 haha.

Yawes ya, itu aja kayaknya yang bisa saya tulis. Kalau soal teknis-teknisnya kurang lebih sama aja dengan yang saya tulis di postingan Sekolah Murid Merdeka sebelumnya sih. Paling bedanya sekarang udah mulai ada kelas luring alias offline-nya aja. Itupun sepertinya juga akan ada beberapa perubahan lagi, soalnya selama nyekolahin anak di Sekolah Murid Merdeka, mereka terbuka terhadap saran dan masukan dari orang tua. Saya merasa baik sekolahnya, gurunya, murid-muridnya, sampai orang tuanya pun berkembang bersama.

Semoga postingan tentang SD Sekolah Murid Merdeka ini bermanfaat untuk teman-teman, para orang tua, yang tengah mencari alternatif sekolah untuk anak-anaknya ya. Tetap semangat yaaa nemenin anak-anak belajar di masa pandemi 🙂 .

April Hamsa