Sudah sejak lama sebenarnya, kepengen menulis tentang kelahiran Maxy. Sebenarnya mau ngepasin saat ultah pertamanya, September lalu. Namun, karena masih belum sempat ngeblog, yah baru kesampaian sekarang.

Well well, kita mulai dari saat hamil Maxy. Saat itu, Bunda dan Ayah menjalani long distance relationship karena urusan kuliah Bunda yang belum kelar. Ayah di Jakarta, sedangkan Bunda di Surabaya. Selama kehamilan Bunda, dokter spesialis kandungan yang kami percayai selalu mengatakan bahwa kandungan Bunda normal-normal saja. Oleh karena itu, Bunda fokus pada thesis, supaya lekas selesai lalu berkumpul sama Ayah.

Akhirnya, pada Juli 2012, kuliah Bunda selesai. Bunda dan Ayah pun bisa bersama tinggal di rumah kontrakan mungil kami di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kami memutuskan melahirkan di Jakarta, supaya Ayah tidak ketinggalan momen datangnya Maxy ke dunia. Di Jakarta, kondisi Maxy dipantau oleh dr. Prita dari RS JIH. Kebetulan Bunda dan Ayah sudah kenal dr. Prita karena sesama Blogger Multiply dulu. Apalagi RS-nya dekat rumah, maka nggak banyak mikir kami memilih melahirkan Maxy di sana.

Ternyata, setelah ditangani dr. Prita, baru ketahuan kalau kandungan Bunda nggak beres. Dr. Prita begitu teliti memeriksa pasiennya. Bunda dan Ayah pernah hampir satu jam di ruangannya, tidak seperti ketika kontrol di dokter kandungan yang di Surabaya. Ternyata, Maxy didiagnosa mengalami Intra Uterin Growth Retardation atau yang dikenal di Indonesia dengan sebutan PJT alias kondisi Pertumbuhan Janin Terhambat. Maxy tidak bisa berkembang di kandungan karena Bunda anemia akut.

Pertama kali ketemu, dr. Prita langsung menyuruh cek darah. Hasil lab mengatakan Hb Bunda cuma 8, padahal normalnya minim 10. Singkatnya, Bunda bolak-balik cek darah di lab. Lalu diminta banyak makan putih telur serta ikan gabus (yang susah banget didapat di Jakarta, padahal di Kalimantan or Surabaya gampang 🙁 ). Bunda juga sempat infus zat besi dua kali di RS, sebab makanan kaya zat besi sudah nggak membantu untuk meningkatkan persediaan zat besi Bunda.

Bagian paling “mengerikan” Bunda pernah dirujuk ke RSCM ke bagian Fetomaternal. Di sana, banyak Bunda-bunda lain yang mengandung, namun berwajah muram. Kenapa? Karena sebagian besar Bunda yang cek ke sana berarti kandungannya bermasalah.

Alhamdulillah, Hb Bunda pelan tapi pasti naik. Namun, antara minggu ke-38 menuju ke-39 ternyata BB janin Maxy nggak bertambah. Kalau nggak salah diperkirakan cuma 2300 gr. Padahal normalnya seharusnya 2500 gr. Akhirnya dr. Prita menyarankan supaya Maxy dilahirkan saja di minggu ke-39.

Saat itu sudah disepakati bahwa Maxy akan dilahirkan dengan jalan operasi, karena ukurannya mungil, khawatir dia nggak kuat saat kontraksi. Jadwalnya disepakati tanggal 12 September, hari Senin. Bunda sudah kesakitan sejak malam jumatnya. Pinggang serasa dipukulin. Bunda suka teriak-teriak saat tidur, hingga mukul-mukul Ayah hehe 😛 . Saat Sabtu pagi, dicek bidan, ternyata belum bukaan. Ketika siang ketemu dr. Prita katanya udah bukaan satu. Maka, kami menunggu hingga Senin tiba.

Sekitar pukul 09.00 Bunda, Ayah, Mbah Kung, Mbah Uti, Kai, dan Oom Wahyu tiba di RS. Jadwal operasi adalah pukul 14.00. Ternyata, alhamdulillah bukaan Bunda naik cepat. Maxy nggak jadi lahir lewat operasi, namun lewat persalinan normal di jadwal operasinya (Good boy 🙂 ). Ayah menemani Bunda terus di dalam ruang bersalin. Seru pokoknya deh (biar Ayah yang cerita ya? Haha 😛 ).

Maxy lahir langsung menangis, meski cuma sebentar. Lalu langsung IMD, meski nggak dapat meraih payudara. Sejam kemudian, dia dibersihkan perawat, lalu ditaruh di inkubator di depan Bunda. Bunda masih bisa melihatnya. Bayi mungil kami. Tak lama kemudian Maxy sudah bisa dibawa ke kamar perawatan. Oh ya, FYI, BB Maxy ternyata hanya 2100 gr.

***

Setelah melewati masa kehamilan yang cukup berat, ternyata masalah tak berhenti di sana. Mulut Maxy begitu mungil, sementara Bunda payudaranya besar dengan nipple flat. Akibatnya Maxy tidak bisa mengeluarkan air susu dari payudara Bunda. BB Maxy stagnan tidak naik-naik selama sebulan kehidupannya.

Saat itu Bunda dan Ayah masih dudul, belum kenal Milis Sehat. Pengetahuan tentang ASI juga masih minim. Dulu, kami kira, menyusui itu semudah memasukkan puting ke mulut bayi. Ternyata kami salah. Bulan-bulan pertama kehidupan Max, kami lalui dengan safari RS, klinik laktasi, hingga mencari donor ASI. Semua kami lakukan, hingga akhirnya saat konsul ke dokter ahli gizi di RSCM, kalori ASI saja tidak cukup untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhan Maxy. Lalu asupan sufor kalori tinggi pun ditambahkan. Lama-kelamaan grafik BB Maxy sudah mencapai normal. Maxy tetap minum ASI dari hasil perahan, maupun nenen langsung. Karena mulutnya sudah semakin besar maka nenennya pun makin pintar. Bahkan kayaknya bakal susah disapih hehe 😛 .

***

Masa-masa itu lewat sudah. Banyak hikmah yang kami ambil dari sana. Salah satunya, karena Maxy pernah sempat campur sufor itu, kami belajar tidak menjudge mereka yang memberi sufor untuk bayinya. Pasti ada alasan di balik itu semua. Siapa kami berhak menghakimi orang lain, kan? Bunda dan Ayah juga makin mengenal karakter masing-masing. Kami saling menguatkan. Makin wise, bahwa hidup memang ada kalanya naik turun. Berempati pada kesusahan orang lain, terutama yang berhubungan dengan urusan bayi sakit. Ah! Kami sudah melaluinya. Bahkan, mungkin hingga sekarang, saat ada kalanya orang membanding-bandingkan Maxy dengan yang lain. Kami masih berusaha legowo 🙂 .

***

Setahun bersamamu, Athaillah Akbar Puthayadi a.k.a. Maxy. Kadang kami suka sebal dengan tangisanmu, namun kami lebih sering tertawa kalau kamu bertingkah lucu. Denganmu, Nak, rumah mungil kita makin hidup. Sehat terus, ya, Sayang! Bahagialah selalu! (Aamiin Ya Rabb 🙂 ).

-Bunda-

Categorized in: