Yeaaayy, akhirnya rasa penasaran bertahun-tahun tentang Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan hilang. Sabtu (18 November 2023) lalu, saya dan anak pertama Maxy akhirnya bisa mengunjungi kawasan yang dijadikan tempat pelestarian Budaya Betawi di Jakarta ini. Bener-bener momen menggembirakan karena membuat saya jadi teringat masa lalu.
Jadi, ceritanya, saat Maxy masih bayi, kami sekeluarga pernah tinggal di area Pasar Minggu. Dulu, kami lumayan sering motoran ke area Jagakarsa, tempat di mana Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan berada. Namun, belum pernah sekalipun masuk.
FYI, buat yang belum tahu, Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan tuh merupakan lokasi wisata yang mengusung adat istiadat Suku Betawi. “Setu” itu artinya “Danau”. Yup, betul ada danau di sini yang menjadi salah satu daya tarik perkampungan adat ini.
Memang di area sana dulu ada beberapa kampung yang dihuni oleh orang Betawi asli. Sampai akhirnya, karena perkembangan zaman, Suku Betawi asli pun bergeser hingga ke Depok atau Bogor. Pemerintah Jakarta pada masanya kemudian melakukan upaya supaya perkampungan tersebut tidak punah dengan cara membuat kawasan khusus yakni Setu Babakan ini.
BTW, dahulu saya kira, begitu masuk gerbangnya, di dalamnya ada perkampungan gitu, jadi sungkan kan masuk ke kampung orang tanpa tujuan jelas. Eh, ternyata ada museum di dalamnya. Saya googling, museum tersebut dibangun sekitar tahun 2012-2015an, yang berarti ketika kami masih di Pasar Minggu, museum itu tengah dibangun. Namun, begitu jadi, tampaknya museumnya tak langsung dibuka untuk umum. Dari hasil pencarian di internet museum yang diberi nama Museum Betawi itu baru dibuka untuk umum pada tahun 2017.
Okey, balik lagi ke aktivitas jalan-jalan dengan Maxy. Sebenarnya, kami tuh ke Setu Babakan untuk mencari bahan-bahan tugas untuk proyek sumatif-nya Maxy. Tugasnya adalah mengunjungi sebuah lokasi yang memiliki keanekaragaman hayati maupun budaya. Akhirnya, kami putuskan mengambil bahan Setu Babakan saja, di mana di sana ada danau, sungai, serta tentu saja budaya yang bisa dijadikan bahan materi sumatif. Bisa dibilang jalan-jalan ke Setu Babakan kali ini adalah belajar sambil refreshing.
Saya dan Maxy berangkat dari rumah sekitar pukul 6 pagi dengan menggunakan moda trasportasi commuter line (KRL) nyambung kendaraan online, lalu sampai tujuan pukul 8 lebih. Gerbang besar bertuliskan “Perkampungan Budaya Betawi” telah terbuka. Tampak dua orang bapak-bapak memakai baju koko putih, bercelana hitam, berkalung sarung yang dilipat ada di semacam pos di dekat gerbang.
Menurut salah seorang dari bapak-bapak itu, museum baru buka pukul 9. Namun, kalau mau masuk ke area halaman museum atau mau ke danau terlebih dahulu boleh. Akhirnya, kami masuk dan keluar lagi lewat pintu gerbang samping untuk menuju danau atau setu.
Ternyata danaunya tepat berada di belakang gedung museum. Pengunjung bisa ke sana melalui gerbang samping seperti saya atau area teras yang ada di belakang museum.
Danau Babakan atau Setu Babakan ternyata cukup luas. Kalau googling, kita akan menemukan angka 30 hektar untuk luas danau buatan yang terhubung dengan Sungai Ciliwung ini. Di sekeliling danau terdapat pepohonan dengan semacam trotoar gitu. Namun, trotoarnya beralih fungsi sebagai tempat duduk lesehan pedagang makanan sekitar setu.
Yes, jadi ada banyak warung-warung yang berjualan makanan serta minuman yang mengelilingi setu, Ada pula beberapa wahana permainan seperti perahu, bebek-bebekan (sepeda air), persewaan sepeda, dll.
Pada mulanya saya berjalan ke arah sebelah kiri dahulu. Mau melihat-lihat sekaligus cari makan. Sayangnya, Maxy udah keburu laper. Singkat cerita kami berbalik arah dan memutuskan makan mie ayam di dekat wahana bebek-bebekan.
Seporsi mie ayam harganya Rp. 20 ribu. Lumayan sih topping-nya ada bakso tiga biji, potongan daging ayam, keripik pangsit, lengkap dengan sayurannya.
Setelah makan mie ayam, saya dan Maxy menuju ke museum melalui pintu belakang di area galeri yang sudah saya ceritakan sebelumnya. Begitu masuk, ternyata ada beberapa penjual makanan juga di area sini. Salah satunya adalah penjual kerak telur.
Kemudian ada semacam jembatan gitu di mana di kanan kirinya terdapat hiasan ondel-ondel. Saya dan Maxy mengambil beberapa foto-foto di sini.
Setelah itu kami bergeser ke tengah yang ternyata sudah ada banyak orang yang tengah menari. Nggak tahu tarian apaan, tetapi pemandunya bilang kalau wajib berpasangan cowok-cewek, gitu. Ternyata, orang-orang ini adalah para mahasiswa/ mahasiswi rombongan dari sebuah kampus, gitu.
Kami pun memvideokan momen tersebut sebagai salah satu bahan buat proyek sumatif Maxy. Setelah menyaksikan orang-orang menari, saya dan Maxy geser keluar galeri dan ketemu lapangan serta rumah-rumah adat Betawi. Saya baca keterangannya namanya adalah Rumah Gudang. Sayangnya, bangunan rumah-rumah itu sedang direnovasi, sehingga kami hanya bisa mengambil foto dari bagian luarnya saja.
Setelah dari lapangan, kami bertemu rombongan mahasiswa yang tadi. Kali ini mereka diajak pemandu untuk latihan silat ala-ala tokoh Si Pitung. Lagi-lagi kami memvideokan mereka karena ya lumayan buat bahan tugas Maxy hehe.
Setelah pertunjukan silat selesai, saya dan Maxy menuju bangunan utama museum lewat tangga yang dekat mushola. Ternyata terdapat ampiteater di sana yang sering dipakai untuk panggung pertunjukan. Hanya saja saya lihat kali itu area itu sedang direnovasi juga.
Ternyata museum memiliki dua pintu, depan dan belakang. Kami memutuskan agak memutar untuk masuk lewat pintu utama. Mengapa? Soalnya menarik. Pintunya tuh gedhe gitu dengan ornamen yang cakep.
Masuk museum ternyata ada dua ruangan yang berada di kedua sayap museum. Ruangan pertama bertema pengetahuan tentang pengante Betawi, sedangkan ruangan kedua berisi 8 ikon adat Betawi. Di ruangan-ruangan ini terdapat beberapa keterangan mengenai apa saja barang yang dipamerkan.
Sekitar pukul 11.30 seorang petugas mengingatkan bahwa jam 12 museum sakan segera tutup. Saya pun bertanya mengenai jam buka dan tutup museum. Ternyata setiap hari memang tutupnya pukul 12. Kecuali Hari Senin, museum tutup.
Akhirnya, setelah mengambil beberapa foto, saya dan Maxy keluar lewat pintu belakang. Lanjut mengambil beberapa gambar.Setelah itu kami sholat di mushola yang kami lewati sebelum masuk ke museum.
Musholanya unik, karena berbentuk rumah adat Betawi juga. Sayangnya, musholanya agak berdebu, sementara lantainya tidak diberi karpet sajadah.
Setelah sholat kami pun keluar dari Setu Babakan untuk numpang makan siang di kafe yang tak jauh dari sana.
April Hamsa
Comments