Gara-gara jalan-jalan ke Rangkasbitung tempo hari, saya jadi teringat akan kenangan mengunjungi Suku Baduy tahun 2017 silam. Iyes, itulah tepatnya pertama kalinya saya menginjakkan kaki ke Stasiun Rangkasbitung.
Buat yang belum tahu, FYI, Suku Baduy adalah salah satu suku yang berada di Banten, tepatnya di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak. Sering pula disebut sebagai “Urang Kanekes”. Jarak Desa Kanekes ke pusat pemerintahan Kabupaten Banten di Kota Serang katanya sekitar 78 km.
Suku Baduy terkenal menolak modernisasi dan sangat teguh mempertahankan adat-istiadatnya. Salah satunya, berjalan kaki ke mana pun mereka bepergian. Katanya sih enggak boleh pakai kendaraan dan wajib bertelanjang kaki.
Berfoto bersama salah satu warga Baduy Dalam.
Uniknya, walau Kabupaten Lebak punya sejarah tersentuh kolonialisme, namun katanya Suku Baduy ini sama sekali enggak pernah didatangi penjajah Belanda pada masa itu. Konon katanya karena kondisi alamnya yang susah, sehingga Belanda enggak tertarik untuk menuju desa mereka.
Kemudian, zaman berkembang, ternyata Suku Baduy kini terbagi dua. Ada Suku Baduy Dalam dan ada Suku Baduy Luar. Kalau Baduy Luar sudah terkontaminasi budaya modern.
Ciri-ciri yang membedakan orang Baduy Dalam dan Baduy Luar, katanya sih dari pakaiannya. Kalau orang Baduy Dalam memakai pakaian serba putih, sedangkan suku Baduy Luar memakai pakaian berwarna hitam dan ikat kepala biru tua.
Saya sering tuh kalau naik commuter line (KRL) dari dan ke Tanah Abang menjumpai orang dengan ciri-ciri suku Baduy Luar. Begitu sampai Jakarta, sepertinya mereka menjajakan madu atau cindera mata, gitu.
Okey, sekian dulu pengantar untuk perkenalan Suku Baduy ya. Nanti, teman-teman bisa googling sendiri, karena info tentang mereka banyak di dunia maya 😀 .
Lalu bagaimana saya bisa mengunjungi Suku Baduy di tahun 2017 itu?
Ceritanya, waktu itu salah satu teman dari komunitas homeschooling yang saya ikuti, sebut saja namanya Mbak Yoga, bikin open trip 2D1N alias 2 hari 1 malam mengunjungi Suku Baduy. Bayar trip-nya Rp. 250.000,-00 yang sudah termasuk:
- Akomodasi menginap 1 malam di rumah warga Baduy Dalam;
- Transportasi kendaraan pulang pergi, berikut uang bahan bakar kendaraan dan driver (Ini start dari Terminal Rangkasbitung).
- Biaya retribusi.
- Biaya pemandu.
Kemudian, teman saya tersebut menyarankan juga untuk menyediakan uang buat kasi tip untuk guide pendamping serta tip untuk porter. Nanti, saya ceritakan, buat apa sih perlu guide pendamping dan jasa porter.
Sebelumnya, saya mau cerita bagaimana cara rombongan kami bisa sampai ke Suku Baduy Dalam ya.
Mbak Yoga menentukan meeting point rombongan adalah di Stasiun Tanah Abang, sekitar pukul 7 atau 8 pagi, gitu. Waktu itu saya masih tinggal di Depok, langsung naik KRL dari Stasiun Depok Baru ke Stasiun Tanah Abang.
Dari Tanah Abang kami melakukan perjalanan naik KRL selama sekitar 1,5 jam berhenti di Stasiun Rangkasbitung. Mungkin sekitar pukul 11 siang lha ya.
Setelah itu, rombongan kami dipandu berjalan keluar menuju semacam terminal gitu. Cuma, kalau disuruh menunjukkannya lagi sekarang di sebelah mana Stasiun Rangkasbitung kayaknya saya udah enggak paham, deh. Soalnya begitu banyak yang berubah. Iyalah, udah 5 tahun, hehe.
Begitu sampai terminal, pokoknya sudah ada mobil besar menunggu kami. Mobil ini membawa rombongan ke sebuah daerah Namanya Cijahe. Di sinilah kami kemudian beristirahat sejenak, sholat, serta makan.
Kalau enggak salah ada mushola di sini, karena kemungkinan warganya banyak yang muslim. Berbeda dengan orang Baduy ya. Mereka bukan muslim, kalau enggak salah penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Istilahnya Sunda Wiwitan atau apa gitu. Mohon koreksinya.
Nah, setelah itu kami bersiap-siap melanjutkan petualangan menuju Desa Cikeusik tempat orang Baduy Dalam tinggal. Sebelumnya, Mbak Yoga dan tim mewanti-wanti kami untuk tidak menyalakan kamera HP soalnya memang ada daerah larangan gitu.
Namun, kalau sepanjang perjalanan menuju ke sana, katanya sih masih boleh. Guide lokalnya juga mengizinkan.
Nah, untuk guide pendamping ini kalau enggak salah siapapun warga lokal sana yang mau kami ajak berbincang dan menceritakan mengenai Suku Baduy. Kalau porter adalah warga lokal, ya orang Baduy juga, sih, yang mau membantu kami membawakan barang-barang bawaan kami, seperti ransel, perbekalan makanan, dll.
Ya, maklum, saat itu perjalanan dari titik start buat jalan kaki menuju perkampungan Baduy Dalam lumayan memakan waktu. Kira-kira satu jam lha ya dengan berjalan kaki. Iyes, berjalan kaki. Kendaraan kan tak bisa atau tak boleh masuk, hehe.
Trus, jalurnya tuh afgan geeess. Mendaki gunung, melewati lembah, gitu #lebay. Maka, buat yang enggak kuat berjalan sambal membawa ransel, sangat disarankan menyewa jasa porter.
Waktu itu kami menyewanya ramean. Satu porter membawakan barang milik beberapa orang. Porter-nya enggak Cuma orang Baduy dewasa aja, lho, ada beberapa yang anak kecil juga.
Oh ya, FYI, rombongan saya waktu itu tuh campuran ya. Enggak cuma ibu-ibu / bapak-bapak yang dari komunitas homeschooling itu, tetapi ada juga dari komunitas ngebolang (saya lupa namanya 😛 ). Uniknya, yang dari komunitas ngebolang ini rombongannya tuh neli-neli alias para nenek lincah.
Walau berjalan kaki melewati banyak rintangan, apalagi waktu itu tanahnya sangat licin, karena hujan, namun neli-neli ini tetap bergembira, lho. Sesekali mereka berfoto dan mengabadikan momen. So, bakalan malu kalau ngos-’gos’an enggak kuat jalan ma mereka.
Selain neli-neli, “saingan” lainnya adalah anak-anak usia TK dan SD yang dibawa oleh orang tua mereka untuk mengunjungi Baduy Dalam. Kalau yang seusiaku berjalan sambal ambil nafas panjang, namun anak-anak ini enggak. Mereka malah kayak lari gitu jalannya, kayak enggak kenal lelah, hehe.
Sekitar satu jam lebih jalan kaki, akhirnya kami sampai di pemukiman Baduy Dalam di Desa Cikeusik. Semua kamera HP pun off. Namun, emang ya enggak ada sinyal dan listrik sih di sana. Jadi ngapain juga dinyalain hehe.
Setelah membersihkan diri di sungai (iyaaa, enggak ada kamar mandi maupun toilet berjamban di desa ini), rombongan kami mengeksplor Desa Cikeusik sambal berbincang dengan warga sana dan anak-anak.
Trus, kira-kira selepas Maghrib, kami makan bersama tuan rumah. Alat masaknya juga masih sederhana sekali. Enggak pakai kompor tetapi tungku tradisional gitu. Masakannya juga lauk-pauknya sederhana ya. Meski demikian, rasa makanannya tuh enak sekali.
Setelah itu adalah acara bebas. Cuma ya bingung mau ngapain lha wong gelap. Akhirnya, yawda ngobrol aja gitu, cerita-cerita sepanjang malam. Trus, kalau “kebelet” ya nyari temen buat pipis bareng ke sungai, wkwkwk. Untungnya sih masih boleh bawa senter ya waktu itu.
Setelah semua capek, kami pun tidur. Yang ngeselin adalah tiba-tiba ada ayam berkokok. Pas ngecek jam, tahu enggak sih jam berapa? Ternyataaa, baru jam 2 pagi saudara-saudara. Mana tuh ayam mulutnya enggak bisa berhenti haha. Lamaaaa banget dia teriak-teriak, sampai akhirnya saya dan beberapa teman ketiduran lagi.
Esok harinya, kami bangun pagi-pagi sekali. Selepas sholat Subuh, hari masih gelap, kami dipandu menuju bukit di mana kami bisa sunsetan.
Wuaaahh, happy banget rasanya. No sinyal, detox internet, melihat matahari pagi di hari yang masih berkabut. Benar-benar sebuah kenikmatan 😀 . Di bukit ini kami lumayan lama, mungkin 1,5- 2 jam sampai matahari agak tinggi. Kami berfoto-foto di sini, mengabadikan kenangan, baru kemudian turun lagi ke perumahan Baduy Dalam.
Setelah itu, kami pun membersihkan diri. Inilah pertama kalinya saya mandi di sungai yang yaaa waktu itu enggak jernih-jernih amat, karena sedang musim hujan, sehingga airnya keruh kecoklatan. Namun, mau enggak mau, ya harus sikat gigi di situ, pipis di situ, mandi di situ.
Kalau malam, mungkin saya tinggal sembunyi saja ya di balik bebatuan. Nah, kalau terang nih susah. Akhirnya seorang teman memberi saran mandinya di balik jas hujan saja. Jadilah saya telanjang dalam jas hujan buat mandi 😛 .
Trus, mandinya tuh enggak boleh pakai sabun, shampoo, pasta gigi berbahan kimia ya. Mbak Yoga memberi kami alternatif pakai buah, Namanya buah klerek. Buah ini kalau digosokkan akan muncul kayak busa gitu, bisa dipakai buat mandi, mencuci baju, mencuci piring dll. Namun, ramah lingkungan. Soalnya, eman-eman kalau sampai sungai orang Baduy Dalam tercemar limbah kimia.
Setelah mandi, kami diajak warga lokal sarapan lagi. Trus, sambal menunggu agak siang, kami juga menyempatkan berkeliling perkampungan sebentar lagi.
Sekitar pukul 10-an, kami berjalan kaki lagi menuju arah Cijahe. Sampai Cijahe, ternyata sudah ada angkutan umum yang menunggu kami dan siap membawa kami ke daerah Baduy lain. Namanya Ciboleger.
Katanya sih di sinilah tempat orang Baduy Luar tinggal. Di sini ada pasar di mana kami bisa membeli oleh-oleh kerajinan tangan orang Baduy seperti tenun dan minuman madu.
Agak lebih siang lagi, rombongan kami pun menaiki mobil angkutan yang sama menuju Stasiun Rangkas. Akhirnya pulang deh ke arah Jakarta.
Sungguh benar-benar salah satu trip yang berkesan kala itu dan masih teringat di benak saya akan kesederhanaan Suku Baduy Dalam. Semoga saja adat-istiadat suku ini masih lestari hingga bertahun-tahun mendatang. Pengen banget deh ke sana lagi mengajak anak-anak 😀 .
April Hamsa
Comments