Wakaf. Seorang muslim pasti enggak asing dengan salah satu dari empat pilar filantropi Islam ini (zakat, infak, sedekah, dan wakaf). Namun, kalau dibandingkan dengan zakat, infak, dan sedekah, memang sepertinya wakaf kalah populer ya teman-teman? Pasalnya, wakaf seringkali dikaitkan dengan mendermakan tanah atau bangunan. Lha, kalau enggak punya tanah atau bangunan berlebih enggak bisa wakaf donk? Padahal, sesungguhnya, untuk berwakaf, kita enggak perlu menunggu harus punya semua itu. Ternyata, kita juga bisa berwakaf dengan harta benda lainnya. Bahkan, wakaf dengan polis asuransi syariah yang kita miliki pun bisa lho.

Wakaf dengan polis asuransi syariah? Maksudnya bagaimana ya?” Ada yang ingin tahu? Nanti saya jelaskan yaaa… Namun, sebelumnya, saya mau sharing informasi tentang wakaf yang saya dapatkan ketika mengikuti workshop tentang wakaf yang diselenggarakan oleh Prudential Indonesia (Prudential) di Prudential Tower pada tanggal 28 Januari kemarin.

Suasana workshop tentang wakaf yang diselenggarakan oleh Prudential. Foto: Adriana Dian.

Dalam kesempatan itu, Prudential mengundang beberapa blogger untuk mendapatkan edukasi mengenai wakaf. Hal tersebut sebagai bagian dari komitmen Prudential yakni “We Do Good”, yang salah satunya dengan memberi edukasi tentang pengelolaan keuangan, dimana keempat filantropi Islam juga termasuk di dalamnya.

Narasumber yang memberi kami pelatihan tentang wakaf pada hari itu adalah Dosen Hukum Bisnis Syariah di Fakultas Shariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayahtllah Jakarta, Ah. Azharuddin Lathif (Bapak Azhar). FYI, saat ini Bapak Azhar juga aktif di Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI).

Penjelasan tentang wakaf

Bapak Azhar memulai presentasinya dengan menunjukkan firman Allah yang berbunyi:

Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) Negeri Akhirot, dan janganlah lupakan bagianmu dari dunia.” (QS AL Qosos 77).

Maksudnya adalah ketika kita mengejar pahala akhirat, jangan melupakan kebutuhan yang ada di dunia. Misalnya, ketika kita menyedekahkan atau mewakafkan harta kita, jangan sampai membuat keluarga kita terlantar. Kalau keluarga kita sudah terjamin, maka baru kita pikirkan untuk mendermakan harta kita. Salah satunya adalah dengan berwakaf.

Sebenarnya, wakaf itu apa sih? Bapak Azhar memberikan dua pengertian wakaf menurut dua pandangan ulama, yakni:

  • Menurut Ulama Hanafiyah: Wakaf adalah menahan benda yang statusnya tetepa milik si Wakif (orang yang mewakafkan) dan yang disedekahkan adalah manfaatnya saja. Contohnya, kita mewakafkan bangunan, namun status bangunan itu tetap milik kita. Selama bangunan itu dipakai buat kebaikan, maka pahalanya akan terus mengalir kepada kita.
  • Menurut Ulama Syafi’iyyah: Wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang itu lepas dari penguasaan Si Wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama. Misalnya, kita punya tanah, kemudian kita melepas hak kepemilikan kita atas tanah itu dan diberikan ke yayasan sosial untuk dijadikan sekolah atau masjid.

Biasanya, wakaf itu dipakai untuk kepentingan sosial dan keagamaan, seperti penyediaan sarana dan kegiatan pendidikan, kesehatan, peningkatan ekonomi umat, pemberian bantuan kepada fakir miskin dan anak yatim piatu, dan untuk kesejahteraan umum lainnya yang sesuai dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.

Bapak Ah. Azharuddin Lathif saat menjelaskan tentang wakaf di hadapan peserta workshop.

Wakaf akan menjadi sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun dan syarat wakaf antara lain:

  • Ada Wakif (orang yang mewakafkan)

Syarat Wakif adalah: merdeka, berakal sehat/ sempurna, baligh, tidak berada di bawah pegampunan.

  • Maukuf (harta yang diwakafkan)

Syaratnya: benda tersebut harus bernilai/ berguna, bisa berupa benda tetap atau benda bergerak,benda harus diketahui saat akad, benda menjadi milik sempurna Wakif.

  • Maukuf’alaih (tujuan wakaf)

Syarat: dinyatakan secara tegas ketika akad dan untuk tujuan ibadah.

  • Shigat (pernyataan Wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan harta bendanya)

Syarat: munjazah (seketika/ selesai), tidak disertai syarat batil, dan tidak dibatasi waktu. Catatan: Ulama Malikiyah tidak sepakat dengan hal tersebut.

Sedangkan jenis wakaf itu ada dua, yakni:

  • Wakaf Dzurri: Wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik keluarga Si Wakif atau bukan. Misalnya, seperti adat harta pusako di kalangan Orang Minang.
  • Wakaf Khairi: Wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama atau kemasyarakatan. Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim, dll.

Kemudian harta benda yang bisa dijadikan wakaf, antara lain:

  • Benda tidak bergerak

Benda tidak bergerak yang bisa kita wakafkan, meliputi:

  1. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
  2. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah.
  3. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.
  4. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketntuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  5. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Benda bergerak

Benda bergerak ini adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, yakni meliputi:

  1. Uang.
  2. Logam mulia.
  3. Surat berharga.
  4. Kendaraan.
  5. Hak atas kekayaan intelektual.
  6. Hak sewa.
  7. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Wakaf mengekalkan harta dan mengalirkan pahala

Wakaf itu banyak sekali manfaat serta pahalanya untuk orang yang berwakaf lho, teman-teman. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata:

Rasulullah bersabda: Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah pahal perbuatannya, kecuali tiga perkara: Sadaqah jariyah, ilmu yang diambil mafaatknya atau anak sholah yang berdoa untuknya.” (HR Muslim).

Pahala wakaf enggak hanya akan kita dapatkan pada saat di dunia saja, melainkan sampai kita meninggal nanti, selama harta benda yang kita wakafkan dimanfaatkan untuk kepentingan kebaikan. Bahkan, semakin banyak yang memanfaatkannya, pahala kita akan makin bertambah.

Berikut adalah berapa contoh wakaf yang ada sejak zaman dahulu hingga sekarang:

Rekening Ustman Bin Affan

Ustman Bin Affan adalah sahabat sekaligus menantu Nabi yang terkenal sebagai saudagar yang kaya raya. 15 abad yang lalu beliau mewakafkan harta bendanya, juga tanah-tanahnya. Hingga sekarang, di tanah yang diwakafkan oleh beliau dibangun hotel bintang 5 di Madinah dengan pendapatan pertahun mencapai Rp. 150 Milyar Pendapatan itu kemudian dipakai untuk kepentingan umat. Bisa dibayangkan, walau telah berabad-abad beliau meninggal, tapi pahala untuk beliau terus mengalir bukan?

Zam-zam Tower

Teman-teman yang pernah umroh atau haji pasti enggak asing dengan Zam-zam Tower. Zam-zam Tower ini berdiri di atas lahan wakaf Raja-raja Saudi terdahulu. Saat ini, Zam-zam Tower menjadi pusat komersial dan perhotelan besar di Makkah. Sejumlah keuntungan pengelolaannya digunakan untuk kepentingan Masjid Dua Tanah Suci.

Wakaf Al Azhar di Mesir

Siapa yang punya teman atau saudara yang kuliah di Al Azhar? Nah, semua biaya pendidikan di sana gratis dari pemanfaatan wakaf yang diberikan oleh Khalifah al-Aziz Nazzar yang wafat pada tahun 996 Masehi ini. Bayangkan, betapa manfaat dan ilmu yang didapat karena belajar di sana terus-menerus tak putus-putus diajarkan oleh setiap generasi dari para alumninya. Betapa banyak pahala yang mengalir kepada Khalifah al-Aziz Nazzar ini.

Sedangkan di Indonesia sendiri juga ada beberapa contoh wakaf yang juga hingga saat ini dimanfaatkan terus-menerus dan mengalirkan pahala untuk para Wakif-nya, yakni antara lain:

  • Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Semarang.
  • Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar.
  • Yayasan Badan Wakaf UII.
  • Yayasan Dompet Dhuafa.
  • Wakaf Pesantren-pesantren lainnya di Indonesia.

Karena itulah biasanya biaya di pesantren itu lebih murah kalau dibandingkan sekolah-sekolah konvensional. Karena dananya disubsidi dari dana wakaf yang dikelola yayasan-yayasan ini,” terang Bapak Azhar.

Jadi, sekarang jelas ya teman-teman, bahwa wakaf itu akan membawa kebaikan baik di dunia maupun di akhirat buat kita. Trus, harta yang bisa diwakafkan bukan hanya harta tidak bergerak atau berupa tanah atau bangunan saja? Bisa harta benda yang lain, yakni benda bergerak, asalkan syarat dan rukunnya terpenuhi. Plus, tentu saja keluarga yang ditinggalkan oleh orang berwakaf ikhlas harta tersebut digunakan untuk kepentingan umat/ sosial.

Berasuransi syariah sekaligus berwakaf

Nah, sekarang kembali ke pertanyaan di atas ya, “Bisakah berwakaf dengan polis asuransi syariah yang kita miliki?” Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mungkin pertanyaan yang sebelumnya muncul adalah, “Bolehkah berasuransi dalam Islam?”

Bapak Azhar menjelaskan bahwa boleh berasuransi, sebab itu adalah bagian dari ikhtiar kita memproteksi diri dan keluarga. Sehingga, boleh saja kita memiliki/ membeli asuransi melalui suatu perusahaan. Saran dari Bapak Azhar yang terbaik adalah asuransi syariah.

Asuransi syariah, filosofinya adalah tolong-menolong. Kita bayar premi itu untuk dikumpulkan sebagai milik peserta, bukan milik perusahaan. Pertanyaannya perusahaan dapat hasil enggak? Nah, premi yang kita bayarkan boleh kok sebagian untuk perusahaan karena dia yang mengelola dana kita,” kata Bapak Azhar.

Bapak Azhar kemudian mengatakan bahwa kita harus benar-benar memastikan bahwa asuransi yang kita miliki, yang punya fitur wakaf tersebut adalah benar-benar asuransi syariah. Berikut adalah parameter kesyariahan asuransi:


Supaya lebih jelas lagi, berikut adalah perbedaan asuransi konvensional dan asuransi syariah:


Sedangkan, pertanyaan tentang wakaf dengan asuransi syariah tadi, jawabannya terdapat pada Fatwa MUI No. 106/ DSN-MUI/ X/ 2016. Teman-teman bisa gugling sendiri untuk lebih lengkapnya ya? Kesimpulannya sih dalam Fatwa tersebut MUI membolehkan kita berwakaf dengan polis asuransi syariah yang kita miliki.

Namun, MUI membatasi bahwa cuma 45% saja dari asuransi syariah yang bisa kita wakafkan. Sedangkan, 55%-nya masih harus berupa asuransi yang kita miliki. Jadi, ya enggak semua dijadikan dana wakaf ya? Kecuali, apabila saat terjadi klaim, ternyata keluarga kita mengikhlaskan bahwa polis asuransi syariah tersebut semuanya boleh diwakafkan ya enggak apa-apa. Malah pahalanya akan semakin besar untuk kita sebagai Wakif.

Nah, bagaimana teman-teman? Semoga makin jelas ya mengenai wakaf ini? Saya harap teman-teman juga bisa memahami tentang berasuransi sambil berwakaf yang saya share melalui artikel ini.

Corporate Communication and Sharia Director Prudential, Ibu Nini Sumohandoyo.

BTW, FYI, dalam kesempatan itu Corporate Communication and Sharia Director Prudential, Ibu Nini Sumohandoyo mengatakan bahwa dalam waktu dekat, Prudential Indonesia akan melaunching produk asuransi syariah dengan fitur wakaf. Nanti, kalau sudah launching akan saya update lagi tentang produk tersebut ya teman-teman. Barangkali bisa menjadi pertimbangan untuk teman-teman yang memiliki keinginan untuk berwakaf 🙂 .

April Hamsa