Wapo Resto (Wapo), rumah makan yang satu ini enggak asing bagi mereka yang (pernah) berkuliah di Universitas Airlangga (Unair), khususnya Kampus B. Soalnya, lokasi Wapo Resto ini tepat di seberang Kampus B Unair.

Sebenarnya saya enggak tahu pasti kenapa dinamakan Wapo. Namun, ada yang bilang karena lokasinya ada di pojok di pertigaan dekat Unair Kampus B, maka sering disebut Warung Pojok, sehingga disingkat sebagai Wapo.

Meskipun “warung” namun bangunannya cukup wah. Terdiri dari dua lantai, restoran ini sering menjadi jujugan dosen, pejabat kampus, mahasiswa berduit, makan di sana, Itulah sebabnya, zaman-zaman saya masih kuliah, makan di Wapo ini menjadi salah satu hal kemewahan. Soalnya waktu jadi mahasiswa kayaknya duitnya enggak cukup buat makan di sana, hehe.

Kalaupun ada kesempatan makan di Wapo, paling banter saya dan teman-teman memesan menu nasi gorengnya. Porsinya jumbo, sehingga satu piring bisa dibagi 4-5 orang. Yah, yang penting keliatan gaya bisa makan di Wapo, haha :p .

Waktu masih mahasiswa, beberapa kali saya bisa makan di sana karena ditraktir alumni organisasi yang saya ikuti. Rasanya seneng bener kalau makan di sana tuh 😀 . Naik tingkat lha dari yang biasanya makan di warung-warung proletar jadi makan di resto yang lumayan 😀 .

Ketika udah kerja, udah punya penghasilan sendiri, baru deh, bisa bayar makanan sendiri kalau ke Wapo haha. BTW, saat udah berpenghasilan sendiri, kalau ke Wapo saya biasa memesan menu lain.

Favorit saya dulu adalah sayur asem khas Jakarta. Yes, pertama kali kenal sayur asem yang disajikan di Jakarta tuh dari Wapo. Soalnya sayur asem Surabaya berbeda dengan sayur asem Jakarta. Kalau sayur asem khas Surabaya biasanya terdiri dari kangkung, kacang panjang, kecambah, krai, sedangkan sayur asem khas Jakarta biasanya ada mlinjo, kacang, labu siam, dll, gitu kan?

Setelah tinggal di Jakarta, kalau mudik, biasanya saya sempatkan bernostalgia kembali makan di Wapo. Seperti kemarin ketika saya terakhir kali mudik, saya mengajak suami, anak-anak, dan bapak saya makan di Wapo.

Ternyata, hari itu Wapo sedang ramai, full, karena ada acara wisuda. Yes, Wapo juga menjadi jujugan keluarga mahasiswa yang diwisuda untuk mampir makan. Apalagi, kalau orang tuanya dulu mahasiswa Unair juga, pasti mampir ke sini buat nostalgia.

Untunglah kami masih mendapatkan tempat duduk, walaupun di lantai atas. Yes, jadi Wapo ini terdiri dari 2 lantai. Restorannya cukup luas dan menampung banyak pengunjung. Kami masih kebagian meja yang gede banget yang sebenarnya bisa buat 8 orang.

Begitu kami duduk, mbak-mbak pelayan langsung menyodori menu. Senengnya di Wapo tuh list menu yang diberikan sudah lengkap dengan daftar harganya. Jadi, kami enggak banyak nanya-nanya lagi.

Sebenarnya, terus terang harga di Wapo tuh cukup standar ya bagi mereka yang udah berpenghasilan sendiri. Namun, entah mengapa waktu saya masih mahasiswa, kok rasanya mihil gituuu. Maklum, waktu itu masih kismin, belum bisa nyari duit sendiri wkwkwk :p .

Okey, akhirnya kami memesan beberapa menu, yakni satu porsi Koloke, satu porsi Mie Goreng, satu Porsi Nasi Goreng khas Wapo, dua porsi nasi putih, dua Es Jeruk, satu Es Soda gembira, dan satu Es Milkshake Chocolate. Tadinya mau memesan sayur, ternyata kehabisan. Kayaknya sejak pagi memang ramai sekali pengunjungnya.

Saya coba mengecek menu sayur asem khas Jakarta yang saya suka, eh, malah ternyata sudah dihapus dari daftar menu. Apa mungkin pelanggan Wapo kurang begitu menyukainya atau gimana ya?

Senengnya makan di lantai dua ini, anginnya mayan enak dan enggak panas. Namun, kekurangannya kalau ada yang merokok agak enggak nyaman. Untungnya, saat saya ke sana sama keluarga, enggak ada perokok. Soalnya rata-rata tamu wisudaan yang membawa keluarga kan?

Di Wapo ini, fasilitas toilet, wastafel buat cuci tangan, serta mushola tersedia. Cuma, musholanya tuh berada di bawah dan beda gedung. Lokasinya ada di belakang resto.

Kalau saya sih dulu lebih suka menumpang sholat di Masjid milik kantor BKKBN yang lokasinya persis di sebelah Wapo. Kalau enggak gitu, sekalian menyeberang ke masjid Kampus B Unair. Itulah sebabnya Wapo ini juga sering menjadi jujugan untuk acara buka puasa bareng kalau Ramadan kayak sekarang.

Cuma saya kurang tahu ya, masjid BKKBN sekarang dibuka buat umum atau enggak ya? Soalnya kemarin kayaknya udah dipagerin gitu. Lebih amannya sih enak ke Masjid Unair raja. Jalan kaki paling 600 meteran saja.

Balik lagi ke menu yang saya pesan, ternyata porsi mie goreng dan nasi goreng Wapo masih sama banyaknya seperti dulu. Saya jadi merasa memesan nasi putihnya kebanyakan. Sebenarny aitu nasi putihnya buat anak-anak, khawatir mereka enggak mau makan nasi goreng. Eh, alhamdulillah pada suka.

Untuk semua makanan yang kami pesan, kami perlu merogoh kocek sebesar Rp. 283.000,-00 sudah termasuk pajak. Cukup murah kan buat makan berlima? (Bisa ngomong gini karena statusnya bukan mahasiswa lagi hahaha).

Itulah cerita saya dan keluarga nostalgia makan di Wapo Resto seberang Kampus B Unair. Kamu yang alumi Unair juga, punya kenangan apa di Wapo Resto? 😀

April Hamsa

Categorized in: