Kaget nggak sih kalau mendengar bahwa di Indonesia, negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi (kekayaan alam berlimpah) ini, masih banyak orang kekurangan gizi? Sebenarnya mau tidak percaya, tetapi sayangnya hal tersebut bukan hoax, melainkan benar adanya. Laporan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) menyatakan bahwa angka nasional prevalensi stunting tahun 2023 adalah sebesar 21,5 persen, yang artinya hanya turun 0,1 persen jika dibandingkan tahun 2022 yakni sebesar 21,6 persen. Huwaaa, miris banget kan? FYI, saya  mengetahui fakta tersebut ketika menghadiri media workshop yang membahas tentang cara mencegah malnutrisi dalam rangka Pekan Sadar Nutrisi atau Malnutrition Awareness Week yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Nutrisi Indonesia (INA) dan didukung oleh Nutricia Sarihusada pada tanggal 17 September 2024 lalu di Restoran Paloma, Menteng, Jakarta Pusat. 

Malnutrition Awareness Week

Media workshop dalam rangka Malnutrition Awareness Week 2024.

Fakta Malnutrisi di Indonesia

Malnutrisi memang masih menjadi salah satu masalah yang signifikan di Indonesia. Laporan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Kementerian Kesehatan RI, angka nasional prevalensi stunting tahun 2023 sebesar 21,5 persen, yang artinya hanya turun 0,1 persen jika dibandingkan tahun 2022 yakni sebesar 21,6 persen. Selain itu, berdasarkan laporan Food and Agriculture Organization (FAO) kasus malnutrisi di Indonesia masih tergolong tinggi yaitu menduduki peringkat ketiga di Asia Tenggara. 

Ada beberapa faktor penyebab malnutrisi, yakni antara lain:

Faktor kemiskinan

Kemiskinan menyebabkan keterbatasan finansial, sehingga kesulitan mendapatkan makanan yang bernutrisi. Keterbatasan finansial juga membuat masyarakat tidak bisa mendapatkan pendidikan, sehingga tidak memperoleh pengetahuan tentang gizi. Selain itu, faktor kemiskinan juga membuat masyarakat kesulitan memperoleh akses layanan kesehatan yang terbaik.

Kurangnya akses dalam memperoleh makanan bergizi

Sebenarnya hal ini masih terkait dengan faktor kemiskinan di atas. Namun, ada pula masyarakat yang sebenarnya bisa mengakses makanan bergizi, tetapi mengalami kesulitan mengkonsumsi makanan ini karena mungkin sejak kecil picky eater, menderita penyakit sehingga susah mencerna makanan, dll.

Angka kasus malnutrisi di Indonesia masih sangat tinggi.

Rendahnya pengetahuan tentang gizi

Masih banyak masyarakat yang kurang memiliki pengetahuan tentang pemberian makanan bergizi untuk keluarga mereka. Kemungkinan karena memang pemahamannya kurang, karena sudah turun-temurun orang tua mereka juga sebelumnya tidak paham tentang gizi. Selain itu, gaya hidup zaman sekarang yang serba instan juga sedikit banyak mempengaruhi kebiasaan mengkonsumsi makanan berlemak atau junk food, makanan ultra porses, minuman bergula tinggi, dll.

Ketidakmerataan layanan kesehatan

Khususnya di daerah-daerah terpencil, masih kekurangan layanan kesehatan, seperti klinik, rumah sakit, hingga tenaga kesehatan, sehingga masyarakat tidak teredukasi tentang malnutrisi. Apabila sudah mengalami malnutrisi, juga tidak bisa mendapatkan perawatan karena mungkin di lokasi tersebut tidak ada dokter yang menangani maupun fasilitas medis yang memadai.

Masih banyak lagi faktor yang membuat masih banyak rakyat Indonesia mengalami malnutrisi. Parahnya lagi, malnutrisi ini banyak terjadi di kalangan ibu hamil dan anak-anak. Padahal, Indonesia memiliki visi Indonesia Emas 2045. Bagaimana bisa terwujud kalau kondisinya masih seperti sekarang ini, ya, kan?

Malnutrisi bukan tentang kesehatan semata, melainkan masalah yang lebih komplek.

Kalau ditelisik, sebenarnya malnutrisi ini bukan hanya terkait masalah kesehatan semata, melainkan problem lain yang lebih komplek. Tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah saja untuk mengatasi malnutrisi ini, butuh perhatian dan kolaborasi dari banyak pihak.

Salah satu organisasi di Indonesia yang menaruh concern terhadap masalah malnutrisi ini adalah Indonesian Nutrition Association (INA). Selama ini, INA aktif dengan banyak kegiatan memerangi malnutrisi dengan cara edukasi maupun sosialisasi kepada masyarakat. INA juga menjadi salah satu duta kegiatan Malnutrition Awareness Week yang tahun ini berlangsung pada tanggal 16-20 September 2024. FYI, Malnutrition Awareness Week merupakan annual campaign yang diselenggarakan oleh American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN) sejak 2017.  

Salah satu kegiatan edukasi dan sosialisasi tentang pencegahan malnutrisi yang dilakukan tahun ini adalah menggelar media workshop dengan tema “Wujudkan Indonesia Sehat dengan Cegah Malnutrisi Sedari Dini”. Media workshop ini juga didukung oleh Nutricia Sarihusada, sebuah perusahaan makanan dan minuman global yang bergerak di bidang nutrisi.

Media workshop Malnutrition Awareness Week 2024

Media workshop yang dipandu oleh Dr. Lula Kamal tersebut menghadirkan narasumber:

  • Dr. dr. Luciana B. Sutanto, MS, SpGK (K) (dr. Luciana), Presiden Indonesian Nutrition (INA)
  • Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB (Prof. Ari), Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 
  • Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH (dr. Ray), Medical & Scientific Affairs Director Nutricia Sarihusada.

Dr. Lula Kamal.

Dalam kesempatan tersebut, dr. Luciana menjelaskan mengapa sih setiap tahunnya selalu ada Malnutrition Awareness Week. Tujuan campaign ini adalah sebagai upaya buat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak malnutrisi serta memperkenalkan strategi pencegahan dan intervensi yang efektif.

Beberapa intervensi yang biasanya dilakukan antara lain dengan melakukan kegiatan berikut:

  • Edukasi: Dengan cara menyediakan informasi yang mudah dipahami tentang kebutuhan gizi pada berbagai tahap kehidupan. Selain itu, upaya edukasi yang dilakukan adalah memperkenalkan masyarakat pada  asupan gizi yang seimbang agar terhindar dari malnutrisi.
  • Advokasi: Aktif mendorong perubahan perilaku melalui informasi yang akurat dan berbasis bukti. Selain itu juga berupaya menyediakan sumber daya untuk membantu keluarga mengimplementasikan pola makan sehat.

Dr. Luciana mengatakan bahwa malnutrisi ini bukan hanya terkait memburuknya kondisi kesehatan seseorang, melainkan juga membawa dampak ekonomi keluarga pasien.

Dr. dr. Luciana B. Sutanto, MS, SpGK (K).

“Malnutrisi, jika tidak dikenali dan diobati, dapat memperburuk kondisi kesehatan individu, terutama mereka yang berisiko seperti orang tua, penderita penyakit kronis, dan pasien dengan infeksi. Malnutrisi bukan hanya berdampak pada kesehatan fisik dan meningkatkan risiko kematian, tetapi juga memiliki konsekuensi ekonomi yang signifikan, seperti peningkatan biaya rawat inap dan rehabilitasi,” kata dr. Luciana.

Contoh flyer kegiatan INA untuk kampanye mencegah malnutrisi.

Prof. Ari juga memiliki pendapat yang kurang lebih sama dengan dr. Luciana, bahwa yang namanya malnutrisi bukan hanya terjadi karena gizinya buruk, tetapi di belakangnya ada faktor-faktor lain. Prof. Ari kemudian menjelaskan bahwa sebagai tenaga medis dan akademisi tentu saja tidak bisa tinggal diam mengetahui masalah malnutrisi di Indonesia yang masih sangat tinggi angkanya.

Menurut Prof. Ari, zaman sekarang, gaya hidup seseorang memegang peran cukup banyak dalam menyebabkan seseorang mengalami malnutrisi. Sebut saja diet sembarangan tanpa panduan dalam upaya memperoleh berat badan ideal. Banyak orang sering mengurangi makan makanan tertentu, padahal sebenarnya asupan makanan tersebut masih dibutuhkan untuk membentuk energi dalam tubuhnya.

Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB.

Contohnya saat seseorang melakukan diet dengan skip konsumsi karbohidrat dan memperbanyak konsumsi lemak. Akibatnya, berat badannya memang turun, tetapi penyakit jantung bisa mengintai sewaktu-waktu.

Prof. Ari mewanti-wanti supaya masyarakat melakukan diet dengan benar. Bila perlu dengan panduan dan berkonsultasi dengan dokter. Soalnya apabila salah diet, maka yang terjadi tidak hanya malnutrisi melainkan ada risiko terkena penyakit lain.

“Pengertian Malnutrisi menurut WHO adalah kekurangan, kelebihan, atau ketidakseimbangan dalam asupan energi maupun nutrisi seseorang. Malnutrisi dapat menyebabkan berbagai gangguan biologi pada orang yang mengalami malnutrisi. Malnutrisi sering kali terjadi underdiagnosis, sehingga penanganan menjadi terlambat dan ini berdampak pada kegagalan dalam proses penyembuhan dan berujung pada peningkatan morbiditas dan kematian,” jelas Prof. Ari.

Lalu, sebagai akademisi, Prof. Ari mengatakan bahwa dari pihaknya pun selama ini aktif melakukan beberapa advokasi, antara lain:

  • Bersama Kementerian Kesehatan aktif melakukan kampanye gizi dan membuat program-program gizi langsung ke masyarakat.
  • Mendorong Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM) dan Badan Gizi Nasional agar benar-benar bisa mengawasi pangan berkualitas baik sampai ke masyarakat.
  • Bersama Kementerian Sosial agar memastikan pemberian bantuan pangan untuk masyarakat yang kurang mampu mengakses makanan.

Masih banyak lagi aktivitas akademisi yang dilakukan dalam mendorong edukasi maupun sosialisasi pencegahan malnutrisi ke masyarakat.

Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH.

Tak ketinggalan, sektor swasta pun bisa membantu mengatasi masalah malnutrisi yang terjadi di negara ini. Nutricia Sarihusada salah satunya yang sudah lama menyediakan nutrisi untuk masyarakat dan melakukan edukasi tentang pentingnya pencegahan malnutrisi.

“Untuk menghadapi permasalahan ini diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak. Kolaborasi yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, organisasi non-profit, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pencegahan malnutrisi. Nutricia Sarihusada, sebagai perusahaan yang fokus pada nutrisi, berkomitmen untuk terus berkontribusi melalui berbagai produk nutrisi, riset dan inisiatif sosial guna mencegah malnutrisi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia,” kata dr. Ray.

Dr. Ray juga menjelaskan bahwa malnutrisi ternyata membawa kerugian ekonomi negara. Sebagai contoh antara lain:

  • Biaya perawatan kesehatan untuk stunting (salah satu dampak dari malnutrisi), menurut Bappenas (2019) ternyata biaya medis per anak yang stunting diperkirakan sekitar Rp 6 juta per tahun. Biaya ini adalah 15-20% dari total biaya kesehatan anak-anak Indonesia.
  • Menurut estimasi Global Nutrition Report (2020), biaya akibat anemia yang dialami ibu hamil sebagai biaya medis tambahan saat perawatan bisa mencapai Rp 2- Rp 5 juta per kasus. 
  • Lalu, menurut UNICEF (2020) biaya perawatan rumah sakit untuk anak yang menderita diare akibat malnutrisi dapat mencapai Rp 2- Rp 4 juta per episode, sementara infeksi saluran pernafasan bisa menghabiskan biaya hingga Rp 5 juta per kasus.

Butuh kerjasama dari berbagai sektor untuk mencegah dan mengurangi malnutrisi di Indonesia.

Dengan berbagai contoh pembengkakan biaya kesehatan tersebut, bayangkan berapa total beban ekonomi negara untuk menanggung biaya perawatan yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan apabila tidak terjadi malnutrisi? Fakta yang mengejutkan lagi Total beban Ekonomi pada Sistem Kesehatan mencapai Rp 55 triliun per tahun. Sebuah angka yang sangat fantastis bukan?

Untuk itu, memang sudah semestinya masalah malnutrisi ini tidak cuma menjadi masalah pemerintah, melainkan membutuhkan kolaborasi dan peran aktif dari banyak pihak. Baik dari akademisi, sektor swasta, organisasi kesehatan, bahkan hingga peran aktif masyarakat.

Sebagai orang tua, khususnya ibu, juga bisa berperan dengan memastikan bahwa keluarga kita setiap hari sudah mengkonsumsi makanan yang bergizi baik. Kita juga bisa turut mengedukasi teman atau kerabat terdekat tentang betapa pentingnya mencegah malnutrisi. Dengan demikian, harapannya langkah nyata yang kita lakukan bisa mengurangi masalah malnutrisi di lingkungan sekitar yang terdekat dengan kita.

Kesimpulan:

Beberapa hal yang bisa saya simpulkan dari mengikuti media workshop terkait pencegahan malnutrisi kemarin, antara lain:

  • Malnutrition Awareness Week merupakan kampanye untuk mengingatkan masyarakat dunia, salah satunya di Indonesia, bahwa masalah malnutrisi masih belum terselesaikan dengan baik.
  • Angka malnutrisi di Indonesia masih sangat tinggi. Bahkan, sesuai hasil Laporan SKI Kemenkes RI, dari tahun 2022 ke 2023 hanya turun sebesar 0,1 persen.
  • Faktor utama penyebab malnutrisi antara lain karena faktor ekonomi atau kemiskinan, kurangnya akses dan pengetahuan akan gizi, dan layanan kesehatan yang tidak merata.
  • Butuh kolaborasi dari banyak pihak untuk mengatasi malnutrisi, tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah semata. 
  • Kegiatan yang bisa dilakukan untuk mencegah dan menekan angka malnutrisi adalah dengan edukasi, sosialisasi, hingga advokasi kepada masyarakat.
  • Semua entitas bisa melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, bahkan di kalangan masyarakat, bisa mengandalkan orang tua, khususnya ibu, untuk memastikan keluarganya sudah mendapatkan asupan makanan bergizi.

Nah, itulah beberapa catatan saya dari salah satu acara sosialisasi Malnutrition Awareness Week tahun ini. Semoga kita semua bisa mengambil peran sesuai kemampuan masing-masing dalam mencegah malnutrisi, dimulai dari lingkungan terdekat kita ya 😊 .

April Hamsa

Categorized in: