Bayangkan kita semua kembali ke sekitar 100 tahun lalu. Kali ini, kita berada di sebuah bangunan megah nan mewah, di mana kita melihat tuan-tuan dan noni-noni Belanda berlalu lalang dengan angkuhnya. Di sisi lain, kita pun tak kalah sibuk. Memikul tas-tas berat dan mencari-cari di mana kita harus menunggu, sebelum kereta yang akan membawa kita ke pusat kota Batavia datang. Petugas yang melihat kita kebingungan, bukannya membantu, malah menghardik kita supaya berjalan lebih cepat lagi. Ah, nasib, rakyat jelata. Mungkin, itulah gambaran Stasiun Tanjung Priok yang begitu riuh di masa lalu. Stasiun yang lokasinya tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priok ini memang menjadi salah satu saksi sejarah rasisme yang pernah terjadi di negeri ini.

Menjelajahi Stasiun Tanjung Priok.

Bagaimana tidak? Saat itu pengelola stasiun sampai memisahkan ruang tunggu untuk orang-orang pribumi dan Eropa (khususnya Belanda), karena orang Belanda enggan satu ruangan dengan pribumi. Ruangan untuk pribumi dibuat ala kadarnya, jauh berbeda dengan ruang tunggu orang Belanda yang dilengkapi dengan lounge bar dan restoran mewah.

Tur menjelajahi Stasiun Tanjung Priok bersama @wisatakreatifjakarta

Bagian depan stasiun.

Rabu, tanggal 8 Oktober 2025 lalu, saya berkesempatan melihat sendiri kedua ruang tunggu tersebut. Walau sudah 100 tahun berlalu, jejak keriuhan Stasiun Tanjung Priok yang kini difungsikan sebagai stasiun moda transportasi commuter line (KRL) Jabodetabek itu masih bisa terlihat. Memang, dibandingkan ruang tunggu buat orang Belanda, ruang tunggu untuk pribumi tampak sederhana. Kedua ruang tunggu tersebut sama-sama berada di bagian depan dari pintu masuk Stasiun Tanjung Priok saat ini. Ruang tunggu pribumi ada di sisi kiri, sedangkan ruang tunggu untuk orang Belanda di sebelah kanan.

Pintu masuk utama stasiun.

Meski demikian, kedua ruang tunggu tersebut sama-sama memiliki tembok yang tinggi dengan jendela dan lubang angin yang begitu banyak di setiap sisi. Bahkan, di bagian atap juga ada skylight atau jendela atapnya. Membuat semua ruangan tampak terang benderang, terutama saat siang hari.

Hall atau lobi utama stasiun.

Loket pembelian tiket kereta.

Oh ya, saya tidak sendiri menjelajahi ruangan-ruangan di Stasiun Tanjung Priok kala itu, melainkan berombongan dengan grup tur Wisata Kreatif Jakarta (@wisatakreatifjakarta) yang dipandu oleh Mbak Ira Lathief yang juga founder grup ini. Saya sendiri baru kali itu menjejakkan kaki di Stasiun Tanjung Priok.

Bagian samping bangunan stasiun.

Ada sekitar 20 orang lebih yang mengikuti tur ini. Selain, Stasiun Tanjung Priok, hari itu kami diajak mengunjungi Museum Maritim yang berada di Pelabuhan Tanjung Priok.

Gerbang yang kita jumpai sebelum masuk peron.

Yup, stasiun dan pelabuhan di area Tanjung Priok memang letaknya berdekatan. Bahkan, di era sekarang, lokasi terminal bus antar kota dan angkutan umum juga berada di area yang sama.

Pada masanya, Stasiun Tanjung Priok memang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mengintegrasikan aktivitas di pelabuhan dengan moda transportasi kereta. Keberadaan kereta ini membuat perjalanan menjadi lebih mudah dan cepat, jika dibandingkan dengan naik kereta kuda. Apalagi, kala itu wilayah Tanjung Priok adalah daerah yang banyak hutan dan rawa-rawa.

Bentuk atapnya mirip dengan atap Amsterdam Centraal Station di Belanda.

Jadi, kalau ada orang datang naik kapal, mereka bisa menuju ke pusat kota langsung pakai kereta dari stasiun tersebut. Begitu pula kalau mau ke arah sebaliknya, tinggal naik kereta dari pusat kota menuju pelabuhan. Barang-barang komoditas perdagangan yang akan masuk atau keluar Hindia Belanda kala itu pun bisa dengan mudah diangkut berkat jalur kereta.

Stasiun Tanjung Priok yang sekarang adalah bangunan generasi kedua

Namun, tahukah teman-teman bahwa bangunan Stasiun Tanjung Priok yang sekarang sebenarnya bukan stasiun pertama yang ada di sana? Sebenarnya, gedung stasiun akhir yang sering dipergunakan oleh anker (anak kereta) pink line ini adalah bangunan kedua yang didirikan untuk menggantikan stasiun sebelumnya.

Ceritanya, pada tahun 1883 Burgerlijke Openbare Werken (Dinas PU pada masanya) membangun stasiun kereta di area pelabuhan. Stasiun ini baru diresmikan pada 2 November 1885 berbarengan dengan pembukaan Pelabuhan Tanjung Priok. Tujuannya supaya memudahkan mobilitas penumpang kapal dan barang-barang.

Namun, lama-kelamaan, aktivitas di pelabuhan meningkat, sehingga stasiun tersebut terpaksa digusur. Sebagai gantinya, pada tahun 1914 atau pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal A.F.W Idenburd, perusahaan kereta api Hindia Belanda (Staats Spoowegen) mendirikan bangunan stasiun baru yang kita kenal sebagai Stasiun Tanjung Priok yang sekarang itu.

Ruang tunggu rakyat jelata.

Lokasi stasiun generasi kedua ini tak jauh dari stasiun lama. Hanya bergeser sedikit ke arah gudang pelabuhan. Arsitek pembangunan stasiun saat itu bernama C.W. Kooch. Waktu itu pembangunan stasiun membutuhkan 1700 tenaga kerja, yang mana 130 orang di antaranya adalah orang-orang Eropa. Stasiun baru ini mulai beroperasi pada tahun 1925.

Meskipun bukan stasiun pusat, tetapi Stasiun Tanjung Priok ini dibuat begitu megah. Bangunannya berdiri di atas tanah seluas 49.940 meter persegi dengan luas bangunan 3.768 meter persegi. Kebayang betapa luasnya stasiun ini kan?

Pintu masuk ke ruang tunggu orang Eropa/ Belanda.

Bangunannya dibuat bergaya art deco, yakni desain yang popular pada awal abad ke-20 yang mencirikan bentuk-bentuk geometris dengan gaya glamor dan mewah, serta menggunakan material berkualitas tinggi. Dindingnya dicat dengan warna putih semua sehingga makin menampilkan kesan megah dan berkelas.

Atap stasiun yang berada di bagian peron dibuat mirip dengan Amsterdam Centraal Station yang ada di Belanda sana. Bentuknya melengkung, memanjang mirip terowongan, dengan susunan rangka baja yang saling terhubung. Perusahaan yang membuat struktur rangka baja tersebut adalah perusahaan mesin dan pengecoran logam yang berlokasi di Surabaya, yang bernama Machinefabriek Braat.

Ada hotel di Stasiun Tanjung Priok

Bukan sekadar stasiun, dahulu stasiun ini juga menyediakan kamar hotel atau penginapan di lantai 2 stasiun. Penginapan ini khusus buat tamu dari Eropa yang hendak menunggu keberangkatan kapal di pelabuhan.

Selain penginapan, seperti yang saya sebutkan tadi, ada restoran dan lounge buat orang-orang Eropa. Bahkan, ada pula semacam ballroom yang zaman itu difungsikan sebagai ruang dansa.

Ruang tunggu sekaligus restoran/ lounge.

Saat saya dan rombongan tur ke sana, ruang dansa dan restoran tengah direnovasi. Entah, nantinya akan difungsikan sebagai apa. Kalau dalam kepala saya sih yang terbayang adalah ruangan-ruangan tersebut kayaknya asyik ya andai difungsikan lagi sebagai restoran bergaya Eropa vintage dan dibuka untuk umum, gitu? Hehehe, imajinasi saya aja, sih, ini.

Lalu, soal kamar-kamar penginapan, sayangnya kami tidak berkesempatan melihatnya. Namun, katanya sih kamar-kamar di lantai 2 tersebut tak lagi difungsinya.

Ruang karyawan pada masa itu.

Saya juga baru ngeh kalau Stasiun Tanjung Priok ternyata ada lantai duanya, ketika melihat anak tangga di salah satu ruangannya. Entah itu tangga menuju ke hotel atau bukan. Kayaknya, sekarang ada ruangan yang difungsikan sebagai kantor kali ya? Soalnya waktu itu saya melihat ada petugas KRL yang turun dari tangga itu.

Naik ke atas atap dan turun ke bunker Stasiun Tanjung Priok

Meski tidak bisa menaiki tangga tersebut, tetapi saya dan rombongan diberi kesempatan menyusuri tangga lain. Lokasi tangga ini cukup tersembunyi, seperti masuk ke dalam ruangan kecil dengan pintu dan jendela mungil, gitu. Untuk menuju tangga ini, kami melewati ruang tunggu orang Belanda dan restoran. Masih tersisa meja bar dengan cat hitam yang terbuat dari kayu solid (nggak tahu jenis kayunya). Amaze aja, karena meja kayu tersebut masih awet hingga sekarang.

Dapur di lantai atas.

Lift barang.

Kembali ke tangga tersembunyi, tangga ini bentuknya melingkar dan harus bergantian saat melewatinya, karena anak tangganya sempit dan curam. Lalu, rupanya, selain terhubung dengan atap, tangga ini juga menuju ke ruang dapur dan ruang pegawai. Di ruang yang katanya dulu ada dapur masih ada cerobong asap besar yang bisa kita jumpai di rumah-rumah orang Eropa zaman dulu. Lalu, ada pula semacam lift katrol untuk mengirim barang atau makanan ke lantai bawah.

Tangga menuju ke dapur dan atap dari restoran.

Pintu keluar setelah naik tangga.

Bagian atap stasiun.

Sampai di atap, ternyata ujung anak tangga tersebut dinaungi oleh genteng dan dinding berjendela. Dari atap, kami bisa melihat ke arah pelabuhan yang memang tampak begitu dekat.

Pemandangan dari atap stasiun.

Berfoto bersama peserta tur di atap stasiun.

Puas berada di atap, rombongan kami kemudian turun ke lantai bawah. Ternyata persis di samping pintu yang ada tangga tadi, ada tangga lagi yang kali ini menuju ke bawah. Rupanya, ada bunker. Sayangnya, kami tidak bisa turun ke bunker, karena bunkernya tergenang air yang aromanya tak enak, seperti bau air selokan. Sekilas, saya bisa melihat ada jendela kecil di ujung sana, karena ada cahaya masuk melewati sana.

Bunker.

Ada yang mengatakan kalau bunker tersebut dahulu adalah gudang persediaan. Ada pula yang mengatakan kalau sebenarnya masih ada bunker tersembunyi di stasiun, termasuk ada lorong atau terowongan yang menghubungkan stasiun dengan pelabuhan. Namun, sepertinya belum ada yang meneliti lebih lanjut tentang hal ini.

Di dekat tangga menuju pintu masuk bunker ternyata masih ada ruangan di belakang. Ruangan itu sepertinya dulu adalah toilet, karena terdapat beberapa bilik seperti kamar mandi di sana dan juga urinoir untuk pipis pria. Saat ini, toilet tersebut tidak difungsikan.

Toilet pria zaman dulu.

Toilet ini ternyata terhubung langsung dengan balkon yang ada di dekat halaman stasiun. Dari balkon ini kita bisa melihat dinding stasiun yang sangat tinggi dengan banyak jendela dan lubang angin.

Stasiun Tanjung Priok kini

Apakah ini tangga menuju ke kamar-kamar penginapan?

Kabarnya, stasiun ini sempat mangkrak selama bertahun-tahun lamanya. Lalu, pada tahun 2009 mulai diaktifkan kembali. Menurut Mbak Ira Lathief, dahulu stasiun ini melayani kereta api penumpang lokal ke kota-kota seperti Bandung dan Purwakarta. Namun, sekarang sepertinya sudah tidak bisa lagi, karena kami tidak melihat ada gerbong kereta api lokal di sana, hanya ada lokomotif keretanya saja yang terparkir. Kemudian, sejak tahun 2015, Stasiun Tanjung Priok mulai beroperasi sebagai stasiun KRL dan kereta api barang (peti kemas).

Petunjuk peron.

Penumpang KRL bisa naik dan turun di peron 1 dan 2, sedangkan kereta peti kemas berada di peron 3 dan 4. Jalur kereta api dari Stasiun Tanjung Priok adalah pink line dengan stasiun tujuan akhir Stasiun Jakarta Kota. Waktu keberangkatannya hanya 30 menit sekali, sehingga kalau mau naik kereta dari sini, harus rajin mengecek jadwal supaya tidak tertinggal kereta.

Kereta yang terparkir.

Peti kemas di stasiun.

Fasilitas yang disediakan di dalam stasiun adalah mushola, toilet, sedangkan tempat parkir ada di bagian luar gedung. Ada minimarket juga di luar gedung. Sepertinya saya tidak melihat ada tenant F&B atau restoran, sebagaimana yang ada di Stasiun Jakarta Kota. Entah, ada di luar gedung atau gimana. Tapi, saya berharap sekali, bangunan ruang tunggu yang direnovasi bisa difungsikan sebagai tenant-tenant makanan atau minuman, karena ngrasa kek sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan. Apalagi, biaya pemeliharaan gedung sebagus itu pastinya tidak murah.

Mushola.

Toilet.

Itulah teman-teman pengalaman saya menyaksikan jejak waktu di Stasiun Tanjung Priok. Kagum banget, bahkan setelah ratusa tahun berlalu, bangunannya masih berdiri kokoh. Tugas kita menjaga peninggalan sejarah ini dengan sebaik mungkin. Bisa dengan menjaga kebersihannya saat berada di stasiun ini atau sekadar menceritakan kembali tentang sejarah bangunan ini ke anak cucu kita.

Ada yang sudah pernah turun Stasiun Tanjung Priok juga? Bagaimana pendapatmu tentang stasiun ini?

April Hamsa

Sumber referensi tulisan:
-https://www.kompas.com/properti/read/2022/06/27/130000921/sejarah-stasiun-tanjung-priok-bangunan-cagar-budaya-berumur-100-tahun?page=all
-https://www.merdeka.com/jabar/sepenggal-cerita-stasiun-tanjung-priok-atapnya-mirip-stasiun-belanda-dan-pernah-terbengkalai-111198-mvk.html?page=4
-https://travel.detik.com/domestic-destination/d-4786543/masuk-ke-bunker-peninggalan-belanda-di-stasiun-tanjung-priok

Categorized in: