Teman-teman masih ingat nggak, beberapa waktu lalu angka kemiskinan di Indonesia menjadi trending topic di timeline media sosial, karena ada perbedaan data versi Badan Pusat Statistik (BPS) dengan World Bank? BPS bilang orang Indonesia yang miskin sebesar 23,85 juta, sedangkan World Bank mengatakan bahwa 171,8 juta penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Nah, lho, jadi mana data yang bisa kita percaya? Hmmm, pakai data manapun, sebenarnya ini hal aneh, karena dengan begitu melimpahnya kekayaan negara ini kok masih ada orang miskin di Indonesia? Menyoroti masalah tersebut Dompet Dhuafa berinisiatif menggelar Sarasehan Tokoh Bangsa bertajuk “Merajut Kebersamaan, Mewujudkan Merdeka dari Kemiskinan”. Acara tersebut diselenggarakan di Sasana Budaya Rumah Kita, Gedung Philantrophy, Jakarta Selatan pada hari Rabu, 13 Agustus 2025.

Dompet Dhuafa menginisiasi forum dialog antar tokoh bangsa.

Sarasehan Tokoh Bangsa yang juga diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-80 ini, menghadirkan beberapa tokoh bangsa antara lain:

  • Inisiator dan Ketua Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Bapak Parni Hadi.
  • Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) DR. KH. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc, MA.
  • Sekretaris Jendral Dewan Masjid Indonesia periode 2024-2029 DR. Rahmat Hidayat, SE, MT.
  • Ketua Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Bapak Ahmad Juwaini.
  • Aktivis dan Cendekiawan, Bapak Yudi Latif, MA, Ph.D.
  • Aktivis Hukum dan Demokrasi, Dr. H. Bambang Widjojanto, SH, MH.

Penampilan Srikandi Dompet Dhuafa.

Acara yang dimoderatori oleh wartawan senior Bapak Dede Apriadi ini dibuka dengan penampilan Srikandi Dompet Dhuafa yang memainkan alat tradisional angklung. Srikandi Dompet Dhuafa memainkan beberapa lagu nasional, antara lain Rayuan Pulau Kelapa, Hari Merdeka, Halo-Halo Bandung, dan Maju Tak Gentar. Wah, kalau sudah mendengar lagu-lagu nasional, rasanya jadi semangat berbuat sesuatu untuk negeri ini. Pernah merasa gitu juga, nggak?

Upaya bersama mengatasi kemiskinan

BTW, ngobrolin berbuat kebaikan, tak perlu diragukan lagi, orang Indonesia adalah juaranya. Charities Aid Foundation (CAF) pernah menetapkan Indonesia sebagai negara paling dermawan sedunia. Sayangnya, meski banyak yang dermawan tetap saja rakyatnya masih banyak yang miskin. Hal ini terlihat miris, bukan?

Nah, acara Sarasehan Tokoh Bangsa yang merupakan forum dialog ini ingin mencoba menyatukan komitmen para tokoh bangsa, akademisi, pelaku usaha, lembaga filantropi, serta masyarakat sipil dalam membantu mengentaskan kemiskinan. Sebab bagaimanapun, kemerdekaan negara belum diakui sebagai kemerdekaan sejati apabila masih ada rakyatnya yang belum bebas dari kemiskinan.

“Kita ingin mempertegas bahwa kemerdekaan sejati adalah saat seluruh rakyat terbebas dari belenggu kemiskinan. Melalui forum ini, kami berharap lahir dari komitmen bersama untuk mempercepat pengentasan kemiskinan secara sistemik dan berkelanjutan dan juga peran filantropi,” kata Ketua Yayasan Dompet Dhuafa Republika Bapak Ahmad Juwaini saat membuka acara.

Ketua Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Bapak Ahmad Juwaini.

Dalam kesempatan itu, Bapak Ahmad Juwaini mengingatkan bahwa dulu Indonesia terkenal dengan julukan Macan Asia di era 1990-an karena berhasil menurunkan kemiskinan secara drastis. Bahkan, kala itu World Bank menyejajarkan Indonesia dengan negara-negara lain seperti Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Singapura.

Namun, sayangnya, tak lama kemudian krisis moneter mendera Indonesia. Dampaknya sangat luas termasuk mempengaruhi ekonomi, akibatnya angka kemiskinan kembali menggelembung. Selanjutnya, memang sempat mengalami perbaikan, sampai kemudian pada tahun 2020 terjadi wabah Covid-19 yang membuat angka kemiskinan naik kembali.

Usai Covid-19, meskipun BPS menyatakan angka kemiskinan menurun (terakhir data Maret 2025), tetapi tetap saja angka tersebut masih besar. Belum lagi kalau dibandingkan dengan data World Bank yang dengan gamblang menunjukkan perbedaan angka. Intinya, penduduk miskin di Indonesia itu memang tidak sedikit.

Bapak Ahmad Juwaini mengatakan untuk mengatasi masalah kemiskinan ini dibutuhkan upaya bersama. Acara sarasehan tersebut diharapkan akan memunculkan gagasan, usulan yang strategis, bahkan bisa langsung berbentuk aksi yang bisa dilakukan untuk turut mengatasi kemiskinan di negara ini.

Setelah Bapak Ahmad Juwaini membuka forum dialog, acara dilanjutkan dengan keynote speech dari Inisiator dan Ketua Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Bapak Parni Hadi.

Dompet Dhuafa yang tumbuh

Bapak Parni Hadi membuka pidatonya dengan mengingatkan pada statement Bung Karno yang mengatakan bahwa tantangan rakyat Indonesia di masa sekarang lebih berat, karena yang dihadapi bukan penjajah melainkan bangsa sendiri, seperti bangsa (orang-orang) yang korupsi hingga tantangan kemiskinan.

Kemudian, Bapak Parni Hadi menyinggung Dompet Dhuafa sebagai salah satu lembaga filantropi yang selama ini concern membantu pemerintah mengatasi kemiskinan. Bapak Parni Hadi mengatakan bahwa ada satu kata yang tepat untuk disematkan kepada Dompet Dhuafa saat ini, takni “tumbuh”.

“Tumbuh” yang dimaksud oleh Bapak Parni Hadi di sini adalah (Dompet Dhuafa) tumbuh dalam segala aspek, antara lain tumbuh programnya, tumbuh kepercayaan publiknya, tumbuh dalam penghimpunan, tetapi juga tumbuh masalahnya.

Masalahnya apa? Ada kekhawatiran kalau Dompet Dhuafa berada di zona nyaman. Bapak Parni Hadi kemudian mengingatkan bahwa Dompet Dhuafa saat awal didirikan memiliki tugas untuk membangun peradaban. Tugas ini tidak mudah dan tidak cukup dilakukan hanya selama satu generasi saja, melainkan membutuhkan waktu yang sangat lama.

Inisiator dan Ketua Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Bapak Parni Hadi.

Saat ini, Dompet Dhuafa sudah dibilang cukup mapan, karena memndapatkan kepercayaan masyarakat yang begitu besar. Salah satu buktinya saat musim kurban Iduladha kemarin, ada peningkatan jumlah pengkurban, padahal kita di berada di situasi ekonomi yang “katanya” tengah turun.

Untuk itu Bapak Parni Hadi meminta pengurus Dompet Dhuafa sekarang tidak terlalu nyaman di comfort zone, tetapi juga wajib mempertahankan kepercayaan masyarakat. Selain itu Bapak Parni Hadi berharap segenap keluarga Dompet Dhuafa menjadi a smiling foundation sekaligus a smiling moslem yang menunjukkan kepada semua orang bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya buat mereka yang beragama Islam saja.

Bapak Parni Hadi juga menyinggung kalau Dompet Dhuafa akan menerbitkan sebuah buku yang merangkum perjalanan program-program Dompet Dhuafa yang telah berjalan selama ini. Salah satu programnya adalah di bidang kebudayaan.

Mengapa kebudayaan juga masuk ke dalam program Dompet Dhuafa? Menurut Bapak Parni Hadi, karena kebudayaan sebenarnya bukan hanya seni melainkan sebuah pembiasaan perilaku. Jadi, Dompet Dhuafa membiasakan perilaku untuk berinfak, berzakat, dll.

Kembali ke comfort zone tadi, maka Bapak Parni Hadi berusaha membuat Dompet Dhuafa tumbuh dengan memasuki industri komunal dengan woman in leadership. Industri komunal ini nantinya akan dimiliki mustahik dan diatur sendiri mustahik.

Bapak Parni Hadi juga kembali mengingatkan bahwa sebaiknya Dompet Dhuafa tidak memihak partai politik maupun mengikuti mazhab tertentu. Dompet Dhuafa harus bisa menunjukkan wajah Islam yang moderat. Selain itu, satu pesan lagi dari Bapak Parni Hadi adalah menganggap pemerintah sebagai mitra Dompet Dhuafa dalam mengusahakan masyarakat merdeka dari kemiskinan.

Forum dialog tokoh bangsa membahas kemerdekaan dari kemiskinan

Kemiskinan ini memang tantangan yang real buat bangsa kita. Meskipun demikian, Dompet Dhuafa berharap kita tidak kehilangan harapan bahwa masa depan akan lebih baik dari sekarang. Itulah sebabnya, Dompet Dhuafa membuat forum dialog dalam bentuk sarasehan hari itu.

Para narasumber memaparkan pendapat dan gagasannya.

Diskusi dimulai dengan masing-masing narasumber memberikan pendapat dan gagasannya tentang bagaimana memerdekakan negara ini dari kemiskinan. Dr. H. Rahmat Hidayat, SE, MT (Bapak Rahmat) memulainya dengan pemaparannya yang berjudul Masjid sebagai Pusat Peradaban Ummat dan Perannya dalam Meningkatkan Kompetensi Hard & Soft Skill Masyarakat.

Bapak Rahmat memulainya dengan mengingatkan undangan yang hadir mengenai ayat-ayat Al Quran dan hadist yang menyinggung mengenai masalah kemiskinan. Salah satu surat dalam Al Quran yang mungkin sering kita baca dalam sholat ada QS Al Ma’un yang kemudian menginspirasi tokoh-tokoh Muhammadiyah dahulu membentuk organisasi yang salah satu programnya adalah mengentaskan kemiskinan. Kemudian Bapak Rahmat juga mengingatkan akan sebauah hadist yang bunyinya “Seringkali kefakiran menyebabkan kekufuran.”

Kemudian, Bapak Rahmat mengkaitkannya dengan data kemiskinan baik dari BPS maupun World Bank yang sudah disebutkan sebelumnya, hingga sampai pada kesimpulan berapapun angkanya penduduk miskin di Indonesia banyak. Di antara penduduk sebanyak itu, masalah kita mayoritas kemungkinan besar adalah orang Islam.

Maka, sebagai orang Islam, sudah seharusnya menaruh perhatian akan hal tersebut. Apalagi, di dalam kita suci Al Quran, sudah banyak sindiran dan perintah kepada seorang muslim supaya memperhatikan kondisi sekitarnya. Dalam QS Al Ma’un pun jelas ada perintah menyuruh orang Islam untuk mengapresiasi dan memberi perhatian kepada masyarakat miskin. Percuma saja sholat kalau sekitarnya masih kesusahan (secara ekonomi). Bahkan, QS An-Nisa ayat 9 juga mewanti-wanti orang tua agar takut jika meninggalkan anak-anaknya dalam kondisi lemah, salah satunya lemah dalam hal ekonomi.

Orang yang lemah secara ekonomi biasanya akan lapar dan mengalami ketakutan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya kerusuhan. Bahkan, pada saat rusuh pun, orang yang memiliki uang juga tidak akan bisa belanja, karena kondisinya tidak memungkinkan. Maka, melepaskan Indonesia dari belenggu kemiskinan seharusnya menjadi concern semua umat. Salah satunya yang bisa mengambil peran adalah masjid.

Menurut data Dewan Masjid tercatat ada 800 ribu masjid. Kalau yang tidak tercatat bisa jadi lebih dari itu, bahkan mungkin bisa 1 juta masjid. Menurut Bapak Rahmat, apabila masjid bisa menggerakkan potensi ekonominya maka akan menjadi hal dahsyat.

Bapak Rahmat kemudian memberikan contoh bahwa beberapa waktu sebelumnya beliau terlibat meresmikan angkringan di salah satu masjid di Mojokerto. Nah, angkringan ini merupakan cara masjid memberikan sarana buat generasi muda di sana agar menjadi produktif.

Generasi muda atau yang sekarang kita sebut dengan bonus demografi sebenarnya output-nya bisa menjadi dua, apakah akan menjadi aset atau menjadi liabilitas. Anak-anak muda ini bisa menjadi asset apabila mereka terlibat hal-hal baik dan menjadi liabilitas jika terlibat tawuran, ngganggur, dll. Tugas masjid adalah memikirkan bagaimana masjid bisa memberikan sarana positif, kegiatan produktif, supaya menarik anak-anak muda ini menghidupkan masjid.

Lalu, Bapak Rahmat memberikan beberapa contoh masjid yang programnya telah berjalan dengan baik dalam membantu mengatasi masalah kemiskinan, contohnya masjid Sunda Kelapa, masjid Bintaro, juga ada Masjid Al Akbar di Surabaya, di mana masjid-masjid itu bukan hanya buat sholat berjamaah tetapi juga punya kegiatan wirausaha.

Ketika ditanya bagaimana dengan masjid-masjid yang kemungkinan masih minim dananya, apakah bisa juga menjadi masjid yang bisa menarik minat generasi muda. Bapak Rahmat menjelaskan bahwa memang kemampuan setiap masjid berbeda, karena itu harapannya melalui program wirausaha nanti ada masjid utama yang akan membina masjid-masjid inti yang ada di daerah sekelilingnya. Ibaratnya program ini akan membesar dengan efek snowball.

Bayangkan, kalau masjid itu Makmur. Misalnya, selalu tersedia makanan maupun minuman dalam masjid tersebut, tentu banyak orang akan banyak yang datang ke masjid. Tak sekadar buat sholat, tetapi juga kegiatan lain yang membuat orang lebih produktif, sehingga jauh dari kemiskinan.

QS Al’Araf ayat 31 bahkan menunjukkan bahwa Allah SWT memerintahkan anak Adam untuk memasuki masjid  dengan memakai pakaian yang bagus. Salah satu indicator orang memakai pakaian bagus artinya dia mampu secara ekonomi.

Nah, sudah jelas ya, bahwa Islam memerintahkan umatnya untuk berusaha menjadi kaya? Tentu saja dengan bekerja keras, donk, ya, bukan korupsi.

Lanjut, narasumber kedua, yakni Dr. KH. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc, MA (Bapak Zaitun Rasmin) yang menyampaikan tentang Peran MUI dalam Transformasi Sosial dan Moderasi Beragama Menuju Indonesia Merdeka dari Kemiskinan.

Sebelum memulai pemaparannya, Bapak Zaitun Rasmin menjawab pertanyaan “Kira-kira kalau orang Islam banyak yang miskin, ini salah siapa?”

Bapak Zaitun Risman kemudian menjawab bahwa yang penting sebenarnya bukan menjawab bukan siapa yang salah, tetapi apa yang salah. Namun, sebelumnya kita semua diajak memahami bagaimana memahami persoalan kemiskinan ini secara integral komprehensif.

Kemiskinan itu sebenarnya banyak. Tak ada miskin harta, tetapi juga miskin mental, miskin hati, dll. Hal inilah yang menjadi sebab kemiskinan, baik secara personal mereka memang miskin atau yang dimiskinkan oleh sistem oleh orang-orang diberikan amanah kekuasaan. Hal-hal ini memang sangat terkait. Kemungkinan besar penyebab kemiskinan harta ini bermula dari kemiskinan hati, yang mengakibatkan nilai-nilai yang memotivasi masyarakat untuk hidup layak tidak berjalan.  Padahal, di dalam Islam kita dianjurkan hidup sejahtera, hidup makmur, bahkan kaya.

Dalam kaitannya dengan MUI dan ormas-ormas Islam lainnya, menurut Bapak Zaitun Rasmin, organisasi-organisasi ini sejak awal sebenarnya telah berkontribusi besar di dalam upaya memerdekakan bangsa kita dari kemiskinan yang dulu diwariskan penjajah.

MUI salah satu ormas yang didirikan oleh Buya Hamka yang pada masanya juga orang Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan founder Muhammadiyah selalu berulang-ulang mengajarkan mengenai QS Al Ma’un. Maka, tak heran MUI dan ormas keagamaan lainnya concern terhadap masalah kemiskinan ini.

Ormas ini biasanya memiliki tiga core bisnis antara lain dakwah, pendidikan, sosial, dan satu lagi tambahan adalah pengembangan ekonomi. Semuanya ini membantu mengeluarkan umat dari kemiskinan.

Pembicaraan ini berlanjut kepada diskusi membandingkan negara Skandinavian yang banyak orang atheis-nya tetapi rakyatnya makmur dengan kondisi negara yang banyak orang Islam tapi banyak juga yang miskin. Lalu letak kesalahannya di mana?

Bapak Zaitun Rasmin kemudian menjawab bahwa persoalan kaya miskin ini secara filosofis kadang tidak berkaitan dengan agama. Sebenarnya Islam juga mementingkan materi, tetapi hal ini tidak berdiri sendiri. Bahkan, kalau mau meng-counter negara Skandinavian kok lebih makmur, bisa kita bandingkan dengan Brunei Darussalam yang penduduknya 100% Islam dan kaya. Namun, hal tersebut tidak bisa menjadi suatu alasan mengapa Indonesia yang kebanyakan orang Islam ternyata masih banyak orang miskinnya, karena sebenarnya juga ada banyak faktor mengapa suatu negara itu sejahtera.

Kasus di Indonesia menurut Bapak Zaitun Rasmin adalah kita selama bertahun-tahun dijajah kemudian muncul kemiskinan, meliputi miskin keimanan, pola pikir, ilmunya. Lalu, setelah merdeka, terjadi kesalahan dalam menerapkan konsep. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa negara kita secara mendasar memiliki “Keadilan Sosial” dalam Pancasila, juga pasal 33 dalam UUD 1945, tetapi penerapannya jauh dari itu.

Lalu, kesalahan kedua adalah Amanah untuk distribusi aset berhenti di golongan itu-itu saja, tidak merata ke masyarakat. Padahal dalam QS Al-Hasyr ayat 7, Allah SWT memerintahkan dengan jelas bahwa harta tidak boleh beredar di kalangan orang kaya saja. Namun, selama ini yang terjadi di Indonesia, harta itu kebanyakan tidak merata ke banyak orang yang membutuhkan.

Salah satu contohnya dalam hal membayar zakat. Selama ini, masih banyak orang yang tidak menunaikan zakatnya dengan benar, sehingga orang lain tidak terbantu.

Harapan Bapak Zaitun Rasmin agar pemerintah bisa berpihak kepada masyarakat dengan menjamin keamanan dan kesejahteraan, sehingga masyarakat bisa produktif dan bebas dari kemiskinan.

Dialog kemudian dilanjutkan dengan narasumber ketiga, yakni Bapak Yudi Latif MA, Ph.D (Bapak Yudi Latif) yang mengangkat isu Merawat Nilai-Nilai Pancasila dan Spirit Kebangsaan Bagi Generasi Muda.

Bapak Yudi Latif mengawalinya dengan mengingatkan kepada pidato Bung Karno yang menyatakan bahwa setelah nanti Indonesia merdeka tidak boleh ada kemiskinan. Namun, sayangnya, ucapan Bung Karno belum kesampaian, karena setelah merdeka, rakyat yang miskin masih banyak.

Lalu, bagaimana cara mengentaskan kemsikinan ini? Menurut Bapak Zaitun Rasmin kata kuncinya adalah dari kata “merdeka”. Bapak Zaitun Rasmin mengatakan bahwa merdeka itu sebenarnya ada dua, yakni:

  • Negative liberty: Merdeka dari kemiskinan, merdeka dari ketakutan, dan merdeka dari hal-hal buruk lainnya.
  • Positive liberty: Merdeka untuk meraih kemakmuran, merdeka makin mengembangkan mengembangkan pendidikan, merdeka mengembangkan sistem budaya yang lebih baik, dll.

Nah, kesalahan Indonesia adalah karena banyak orang tidak bisa mengembangkan positive liberty. Salah satu contohnya masalah pendidikan yang seperti kita ketahui bersama tidak merata. Padahal, untuk mengembangkan positive liberty kemungkinan besar akan terjadi jika rakyat banyak yang terdidik, terpelajar, tercerahkan. Dengan begitu mereka lebih bijak dan memiliki etos (termasuk iman/ faith) serta daya juang untuk bekerja keras yang akan mengantarkan mereka keluar dari kemiskinan. Tentu saja harus dibarengi dengan iman, percaya bahwa usaha tersebut tidak akan sia-sia.

Bapak Zaitun Rasmin lalu memberikan contoh bagaimana founding father negeri ini dulu ditertawakan saat mengemukakan gagasan memerdekakan diri. Namun, ternyata dengan daya juang dan yakin mampu, Indonesia bisa menjadi negara pertama yang memerdekakan diri setelah Perang Dunia ke-2 selesai.

Kemudian, kembali lagi mengenai etos, Bapak Zaitun Rasmin mengatakan bahwa etos ini merupakan penentu seseorang bisa maju atau tidak. Studi Harvard juga menyampaikan bahwa sebuah etos sangat penting dimiliki jika ingin survive.

Bapak Zaitun Rasmin memberikan contoh bangsa Palestina yang dijajah sekian lama oleh Israel, tetapi negaranya masih bertahan, karena mereka memiliki etos itu. Coba dibandingan dengan Uni Soviet yang sudah kocar-kacir duluan ketika dijajah bangsa lain, karena daya etosnya tidak ada.

Selain etos, ilmu pengetahuan seperti keterampilan, teknologi, dll juga penting. Jika menguasai keduanya, maka peradaban itu akan mencapai kemakmuran.

Lalu, satu lagi hal ketiga yang harus dimiliki, selain etos dan pengetahuan, Indonesia ini membutuhkan Tindakan yang membutuhkan agensi atau aktor perubahan. Kalau di Indonesia, ada kalanya kekuatan-kekuatan perubahan itu ada di elemen masyarakat, ketimbang di pemerintah. Malah, kalau ditangani pemerintah yang ada malah bertambah buruk, sementara solidaritas spontan malah bisa mewujudkannya.

Contoh saat tsunami Aceh beberapa tahun lalu. Muncul solidaritas masyarakat, komunitas, untuk memberikan donasi. Donasi itu pun sampai ke yang membutuhkan. Berbeda saat pemerintah yang bergerak, donasi tersebut belum tentu sampai. Tak bisa dipungkiri ada yang tidak beres dengan para agen yang harusnya menjadi leader ini.

Maka, Bapak Zaitun Rasmin kemudian sampai pada pernyataan kalau di Indonesia ini usaha menyejahterakan masyarakat tak perlu semuanya berpusat oleh negara. Justru lembaga-lembaga filantropi di Indonesia jauh lebih penting. Nah, tugas negara adalah memback up atau mengembangkannya jika perlu. Lalu, kalau bisa jangan mempersulit, malahan sudah seharusnya pemerintah berterima kasih kepada lembaga-lembaga filantropi yang ada di negeri ini.

Terakhir adalah pemaparan dari Dr. H. Bambang Widjojanto, SH, MH (Bapak Bambang) yang membahas tentang Tata Kelola, Keadilan Sosial, dan Reformasi Struktural untuk Mengatasi Kemiskinan.

Pertama, Bapak Bambang menyinggung tentang angka 80 tahun yang melambangkan keberlimpahan dan keutuhan, karena secara filosofis angka 8 dan 0 tidak putus. Namun, bagaimana kondisi negara kita sekarang?

Kemudian, Bapak Bambang menyampaikan mengenai data yang kurang akurat. Hingga saat ini menurut BPS jumpah total penduduk Indonesia 280 juta, tetapi ada lembaga lain dari Cina, yakni Xinhua yang memberikan angka berbeda. Nah, sebenarnya, bukan masalah angkanya berapa, tetapi kalau datanya saja tidak tepat, lalu bagaimana caranya membuat kebijakan? Kalau jumlah penduduknya saja tidak tahu berapa, bagaimana bisa menentukan jumlah penduduk miskin?

Lalu, tiba-tiba keluarlah kebijakan bansos. Nah, bansosnya rawan dikorupsi. Lagi-lagi, bisa ditebak sejak awal, kebijakannya melenceng. Selain itu, menurut Bapak Bambang yang namanya bansos ini sebenarnya bukan menyejahterakan rakyat tetapi malah memperpanjang perbudakan dari kemerdekaan. Maka, Bapak Bambang mengatakan yang patut diperbaiki adalah angka di data tersebut supaya kalau ada bantuan benar-benar sampai ke orangnya.

Bapak Bambang kemudian mengajak peserta berpikir, sebenarnya yang kita inginkan itu “mengentaskan kemiskinan” atau “menuntaskan kemiskinan”, karena keduanya memiliki makna yang berbeda. Kalau “mengentaskan” artinya mengurangi, kalau “menuntaskan” adalah menghabisi masalah ini.

Bapak Bambang kemudian menyinggung alinea keempat UUD 1945 bukan hanya mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi juga untuk mewujudkan keadilan sosial, sementara di satu sisi pemerintah sedang gencar membangun ketahanan pangan dan ketahanan energi. Pertanyaannya, apakah pada “ketahanan” ini akan mewujudkan keadilan sosial? Padahal, dari katanya jelas “ketahanan” ini buat kedaulatan negara, belum ada unsur usaha untuk menuntaskan kemiskinan.

Berbeda dengan lembaga filantropi seperti Dompet Dhuafa yang tanpa koar-koar menyebut berkhidmat pada Pancasila, tetapi sudah melaksanakan amanat dari Pancasila terutama mewujudkan keadilan sosial tadi.

Maka, terkait pemerintah yang belum berusaha menuntaskan kemiskinan tadi, bisa dikatakan kemerdekaan itu masih jauh dari kenyataan. Ada yang namanya the parents of corruption, antara lain:

  • Conflict of interest yang apabila tidak dikelola dengan baik, maka akan menghancurkan sistem. Misalnya, saat regulator tidak bisa mengatur conflict of interest, sehingga memunculkan koruptor.
  • Kedua, pemberian gratifikasi terlalu dianggap biasa. Banyak yang mengira kalau menerima tidak ada kepentingannya, padahal suatu saat nanti bisa saja diminta melakukan sesuatu buat si pemberi gratifikasi.

Bapak Bambang kemudian mencoba memberikan dua strategic intervesion, yakni:

  • Strategi follow the money. Dengan data tadi yang tidak jelas tadi, bisa menemukan data ASN, kemudian mengintegrasikan jumlah penghasilan dengan kekayaannya. Apakah bisa dikonfirmasi sesuai atau berbeda jauh.
  • Cara kedua bagaimana mengeksekusinya, yakni menarik uangnya (apabila tidak sesuai datanya) buat negara.

Itulah teman-teman rangkuman dari pemaparan masing-masing tokoh bangsa yang dari acara Sarasehan Tokoh Bangsa yang diinisiasi oleh Dompet Dhuafa.

Peluncuran buku oleh Dompet Dhuafa

Forum dialaog pada hari itu kemudian ditutup dengan Dompet Dhuafa meluncurkan dua buku berjudul Catur Windu Dompet Dhuafa dan Senyum Nabi (DD Smiling Foundation). Kedua buku tersebut berisi perjalanan Dompet Dhuafa dalam membantu menangani masalah kemiskinan dan membangun kemandirian masyakarat.

Peluncuran buku terbaru Dompet Dhuafa.

Peluncuran kedua buku tersebut ditandai dengan pendatanganan buku secara simbolis oleh tokoh-tokoh bangsa yang hadir.

Kesimpulan

Saya coba buat kesimpulannya, supaya teman-teman makin mudah memahami, ya:

  • Indonesia sudah merdeka selama 80 tahun tetapi masih banyak penduduknya yang miskin.
  • Akar permasalahan kemiskinan adalah karena distribusi kekayaan negara yang tidak merata. Salah satu penyebabnya adalah korupsi.
  • Indonesia masih bisa bertahan karena rakyatnya yang dermawan dan terbiasa saling membantu.
  • Lembaga filantropi, seperti Dompet Dhuafa, memiliki peran yang sangat besar dalam menuntaskan kemiskinan di negeri ini.
  • Dompet Dhuafa berkomitmen untuk menjadi mitra pemerintah dalam rangka menanggulangi masalah kemiskinan.
  • Kiprah Dompet Dhuafa dalam menangani masalah kemiskinan dan membangun kemandirian masyarakat bisa dibaca di dua buku yang baru diluncurkan, yakni Catur Windu Dompet Dhuafa dan Senyum Nabi (DD Smiling Foundation).

Semoga mendapatkan poin-poinnya dan catatan ini bisa menumbuhkan gagasan untuk melakukan sesuatu buat membantu negara ini, ya, teman-teman. Merdeka!

April Hamsa

Categorized in: