Sore itu, sinar matahari senja tak malu-malu masuk melalui kaca jendela bangunan sebuah restoran yang berada di Pracima Tuin, sebuah area yang masih masuk lingkup Pura Mangkunegaran, Solo. Pracimasana, nama restorannya. Dinding dan jendela kaca memang mendominasi bangunan restoran Pracimasana ini. Tak heran, saat sore hari, walau lampu restoran belum dinyalakan, tetapi kondisi di dalam bangunannya masih terang. Apalagi, saat cuaca sedang cerah.

Meskipun demikian, pengunjung resto tidak ada yang merasa terganggu, karena AC di dalam ruangan menyala. Selain itu, mereka juga sibuk menikmati kelezatan makanan yang ada di hadapannya. Saya salah salah salah satu pengunjung itu yang memilih sibuk mengunyah ketimbang mempermasalahkan tentang srengenge yang bikin ulap (srengenge = matahari, ulap = silau).

Suasana Pracima Tuin saat sore. Bangunan putih dengan banyak jendela kaca itu adalah gedung restoran Peacimasana.

Oh ya,  tak sekadar mengagumi rasa makanannya, kebanyakan dari kami juga excited karena konon katanya makanan yang disajikan di resto tersebut merupakan hidangan yang sama, yang sering disajikan untuk keluarga Bangsawan Solo. Apalagi, penyajian makanannya ala fine dining, gitu.  Full service dari mbak-mbak dan mas-mas yang melayani tamu di sana. Alhasil, sepanjang sore itu saya ngayal jadi bangsawan Solo, deh, hehe.

FYI, saya tidak datang sendiri ke Pracimasana, melainkan berombongan dengan teman-teman dari grup Jelajah Gizi Danone tahun 2023 lalu. Jadi, ceritanya, salah satu konten saya memenangkan kompetisi tentang makanan bergizi, gitu, lalu dapat hadiah jalan-jalan ke Solo. Tak sekadar berwisata, sesuai nama grupnya, “jelajah gizi”, kami diajak menikmati berbagai kuliner Solo. Nah, salah satunya adalah menikmati hidangan ala Bangsawan Solo di restoran Pracimasana ini.

Pracima Tuin, dulu tertutup sekarang bebas dikunjungi

Seperti yang saya infokan sebelumnya, restoran Pracimasana ini berada di dalam Pracima Tuin. FYI, waktu itu saya dikasitau kalau cara baca “tuin” tuh bukan tu-in, melainkan te-en. Jadi, pelafalannya “pracima te’en” bukan “pracima tuin”.

Kata “tuin” ini berasal dari Bahasa Belanda yang artinya “kebun” atau “taman”. Kalau kata “pracima” berasal dari Bahasa Jawa Kawi yang memiliki arti “tempat di sebelah Barat”. Yup, sesuai namanya, Pracima Tuin ini merupakan taman di sisi Barat dari Pura Mangkunegaran.

Suasana taman saat sore di hari yang cerah.

Sosok yang membangun Pracima Tuin adalah Mangkunegoro VII. Dahulu, katanya, beliau bersekolah di negeri Belanda. Di sana beliau terinspirasi oleh garden city, kemudian mengaplikasikannya di dalam istana. Itulah sebabnya bangunan maupun ornamen yang ada di area taman ini berupa campuran antara gaya Jawa dengan Belanda.

Oh ya, taman ini dulu tertutup dan hanya boleh dinikmati oleh keluarga kerajaan saja. Dahulu, juga ada kolam renang di sini. Namun, sekarang kolam tersebut sudah tidak ada, berganti menjadi taman.

Pracima Tuin saat malam hari.

Kemudian, ketika Mangkunegoro VIII menjabat, ada lapangan tenis yang dibangun di area ini juga. Namun, tetep hanya boleh dipakai oleh keluarga kerajaan.

Pada tahun 2022, lapangan tenis tersebut kemudian dijadikan taman kembali. Lalu, pada era Mangkunegoro X atau yang kita kenal sebagai Gusti Bhre, Pracima Tuin terbuka buat umum, tetapi masih ada pembatasan jumlah pengunjung. Itulah sebabnya, ketika dibuka untuk umum pada tahun 2023 lalu, untuk bisa mengunjungi Pracima Tuin wajib melakukan reservasi terlebih dahulu.

Tujuan Gusti Bhre membuka Pracima Tuin supaya bisa dinikmati oleh masyarakat umum adalah supaya taman ini dapat menjadi pusat kebudayaan, sehingga bisa memperkenalkan budaya Mangkunegaran ke masyakarat, sekaligus melestarikannya.

Menikmati senja di Pracimasana.

Meskipun masyarakat umum sudah bisa berkunjung di sana, tetapi tetap ada aturan yang wajib dipatuhi, khususnya soal outfit yang dipakai. Untuk berkunjung ke Pracima Tuin sangat disarankan memakai baju yang rapi dan sopan, seperti kemeja dan kaus berkerah. Untuk bawahan tidak diperkenankan memakai yang pendek, harus yang panjang. Boleh memakai pakaian batik, tetapi tidak boleh motif parang atau lereng, karena dahulu motif batik in dibatasi penggunaannya untuk kalangan raja dan bangsawan, sebagai pembeda status sosial.Waktu itu rombongan kami sepakat memakai kemeja putih saja yang netral dan bawahan bebas, asalkan panjang.

Pracima Tuin ini menyediakan destinasi wisata yang menggabungkan beberapa elemen, seperti kesenian, sejarah dan budaya Jawa, hingga kuliner. Elemen yang saya sebut terakhir, yakni kuliner, diwujudkan dalam bentuk restoran Pracimasana dan kafe Pracimaloka.

Suasana di restoran saat malam hari.

Restoran Pracimasana menyediakan menu makanan dan minuman yang memiliki cita rasa autentik Jawa yang berasa dari resep turun-temurun keluarga kerajaan. Uniknya, penyajian makanannya dibuat berkelas, yang tak hanya memanjakan lidah, tetapi juga mata.

Restoran ini buka setiap hari pukul 10.00-22.00 WIB yang terbagi menjadi 5 sesi. Reservasi bisa dilakukan melalui official website-nya di pracimabogasana.co.id atau bisa juga cek di media sosial Instagram-nya di @pracima.mn. Untuk harga makanannya, berdasarkan website-nya, pengunjung bisa menikmati makanan di sana start dari Rp150.000,- dengan deposit sebesar Rp50.000,-.

Hiburan musik dari sinden dan gamelan.

Lalu, kafe Pracimaloka lebih seperti tea and pastry house. Di kafe ini, pengunjung bisa menikmati teh atau kopi, serta menyantap makanan ringan seperti kue dan pastry. Kafe ini buka dari jam 11 siang hingga jam 9 malam. Sama seperti Pracimasana, kalau mau ngeteh/ ngopi di Pracimaloka, pengunjung sebaiknya melakukan reservasi terlebih dahulu.

Sayangnya, waktu itu, saya dan rombongan tidak mampir ke Pracimaloka, hanya makan di Pracimasana saja.

Gusti Sura yang cantik.

Oh ya, FYI, saat menikmati makanan di Pracimasana, kami berkesempatan disambut langsung oleh Gusti Sura, kakak Gusti Bhre. Gusti Sura juga menjelaskan makna dari hidangan Mangkunegaran yang disajikan hari itu.

Menikmati 9 menu hidangan ala Bangsawan Solo di Pracimasana

Penasaran nggak  hidangan apa saja yang saya dan rombongan nikmati di Pracimasana?

Tak tanggung-tanggung, waktu itu, kami menikmati 9 menu hidangan keluarga kerajaan Solo. Masing-masing porsinya tidak terlalu banyak dan platting-nya dibuat ala resto Eropa.

Show plate.

Jujurly, waktu makanan pertama disajikan, saya pribadi sempat bertanya-tanya, “Kok porsinya kecil? Emang bakalan kenyang?”

Ternyata…

Okey, langsung saja, deh, cerita tentang menu pertama.

Begitu masuk dan duduk di meja, seorang mbak-mbak pramusaji langsung membantu membuka kemudian memakaikan serbet di pangkuan saya. Ya, kayak pelayanan resto-resto fine dining yang sering kita ((KITA)) lihat drakor-drakor itu, lho.

Pura-puranya jadi bangsawan yang dilayani makannya, hihihi.

Di atas meja sudah tertata sedemikian rupa piring, gelas, sendok, garpu, pisau, dll. Saya jadi keinget pelajaran Tata Boga zaman SMP dulu, karena pernah diajarin juga cara menata meja (show plate) seperti itu 😀 . Di atas piring utama terdapat list makanan dan minuman yang akan disajikan.

Kemudian, ada pramusaji yang berbeda yang menaruh segelas minuman berwarna oranye kecokelatan di atas meja saya. Saya lupa istilahnya apaan, pokoknya itu tuh semacam welcome drink, gitu.

Coba tebak minuman apa? Clue-nya adalah jamu yang memiliki manfaat sebagai antioksidan, mengatasi bau badan, mencegah penyakit jantung, hingga melancarkan menstruasi.

Yap, tepat sekali, jawabannya adalah kunyit asem.

Kunyit asem.

Mengapa kunyit asem ini disajikan terlebih dahulu? Saya baru tahu dari kunjungan itu juga kalau minuman tradisional yang memiliki rasa manis dan asem ini melambangkan kehidupan manusia yang terasa manis, yakni saat manusia dalam masa bayi hingga pra-remaja. Lha, ya, bener juga, sih, awal-awal kita hidup di dunia memang sepertinya manis. Namun, semakin bertambah usia ada asem-asemnya. Meski demikian, kita tetap merasakan manis itu (jika banyak bersyukur #uhuks #benerinkerudung).

Setelah segelas kunyit asem habis, mbak-mbaknya kembali lagi untuk menghidangkan makanan dengan penataan yang cakep. Bisa dibilang makanan tersebut adalah appetizer-nya. Nama makanannya adalah brubus.

Jujurly, walau saya orang Jawa, tapi saya baru denger makanan namanya brubus ini. Ternyata, makanan ini otentik dari resep istana dan merupakan kegemaran Mangkunegoro VII.

Brubus.

Jadi brubus ini terbuat dari daging giling yang diolah bersama rempah-rempah seperti bawang merah, bawang putih, ketumbar, kemiri, dan rempah nusantara lainnya, kemudian dibungkus menggunakan sawi, sehingga penyajiannya mirip dengan lumpiah transparan. Sebagai pelengkap, makanan ini kemudian diberi areh (santan kental). Ditambah garnis berupa sayur-sayuran seperti wortel, mentimun, dll, yang melengkapinya.

Membungkus daging dengan sawi ini memiliki makna menyatukan isi dengan wadah, menyatukan rasa dengan rupa, sehingga tercipta keharmonisan. Kemudian disiram santan juga memiliki makna bahwa makanan ini memang asli Jawa, karena kuliner Jawa memang kerap memakai santan. Kalau ditanya tentang rasanya, hmmm, brubus ini gurih, karena rempah yang kuat dan santannya.

Setelah brubus di meja habis, mbak-mbaknya dengan gesit mengangkat piring lama dan menggantinya dengan hidangan baru. Kali ini adalah urap pitik linting. Nah, kalau makanan ini minimal saya kenal lha ya, urap. Ini sih makanan favorit saya, hehe.

Urap pitik linting.

Urap pitik linting ini sesuai namanya bukan urap biasa yang hanya terbuat dari sayuran, melainkan juga berbahan dari pitik atau ayam. Trus, tentu saja platting-nya cantik. Kalau saya perhatikan ayamnya dijadikan base, kemudian di atasnya ditaruh aneka sayuran. Daging ayam ini katanya dimarinasi dengan resep kuno warisan kerajaan dan diberi saus cuka. Kalau saya nggak keliru ada suwiran ayam juga di sayurannya. Sayurannya antara lain berupa bunga turi, melanding, kecombrang, tauge, buncis, dan tentu saja bumbu kelapa urap.

Sayurannya fresh, daging ayamnya empuk. Sayangnya cuma satu, menurut saya bumbu urapnya tidak pedas. Namun, buat yang nggak suka pedas dan tertarik makan urap, saya rasa menu ini akan cocok dengan lidahnya.

Setelah makan urap, mbak-mbaknya menyajikan sop daging rempah. Yes, kali ini adalah makanan berkuah, berupa daging sapi yang dipotong dadu yang disajikan bersama sayuran wortel, tomat, kentang, dan taburan daun bawang. Kuahnya terbuat dari kaldu rebusan daging sapi yang kaya akan rempah.

Rasa sop daging rempah ini gurih dan agak sedikit manis. Ternyata, sop daging rempah ini sudah menjadi hidangan khas Mangkunegaran sejak zaman Mangkunegara I dan menjadi favorit keluarga kerajaan.

Sop daging rempah.

Setelah selesai menikmati sop daging rempah, tibalah saatnya makan hidangan utama. Ada tiga hidangan yang disajikan, yakni pepes iwak kemangi, dendeng age, dan bistik pithik bumbu opor.

Namun, sebelumnya mbak-mbaknya menyajikan minuman lagi. Kali ini minuman segar yang namanya pareanom.

Pareanom ini terbuat dari buah jeruk segar yang dicampur dengan lemon dan diracik dengan sirup pandan. Di atas minuman disajikan kolang-kaling yang kenyal berwarna hijau. Rasa minumannya manis dan menyegarkan.

Pareanom.

Nama pareanom berasal dari Bahasa Jawa yang artinya “padi yang muda”. Ini tuh katanya melambangkan kesegaran hidup dan semangat baru.

Semangat makannya, aca-acaaaa! 9 hidangan, coiii 😀 .

Tibalah saatnya makan hidangan pembuka yang saya sebut tadi.

Hidangan pertama yaitu pepes iwak kemangi ini disajikan dengan nasi porsi sedikit. Di atas nasi disajikan ikan pepes yang berbahan dasar ikan gurami. Ikan gurami ini dipilih karena ikan jenis ini merupakan symbol keberkahan, keharmonisan, dan kemakmuran. Ikan ini dibumbui dengan bawang putih, bawang merah, kemiri, cabai, kemangi, irisan jamur, tomat ceri, jeruk nipis. Rasanya gurih, kaya rempah, dan terasa sekali aroma kemanginya.

Pepes ikan kemangi.

BTW, sampai makanan keenam ini, saya udah mulai merasa kenyang haha. Cuma, melihat menu masih akan ada 3 makanan lagi yang belum dihidangkan, jadi yaaa ditahan-tahanin 😀 .

Protein hewani sekaligus hidangan utama berikutnya adalah dendeng age. Ketika pertama kali disajikan, saya pikir makanan ini adalah sate, tetapi ternyata bukan. Makanan ini lebih mirip dengan steak dengan kematangan medium well.

Dendeng age ini merupakan hidangan daging yang menjadi masakan wajib yang tersaji di meja makan istana Mangkunegaran. Katanya sih masakan ini resepnya sudah ada sejak zaman raja-raja Mataram dulu. Yes, kalau teman-teman masih ingat sejarah (kebetulan saya ingat karena anak saya belajar ini haha), Mangkunegaran adalah salah satu sempalan dari Kerajaan Mataram Islam. Makanya relate ya, kalau menu makanannya sudah ada resepnya sejak zaman itu.

Dendeng age.

Daging dendeng age ini merupakan potongan has dalam yang dimarinasi dengan bumbu rempah, kemudian disajikan dengan saus areh dan umbi-umbian sebagai pendampingnya.

Dagingnya empuk, cuma karena saya kurang terlalu suka daging medium well, ditambah udah merasa kekenyangan, jadinya agak susah menikmatinya, huhu. Untungnya, pareanom saya belum habis, sehingga membantu banget untuk menghabiskan dendeng age ini.

Selanjutnya, dengan mengucap bismillah saya bersiap lagi menyantap hidangan utama ketiga yakni bistik pitik bumbu opor. Bistik pitik bumbu opor ini adalah sajian olahan daging paha ayam tanpa tulang yang dimarinasi dengan bumbu klasik khas dapur Mankunegaran. Makanan ini disajikan dengan kentang tumbuk dan aneka sayuran sebagai pendampingnya. Rasanya sih mirip opor ayam dengan kentang, cuma bedanya dibuat inovatif tanpa kuah, melainkan bumbu opornya dijadikan saus, gitu, disiram di atas daging ayamnya #imho ya.

Bistik pitik bumbu opor.

Jujur banget, setelah makan makanan ini, perut saya keknya udah teriak “Udahaaaaaann, please!” Hahaha 😛 . Saya yang awalnya agak meremehkan porsi makanan yang seuprit-uprit itu mengaku kalau kedelapan hidangan yang sudah masuk ke perut saya sangat mengenyangkan.

Namun, masih ada satu lagi, yang harus dimakan sebagai hidangan penutup dari rangkaian fine dining hari itu, yaitu tape ijo panacota.

Kali ini, sebelum makan, saya menyempatkan berdiri dulu. Berkeliling restoran, foto-foto sebentar sama beberapa orang teman. Saya juga menyempatkan melihat para penyanyi sinden dan orkestra gamelannya yang bertugas menemani para tamu selama menikmati makanan. Baru setelah itu, kembali ke kursi, lanjut menerima tantangan makan tape ijo, hahaha 😛 .

Tape ijo panacota.

Tape ijo ini bukan sekadar tape berwarna hijau melainkan disajikan dengan panacota bertekstur lembut dan ringan, juga dengan granola dan coklat putih almond. Hidangan ini juga sudah ada sejak dulu di dapur istana dan merupakan favoritnya Mangkunegara VII. Rasanya manis banget. Emang cucok sih menjadi hidangan penutup.

Setelah berhasil menyantap hidangan tape ijo panacota saya berucap ALHAMDULILLAH HIROBBIL ALAMIN, YA ALLAH. Misi makan 9 makanan khas Mangkunegaran berhasil saya selesaikan, hihihi.

Yaaa, begitulah teman-teman, pengalaman saya menikmati fine dining ala Bangsawan Solo di restoran Pracimasana yang menjadi bagian dari Pracima Tuin, Pura Mangkunegaran, Solo. Bener-bener berkesan, karena bisa makan di bangunan mewah yang berada di istana Mangkunegara, mana pemandangannya indah pula. Baik saat sore (masih ada matahari), maupun malam hari.

Semoga suatu saat nanti, kalau ada rezeki berkunjung ke Solo lagi, bisa mengajak keluarga saya untuk menikmati kelezatan makanan di Pracimasana, sekaligus bisa ngeteh dan ngopi di Pracimaloka.

BTW, ada yang sudah pernah ke Pracima Tuin untuk menikmati hidangan ala Bangsawan Solo juga? Share donk pengalamannya 😀 .

April Hamsa

Categorized in: