“Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar mengarung luas samudera. Menerjang ombak, tiada takut. Menempuh badai, sudah biasa…” #singing 😀 . Iyaaahh, betuuull, nenek moyang orang Indonesia tuh pelaut gaeeess, makanya Si Pengarang Lagu kala itu membuat lagu “Pelaut” ini. Tak percaya? Cobalah datang ke Museum Maritim yang berlokasi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Di Museum Maritim Tanjung Priok ini, teman-teman akan melihat jejak-jejak pelaut hebat yang tak lain tak bukan adalah nenek moyang kita sendiri, yang pelaut itu.

Saya di salah satu sudut Museum Maritim.

Alhamdulillah, bulan lalu, saya berkesempatan mengunjungi museum yang lokasi tepatnya ada di kantor PT Pelindo ini bersama teman-teman yang ikut trip bareng @wisatakreatifjakarta. Barangkali teman-teman masih ingat tulisan saya tentang kunjungan ke Stasiun Tanjung Priok beberapa waktu lalu? Nah, setelah puas mengeksplorasi stasiun, rombongan kami bergerak menuju ke Museum Maritim di pelabuhan. Kami jalan kaki, lho, dari stasiun ke museum. Lumayan, jaraknya kira-kira 2,5 km, lha, hehe.

Kerukunan beragama di Tanjung Priok

Namun jarak segitu, ditambah dengan cuaca dan debu jalanan Tanjung Priok, tak menyurutkan langkah kami #uhuks. Apalagi, di tengah perjalanan, kami bisa mengamati lebih jauh tentang area sana. Lumayan banyak truk-truk muatan besar, yaaa #YaaIyalah 😀 . Selain itu, saya baru mengetahui, kalau akses untuk naik bus maupun angkot alias terminal di Tanjung Priok tuh masih di area yang sama. Jadi, warga Priok, kalau mau bepergian cukup banyak pilihan moda transportasi umumnya.

Sepanjang jalan, kami juga menjumpai beberapa warung bebek madura. Lha, kok, mirip kek di Surabaya, kota asal saya, haha. Gugling-gugling, ternyata, tahun 90-an, Orang Madura lumayan banyak yang pindah ke Jakarta, lalu menetap di daerah Tanjung Priok. Tak hanya mendirikan toko kelontong 24 jam, etnis ini juga membuka usaha warung bebek goreng. Usaha warung bebek goreng ini akhirnya menjamur di Tanjung Priok.

Mengetahui hal itu, di jalan menuju ke museum, saya berazam, “Pokoknya nanti abis tur, makan siangnya wajib bebek goreng.”

Masjid dan gereja yang berdampingan sebagai simbol toleransi.

Eh, tak lama kemudian Mbak Ira, tour guide rombongan saya waktu itu, mengajak kami berbelok ke sebuah warung makan, gitu. Kirain mau ngajak bebek, tapi lha, kok pas masuk, ternyata di belakang warung ada parkiran motor dan bangunan kayak masjid, gitu. Pas banget masjidnya ramai karena memang sudah masuk waktunya sholat Dhuhur.

Oh ya, lokasi masjid ini persis di depan gerbang Pelabuhan Tanjung Priok. Cuman saya kurang paham gerbang sisi mana ya. Pokoknya yang di Jalan Enggano Raya, nama jalannya.

Ternyata, kami diajak mampir ke sana, karena masjid yang bernama Masjid Al Muqarrabien itu memiliki keistimewaan sebagai ikon toleransi umat beragama di wilayah Tanjung Priok? Mengapa? Karena tembok masjid ini begitu rapat, bahkan ada yang mengatakan jadi satu, dengan tembok Gereja Protestan Mahanaim yang persis berada di sebelahnya.

Kedua tempat ibadah tersebut sudah berdiri sejak tahun 50-an. Waktu itu pembangunannya hanya berbeda satu tahun saja. Gereja dibangun tahun 1957, sedangkan masjid dibangun pada tahun 1958. Selama puluhan tahun, hingga sekarang, kedua bangunan tersebut menjadi symbol toleransi umat beragam di Tanjung Priok.

Gerbang Pelabuhan Tanjung Priok yang berada persis di depan masjid dan gereja tadi.

Di pelataran masjid ini, rombongan kami jajan-jajan dulu. Ada juga yang ngaso, minum es, sambil mempersiapkan diri masuk ke pelabuhan. Maklum, cuacanya saat itu hot hot banget, haha.

Masuk ke area Pelabuhan Tanjung Priok

Setelah beristirahat sebentar, kami berombongan menyeberangi jalan raya menuju ke pelabuhan. Buat saya pribadi, sepertinya ini kali ketiga saya masuk ke pelabuhan. Namun, kalau dulu untuk menyeberang pulau menggunakan kapal, kali ini menuju ke kantor Pelindo. Dahulu, saat naik kapal, karena factor udah lama juga, saya enggak terlalu memperhatikan kondisi pelabuhan. Nah, ketika ada kesempatan jalan kaki, jadi tahu kalau di pelabuhan tuh banyak kontainer yang ditumpuk-tumpuk. Banyak terlihat alat berat seperti crane hingga truk-truk muatan yang besar-besar.

Suasana pelabuhan.

BTW, belakangan kami baru tahu, setelah diberitahu pegawai Pelindo bahwa jalan kaki di lingkungan pelabuhan sangat tidak disarankan. Walaupun, memang ada trotoar, sih, ya di pelabuhan, tetapi kondisi trotoar yang kami lewati waktu itu sempit, cuma bisa dilewati satu orang, sehingga tidak bisa beriringan. Lalu, ada beberapa trotoar yang kek njeblos, gitu, lho.

Kontainer-kontainer di pelabuhan.

Kalau menyeberang juga agak riskan dengan truk-truk besar yang banyak berlalu-lalang di pelabuhan. Makanya, oleh petugas, next sarannya, kalau ke pelabuhan atau Museum Maritim sebaiknya menggunakan kendaraan seperti mobil, demi keamanan.

Setelah berjalan kaki beberapa meter di trotoar, kami lalu menyeberang jalan di dalam pelabuhan, memasuki kawasan kantor Pelindo yang salah satu gedungnya difungsikan sebagai Museum Maritim sejak tahun 2018 itu. Waktu itu kami lewat belakang gedung, jika masuk melalui gerbang pelabuhan yang saya sebutkan sebelumnya tadi.

Jejak-jejak pelaut hebat di Museum Maritim

Meski demikian, kami tetap masuk lewat pintu utama gedung. Gedungnya cukup mencolok dan besar. Ada tulisan “Museum Maritim” berwarna biru tua di bagian samping pintu utama.

Gedung museum.

Bagian depan museum.

Begitu masuk gedung, ada tangga di bagian tengah, tepat di depan pintu yang langsung menyambut kedatangan kami. Petugas museum kemudian menyapa kami dengan ramah dan menjelaskan kalau koleksi museum ada di ruangan di sebelah kanan dan kiri tangga.

Berfoto bersama di tangga.

Rombongan kami kemudian dibagi menjadi dua kelompok, supaya bisa saling bergantian masuk masing-masing ruangan, sehingga lebih hemat waktu, mengingat hari sudah sangat siang. Setelah pembagian kelompok, tour guide kemudian memberikan kami waktu untuk sholat dan makan bekal masing-masing sebentar sebelum melihat koleksi museum.

Masuk ke ruangan tempat koleksi museum dipamerkan.

Selesai sholat, saya bersama rombongan grup A masuk ke ruangan yang ada di sisi kiri. Sebaliknya, grup B masuk ke ruangan sisi kanan.

Di ruangan yang pertama kali saya masukin ternyata sudah ada mbak-mbak pemandu dari museum juga. Mbaknya membuka tur museum dengan memperkenalkan sebuah patung wajah dan meminta kami menebak namanya.

Ternyata, patung tersebut adalah Djuanda Kartawidjaja yang selama ini kita kenal di buku pelajaran Sejarah sebagai Insinyur Haji Juanda yang namanya juga diabadikan sebagai bandara di Kota Surabaya.

Patung Ir. H. Juanda.

Jujurly, selama ini ngiranya Ir. H. Juanda nih punya andil di dunia penerbangan, ternyata justru beliau adalah Bapak Maritim Indonesia. Mengapa demikian?

Jadi, waktu masih menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia (1957-1959), beliau memprakarsai Deklarasi Juanda (13 Desember 1957). Deklarasi ini merupakan momen penting yang menjadi tonggak perubahan status wilayah laut Indonesia secara drastis.

Sebelum ada Deklarasi Juanda, Indonesia masih menganut hukum colonial Belanda, di mana wilayah laut territorial hanya selebar 2 mil laut di sekeliling setiap pulau. Nah, jadinya kalau begitu di dalam wilayah Indonesia masih ada laut bebas atau laut internasional yang memungkinakn kapal laut asing melintas kan? Wilayah-wilayah di Indonesia secara tak langsung jadi terfragmentasi donk dengan batasan laut kayak gitu?

Informasi mengenai sejarah pelabuhan di beberapa kota di Indonesia.

Deklarasi Juanda ini kemudian mendefinisikan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan mengubah batas laut negara ini menjadi 12 mil laut, yang diukur dari garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau terluar Indonesia.

Berkat Deklarasi Juanda, di masa mendatang (1980), Indonesia kemudian memproklamirkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). ZEE memberikan hak eksklusif kepada Indonesia untuk mengeksplorasi dan mengelola sumber daya alam di laut sejauh 200 mil dari garis pantai.

Lalu, pada 1987, Indonesia mendapatkan pengakuan internasional mengenai batas wilayah lautnya, di mana wilayah laut Indonesia menjadi sekitar 3,2 juta km². Bahkan, luasnya menjadi sekitar 7,9 juta km² jika ditambahkan ZEE, atau sekitar 81% dari total wilayah Indonesia.

Begitulah teman-teman, dampak positif dari Deklarasi Juanda untuk wilayah laut Indonesia. Gimana, berasa belajar Sejarah di sekolahan lagi kaaan? Hihihi 😀 .

Setelah berkenalan dengan Ir. H. Juanda, kami kemudian diajak berkeliling museum. Hal pertama yang menarik perhatian adalah beberapa spot tentang pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Beberapa pelabuhan yang saya ingat ada Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Emas di Semarang, Tanjung Perak di Surabaya, Belawan di Medan, Teluk Bayur, lalu Pelabuhan Cirebon, dll.

Dari situ, saya mengetahui bahwa Tanjung Priok mengandung kata “priok” dari “periuk” di mana kala itu di daerah sana banyak ditemukan periuk. Saya juga jadi tahu, bahwa Tanjung Priok bukanlah satu-satunya pelabuhan di Jakarta (Batavia). Ada beberapa pelabuhan lain, seperti Pelabuhan Sunda Kelapa dan Pelabuhan Onrust yang dahulu juga pelabuhan yang sangat sibuk.

Ratu Wilhelmina saat masih muda dan ibunya.

Kemudian, ada Pelabuhan Teluk Bayur di Sumatera Barat ini merupakan salah satu pelabuhan tertua yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Dahulu, mereka menyebut pelabuhan ini sebagai Emmahaven. Nama “Emma” berasal dari Adelheid Emma Wilhelmina Theresia yang merupakan ibu dari Ratu Wilhelmina yang berkuasa di Belanda pada akhir abad ke-19.

Pada masa itu, pelabuhan ini merupakan pelabuhan terbesar yang sangat sibuk, karena merupakan gerbang antar pulau dan perdagangan. Salah satu komoditas yang diperdagangkan adalah batu bara.

Di Sumatera Barat, ada sebuah daerah bernama Sawahlunto yang terkenal sebagai lokasi tambang batu bara Ombilin. Ombilin terkenal sebagai tambang batu bara tertua se-Asia Tenggara. Batu bara ini diekspor ke luar negeri sejak masa Hindia Belanda dulu.

Bongkahan batu bara dari Tambang Ombilin.

Ada koleksi batu bara Ombilin juga yang dipajang di museum ini. Eh, tetapi saya lupa nanya, itu batu bara asli atau replika aja. Cuman jadi tahu bentuknya seperti itu.

Setelah mengetahui informasi mengenai pelabuhan-pelabuhan di Indonesia, kami kemudian beranjak ke koleksi replika kapal-kapal. Ada kapal lama dan kapal yang lebih modern. Ada pula koleksi peralatan keselamatan para pelaut, seperti kapal sekoci, jaket pelampung, emergency food, lampu suar, dll.

Peralatan keselamatan pelaut.

Ada pula, semacam spot untuk kita berfoto dengan pose melakukan ski air yang pura-puranya ditarik oleh speed boat. Di sini, kami pun tak melewatkan kesempatan untuk bergantian mengambil gambar.

Bisa berfoto di sini.

Puas berkeliling ruangan tersebut, grup kami kemudian switch dengan grup B untuk masuk ke ruangan satunya lagi yang ada di sebelah kanan gedung.

Replika kapal.

Di ruangan ini, kami disambut dengan peta besar di dinding yang menggambarkan semua benua di dunia. Peta ini menunjukkan jalur migrasi ras  yang terjadi sekitar 5000 tahun lalu, yang dipercaya sebagai cikal bakal orang Indonesia. Terlihat ras tersebut bermula dari sekelompok nelayan Cina Selatan dan Formosa yang bermigrasi dari sebuah pulau di Taiwan, lalu melewati Filipina, hingga akhirnya sampai ke Indonesia.

Melihat peta asal-muasal nenek moyang orang Indonesia.

Ada pula diorama yang menggambarkan masa-masa kerajaan di Indonesia yang berkaitan dengan kemaritiman, seperti Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram Kuno, dll. Pengunjung museum bisa membaca bagaimana dahulu kerajaan-kerajaan tersebut berjaya karena pertahanan laut yang kuat. Kerajaan-kerajaan itu juga disebut-sebut memiliki beberapa pelabuhan di mana terjadi perdagangan dan pertukaran kebudayaan. Terdapat ukiran dan replika kapal-kapal pada zaman kerajaan juga yang dipamerkan di area ini.

Setelah melalui masa-masa kerajaan, lalu kami beranjak ke masa penjajahan. Di bagian ini, saya mengetahui bahwa ternyata banyak sekali orang-orang dari negara Eropa datang ke Indonesia. Tentu saja untuk mengambil hasil bumi negeri ini. Ada pula yang datang untuk menyebarkan agamanya.

Sejarah ketika orang Eropa datang ke Indonesia.

Kemudian, ada cerita juga bahwa pada akhirnya Belanda menguasai Indonesia. Kemudian, orang Belanda mendirikan perusahaan dagang terbesar kala itu, yakni Vereenigde Oost-Indische Compagnie yang kita kenal sebagai VOC.

Sejarah VOC.

Diorama masa penjajahan Belanda.

Terdapat pameran alat-alat navigasi yang digunakan saat pelayaran di masa lampau. Kebayang betapa alat-alat yang ini dulu udah merupakan sebuah kemajuan teknologi pada masanya. Di sudut lain juga terdapat replika gerabah, uang, dan benda-benda peninggalan dari kapal yang kemungkinan besar dahulu pernah karam di perairan Indonesia.

Alat navigasi seperti kompas, teropong, dll.

Replika kapal karam.

Ada juga beberapa lukisan di dinding yang menunjukkan pelaut-pelaut Eropa pada masa itu. Juga ada gambar peta yang menunjukkan ke mana saja rute pelayaran kapal zaman dahulu.

Lalu, mendekati akhir mengeksplorasi ruangan museum, rombongan kami masuk ke ruangan yang seperti ruangan nahkoda mengendalikan kapal. Keluar dari ruang nahkoda, kami dibawa ke area yang diibaratkan sebagai gudang rempah-rempahnya VOC.

Ruang kemudi nahkoda kapal.

Di ruangan ini, kita bisa mencium bau rempah-rempah yang diletakkan di gentong kayu dan dibiarkan terbuka. Ada pala, kayu manis, kapulaga, dll. Tampak pula komoditas hasil bumi lain seperti teh dan kopi. Ada pula patung-patung yang menggambarkan rakyat Indonesia yang bekerja juntuk mengangkut barang-barang tersebut.

Gudang VOC.

Keluar dari gudang, jalan lurus sedikit, rombongan kami bertemu dengan replica kapal yang kali berukuran besar. Terlihat patung-patung pekerja orang lokal Indonesia yang menaikkan karung-karung ke atas kapal. Di sini kami tak melewatkan kesempatan untuk berfoto bersama replika kapal dan patung-patung pekerja tersebut.

Spot foto menarik di museum.

Puas berkeliling museum, kami semua kemudian berkumpul di ruangan yang pertama kali kami masuki tadi. Di sini pemandu tur menutup tur, kemudian kami keluar lagi ke lobi gedung untuk berfoto di tangga di depan pintu masuk.

Selesai sudah tur mengunjungi Stasiun Tanjung Priok dan Museum Maritim hari itu. Oh ya, saya lupa menginformasikan, bahwa saat ini Museum Maritim tidak terbuka untuk umum karena alasan safety. Jadi, saat pertama kali dibuka untuk umum, masyarakat sangat antusias mengunjungi Museum Maritim ini. Sayangnya, lokasi museum yang ada di pelabuhan membuat aktivitas di pelabuhan agak terganggu apabila terlalu banyak pengunjungnya. Alhasil, untuk saat ini, Museum Maritim tidak dibuka untuk umum. Apabila ada yang mau datang berkunjung, maka bisa menghubungi pihak museum supaya bisa dibuatkan jadwalnya.

Makan bebek goreng madura

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Perut udah lumayan menjerit, karena belum makan siang dengan proper, hanya makan camilan saja sebelum explore museum.

“Ayo makan!”

“Makan di mana?”

“Di sana, tuh.”

Beberapa orang terdengar sedang ngobrolin masalah makan juga, akhirnya saya ngikut aja, walau sebenarnya agak kecewa, karena kan pengen makan bebek goreng madura di luar pelabuhan, ya.

Kantin Pelindo.

Ternyata, kami memasuki kantinnya Pelindo yang mereka sebut sebagai Priok Corner. Ini tuh semacam pujasera gitu, dengan banyak tenant-tenant makanan dan bangku-bangku buat makan.

Saya bersama beberapa teman lain dari rombongan tur berkeliling mencari makanan yang kami minati. Ternyata, di salah satu tenant ada yang menjual bebek goreng madura. Yawda, tanpa ragu saya pun memesan menu itu.

Suasana kantin.

Yaaa, lumayan lha bebek gorengnya. Sudah lengkap dengan sambal, lalapan, dan juga bumbu ungkep bebek berwarna hitam khas bebek madura.

Selain menyajikan bebek goreng madura, tenant tersebut juga menyajikan beberapa menu lain seperti ayam goreng,  soto, lodeh, ikan goreng, dll. Untuk  minuman, karena air dalam botol minum masih ada, jadi saya tidak memesan minum.

Bebek goreng madura yang saya makan.

BTW, ada yang lucu terjadi pada tumbler saya. Jadi, saya tuh membawa tumbler besar dengan banyak es batu. Biasanya, es batu itu awet, setelah airnya habis dan saya sampai ke rumah, bahkan keesokan harinya. Namun, hari itu, saat mengunjungi daerah Tanjung Priok, semua es batu saya meleleh, hahaha. Saking panasnya daerah sana apa yaaa.

Selesai makan, tadinya saya mau ngopi di kafe yang letaknya ada di pojokan Priok Corner. Namun, ternyata hari udah sore. Khawatir baliknya kemalaman di jalan, sehingga saya dan teman-teman mengurungkan niat ngopi. Kami kemudian barengan memesan mobil online untuk kembali ke Stasiun Tanjung Priok dan naik KRL untuk pulang ke rumah masing-masing dari sana.

Itulah teman-teman, cerita mengunjungi Museum Maritim hari itu. Alhamdulillah, dapat banyak pengetahuan mengenai sejarah kemaritiman Indonesia, sejak zaman kerajaan, penjajahan, hingga era kemerdekaan/ modern. Semoga artikel ini juga membawa manfaat buat teman-teman yang membacanya ya 😀 .

April Hamsa

Categorized in: