Pegiat Harmoni Bumi. Begitulah Amanda Katili, Ph.D, seorang perempuan yang sudah malang melintang di bidang lingkungan hidup ini memperkenalkan dirinya. Kontribusinya dalam menjaga keseimbangan bumi sudah tak terhitung lagi. Untuk mendokumentasikan aktivitasnya tersebut, tahun ini, Ibu Amanda, begitu saya memanggil beliau, menerbitkan sebuah buku berjudul Dalam Dekapan Zaman: Memoar Pegiat Harmoni Bumi. Meski judulnya “memoar”, tetapi Ibu Amanda menekankan buku ini bukan sekadar memoar, melainkan juga sebuah proses pengembangan diri.

Buku Dalam Dekapan Zaman Amanda Katili 5

Buku ini memantik keinginan untuk lebih mencintai bumi.

Saya pertama kali mengenal Ibu Amanda sekitar tiga tahun lalu ketika mengikuti online event yang membahas tentang makanan ramah lingkungan. Lalu, dua tahun kemudian, saya berkesempatan berjumpa langsung dengan beliau.

Jujur, sebelumnya, saya tidak terlalu memahami apa sih kaitan antara makanan dengan lingkungan. Namun, setelah berjumpa Ibu Amanda, pikiran saya jadi terbuka, bahwa langkah kecil kita dari mulai memilih makanan apa yang ingin kita konsumsi, bagaimana cara mengolah makanan tersebut, dan bagaimana memperlakukan sisa makanan, ternyata membawa dampak bagi bumi.

Itulah sebabnya, begitu mendengar bahwa Ibu Amanda menerbitkan buku Dalam Dekapan Zaman: Memoar Pegiat Harmoni Bumi saya antusias ingin membaca tulisan yang pastinya merupakan kumpulan pengetahuan dan pengalaman beliau di bidang lingkungan hidup.

Masalah lingkungan hidup, masalah kita semua

Bagaimanapun juga, sebagai penduduk bumi, kita tidak boleh cuek dengan masalah-masalah lingkungan hidup yang belakangan makin mengemuka. Sebut saja perubahan iklim, banjir di area pegunungan, deforestasi, dll, yang kabarnya makin parah.

Pada saat mencoba memikirkan semua masalah tersebut, eh, ternyata kejadian sendiri di lingkungan di tempat saya tinggal. Perumahan di sebelah hunian yang saya tempati mengalami longsor yang cukup parah. Membuat penghuni jadi terisolir tidak bisa keluar rumah, karena jembatan penghubung perumahan dengan jalan besar ikut hancur.

Rasanya tak tepat menyalahkan alam jika hal tersebut. Sebaliknya, kita harus mempertanyakan bagaimana kegiatan manusianya selama ini, sehingga kasus longsor tersebut bisa terjadi?

Kejadian longsor dekat rumah beberapa hari kemarin.

Lalu, apa kaitannya dengan buku Dalam Dekapan Zaman: Memoar Pegiat Harmoni Bumi?

Saya teringat salah satu keinginan Ibu Amanda yang ditulis di salah satu halaman buku ini, yakni berupaya mengajak pembaca, khususnya generasi muda agar hidup harmonis dengan alam.

Salah satu contohnya, manusia boleh kok membangun hunian yang nyaman, tetapi sebaiknya juga tetap memperhatikan keseimbangan bumi. Manusia boleh saja kok membangun sebuah kota, tetapi sebaiknya tetap berempati kepada alam dan makhluk hidup lainnya.

Jika tidak, maka hasilnya, ya, seperti contoh di lingkungan saya tadi, terjadi kerusakan yang berawal dari kesalahan manusia itu sendiri.

Buku Dalam Dekapan Zaman, mengajak kita mencintai bumi

Kembali ke buku Dalam Dekapan Zaman: Memoar Pegiat Harmoni Bumi, ada 11 bab yang menjadi pembahasan utama buku yang tebalnya lebih dari 420 halaman ini. Menjadikan buku ini tak hanya  kaya akan wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan cerita penulisnya mengenai lingkungan hidup, melainkan juga memberikan ide bagaimana membuat perubahan dan aksi nyata.

Ibu Amanda membuka buku ini dengan “prolog” yang menjelaskan mengapa buku ini ditulisnya. Ibu Amanda juga menyelipkan harapan supaya pembaca memperoleh inspirasi tentang betapa pentingnya hidup secara berkelanjutan dan berkontribusi pada keseimbangan lingkungan hidup.

Buku Dalam Dekapan Zaman.

Menurut Ibu Amanda, kontribusi tersebut tidak melulu harus tentang cara memerangi perubahan iklim atau berusaha melindungi spesies yang hampir punah, tetapi bagaimana seorang manusia sebaiknya bisa membangun hubungan yang penuh empati dengan alam dan makhluk hidup lainnya. Salah satu yang tengah diupayakan oleh Ibu Amanda saat ini adalah berusaha mendorong generasi muda untuk tidak abai dan mencintai lingkungan.

Menurut ibu Amanda, kesebelas bab dalam buku ini merupakan bagian yang berdiri sendiri, sehingga menurut saya bisa dibaca bab mana terlebih dahulu yang menarik minat. Meski demikian, semua bab memiliki benang merah yang mengaitkannya.

OK, selanjutnya saya akan mencoba mengulas tiap bab yang dituliskan Ibu Amanda dalam bukunya ini, ya.

Bab 1. Mengenal Bumi, Nilai, dan Nasibnya

Di bab awal ini, Ibu Amanda menceritakan sedikit tentang masa lalunya sebagai anak dan cucu dari orang-orang yang aktivitasnya bergerak di bidang lingkungan. Menurut Ibu Amanda, sejak kecil kedua orang tuanya sering mengajak beliau dan adiknya mengunjungi lokasi alam yang memesona, seperti pegunungan hijau. Sepertinya, sejak saat itulah Ibu Amanda tertarik dengan alam atau bumi tempat yang kita huni bersama ini.

Lalu, Ibu Amanda mengajak pembaca merenung tentang bumi. Bahwa tak seharusnya kita memandang bumi sebagai benda mati. Justru sebaliknya sebaiknya kita menganggap bumi sebagai planet yang dinamis dan hidup. Bumi pun bisa terluka jika disakiti. Jika bumi tersakiti, maka bumi tak akan lagi nyaman untuk dihuni.

Masalahnya, itu adalah risiko yang harus ditanggung manusia, sebab yang paling berperan besar menyakiti bumi adalah manusia. Maka, dalam bab ini, Ibu Amanda menyarankan agar persoalan lingkungan akibat perilaku manusia yang menyakiti bumi harus diatasi dengan baik. Manusia harus menjadi makhluk bertanggungjawab pada bumi.

Ibu Amanda kemudian menutup bab ini dengan sebuah puisi indah berjudul “Namaku Bumi” yang menurut beliau ditulisnya untuk seorang sahabat.

Bab 2. Menggalang Memoar untuk Bumi

Dalam bab ini Ibu Amanda bercerita telah membaca banyak tulisan dari orang-orang yang merupakan ilmuwan, aktivis, komunikator, dan mereka yang mengambil peran dalam mengatasi perubahan iklim.

Pendapat dari orang-orang tersebut menunjukkan bahwa ternyata banyak, lho, yang menunjukkan kepeduliannya pada lingkungan dengan caranya masing-masing. Ibu Amanda kemudian menceritakan bahwa pengalaman orang-orang tersebut kemudian dihimpunnya untuk menjadi satu buku yang diangkat dalam setiap acara bergengsi untuk menggugah lebih banyak orang mencintai bumi.

Bab 3. Mengukir Landasan Pendidikan

Di bab 3 ini lagi-lagi pembaca diajak traveling ke masa lalu Ibu Amanda yang menggelitik untuk disimak. Menurut Ibu Amanda, dulu saat duduk di bangku kelas 5 SD, dirinya lebih suka menghabiskan waktu bermain sepanjang hari ketimbang belajar. Sampai-sampai guru memanggil orang tuanya dan mengancam kalau dirinya akan tinggal kelas. Untungnya, kala itu sistem pendidikan di Indonesia memungkinkan murid naik kelas dengan percobaan tiga bulan. Jika dalam waktu tiga bulan tidak ada perubahan, maka akan dikembalikan ke kelas sebelumnya.

Untungnya, Ibu Amanda lulus dari masa percobaan tersebut dan berhasil melanjutkan studinya ke jenjang lebih tinggi. Sampai akhirnya, Ibu Amanda bisa berkuliah di ITB.

Buku ini menceritakan pandangan Ibu Amanda tentang bagaimana mengatasi perubahan iklim.

Saat menjadi mahasiswa ITB, Ibu Amanda menjadi seorang aktivis yang tidak rajin belajar. Pernah menangis pula karena mendapatkan nilai F di salah satu mata kuliah.

Baru setelah setahun, ketika mantab melanjutkan belajar ilmu di Departemen Biologi, Ibu Amanda mulai menikmati aktivitas belajar, walaupun nilainya pun masih biasa-biasa saja. Waktu itu, Ibu Amanda mengatakan sangat tertarik pada ekologi tumbuhan serta pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Puncaknya ketertarikan Ibu Amanda pada bidang itu membuat ujian akhirnya mendapatkan nilai A.

Ibu Amanda kemudian melanjutkan tulisannya dengan bagaimana pada akhirnya beliau berhasil gelar S2 hingga Ph.D, serta bagaiamana dirinya mendapatkan penghargaan-penghargaan lain di bidang akademik.

Dalam prosesnya meraih gelar dan penghargaan akademik yang ternyata jungkir balik, Ibu Amanda menceritakan bahwa pada akhirnya dirinya menyadari bahwa pendidikan bukan hanya pengetahuan melainkan membuka pintu bagi seseorang untuk bertransformasi dan bertindak secara efektif dalam menyikapi perubahan.

Bab 4. Mengembangkan Profesi Harmoni Bumi

Pada bab ini Ibu Amanda menceritakan kehidupannya setelah kuliah. Bagaimana Ibu Amanda memutuskan untuk berkarier hingga terlibat dalam tugas membantu presiden sebagai staf khusus Menteri.

Selama aktif di lembaga pemerintahan, saat itu Ibu Amanda juga bercerita bahwa dirinya aktif di bebrapa organisasi nirlaba, baik di dalam maupun di luar negeri.

Tentu saja, perjalanan Ibu Amanda dalam mengambil peran di masyarakat maupun sebagai seorang istri dan ibu tidak mulus. Ibu Amanda juga memberikan pesan bahwa keseimbangan antara pencapaian professional, komitmen untuk melindungi lingkungan, dengan kehidupan pribadi merupakan kunci.

Bab 5. Menuju Masa Depan Berkelanjutan

Di sini, Ibu Amanda membahas tentang sustainability atau keberlanjutan. Bagaimana manusia dalam menjalankan kehidupannya sebaiknya memikirkan tentang keberlanjutan. Ibu Amanda menekankan bahwa yang namanya keberlanjutan sangat penting dan tidak semestinya dibebabkan kepada pemerintah saja.

Baik sektor swasta atau dunia usaha sebaiknya juga bisa melakukan hal-hal terkait keberlanjutan. Salah satu caranya dengan praktik environment, social, dan governance yang bisa mengurangi dampak kurang baik bagi lingkungan sekitarnya.

Ibu Amanda juga menyoroti bahwa sebenarnya banyak orang sudah memahami pentingnya keberlajutan, tetapi masih sedikit orang yang berusaha mengupayakannya dalam suatu tindakan. Kemudian, dalam bab ini, Ibu Amanda mengajak pembaca untuk memiliki kesadaran memiliki mindset dan gaya hidup berkelanjutan dengan berbagai contoh aktivitasnya.

Bab 6. Mendunia Dalam Dialog Global

Pada bab pertengahan ini, Ibu Amanda menjelaskan awal mula ketertarikannya mendalami perubahan iklim. Berawal dari situ, selanjutnya Ibu Amanda mendapatkan pertemuan-pertemuan berkesan dengan orang-orang yang penuh gagasan tentang iklim.

Ibu Amanda juga menceritakan tentang beberapa forum yang pernah diikutinya, yang kemudian membuatnya terkoneksi dengan beberapa komunitas global yang memiliki ketertarikan yang sama untuk menyelamatkan planet bumi ini.

Meski begitu, dalam bukunya ini, Ibu Amanda terkesan rendah hati dengan menyebut bahwa kiprahnya di berbagai kancah baik nasional maupun internasional merupakan sebuah peluang untuk belajar. Menurutnya kesempatan itu memperkaya pengalamannya.

Kemudian, Ibu Amanda menutup bab ini dengan menceritakan figur publik idola remaja tahun 90-an sekaligus aktivis lingkungan, yakni Nicholas Saputra, yang menceritakan pengalamannya sebagai produser film dokumenter berjudul “Semesta”.

Bab 7. Membawa Perubahan dengan Kata

Pada bab ini, Ibu Amanda menekankan mengenai kekuatan kata. Beliau menceritakan sering membaca tulisan pemikir dan aktivis yang suka mengangkat isu global. Dari tulisan tersebut, Ibu Amanda berpendapat bahwa banyak pesan bisa disampaikan melalui tulisan, baik artikel, buku, hingga memanfaatkan media sosial, dll.

Bahkan, Ibu Amanda juga menuangkan pendapatnya, bahwa yang namanya komik bisa menggabungkan kerumitan informasi dengan kreativitas. Ah, saya jadi teringat koleksi komik sains yang saya belikan untuk anak-anak saya. Bentuknya memang karakter-karakter bergambar dengan balon percakapan, tetapi berkat itu anak-anak saya sedikit banyak tahu mengenai sains. Mungkin inilah yang dimaksud dengan Ibu Amanda agar konten tentang lingkungan hidup bisa mudah dimengerti, sehingga memberikan dampak nyata.

Bab 8. Menginspirasi Melalui Climate Coaching

Di halaman ini, Ibu Amanda menceritakan perannya sebagai coach, khususnya untuk climate action. Namun, sebelumnya Ibu Amanda juga mengikuti pelatihan dan berinteraksi dengan banyak climate coach dari berbagai negara.

Dari berbagai pengalaman pelatihan dan juga pertemuan dengan pegiat perubahan iklim lainnya, mengatakan bahwa seorang coach perlu memiliki pola pikir yang tepat untuk bertindak, sehingga bisa menawarkan solusi buat masalah-masalah lingkungan.

Ibu Amanda menceritakan juga tentang bagaimana proses coaching-nya berjalan, baik dengan diskusi, mengisi lembar kerja, serta beberapa pelatihan yang diharapkan bisa menggerakkan orang untuk lebih mencintai bumi.

Bab 9. Mewacanakan Filsafat, Ilmu, dan Teknologi

Ibu Amanda memiliki pendapat bahwa yang namanya filsafta sebagai sebuah alat pemikiran, ilmu sebagai sumber pengetahuan, serta kemajuan teknologi memiliki keterkaitan. Semua itu bisa menjadi andalan dalam memahami dan megatasi masalah lingkungan hidup yang muncul.

Pada penutup bab ini, ada artikel karya Ibu Amanda yang menarik untuk dibaca. Judulnya “Peneliti yang Terluka”. Pada intinya artikel ini membahas mengenai nasib peneliti yang tidak terafiliasi dengan institusi riset tertentu, yang karyanya sering luput.

Bab 10. Mengangkat Citra Kuliner Lokal

Seperti yang saya singgung sebelumnya, sekitar tiga tahun lalu saya berkenalan dengan Ibu Amanda melalui sebuah event online yang membahas tentang hubungan makanan dengan krisis iklim. Salah satu makanan yang diangkat adalah makanan khas Gorontalo yang merupakan daerah asal orang tua Ibu Amanda.

Kebetulan, keluarga ibu mertua saya juga berasal dari Gorontalo, sehingga waktu itu saya merasa relate dengan tema tersebut. Gara-gara event itu, saya jadi bisa memasak Binte Biluhuta, yang sebelumnya saya cicipi rasanya aja tak pernah.

Berkat masakan ini alhamdulillah, saya berkesempatan diajak jalan-jalan oleh salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang nutrisi untuk tour menjelajahi masakan nusantara.

Eh, kok, jadi kejauhan pembahasannya, hehe.

Resep Binte Biluhuta yang disertakan di buku.

Oke, kembali ke bab 10 ini yaaa. Jadi, Ibu Amanda memberitahu pembaca bahwa kuliner lokal Indonesia itu sebenarrnya bukan hanya sekadar makanan khas daerah tertentu, melainkan dari bahan-bahannya dan cara mengolahnya juga ramah iklim.

Sebagai contoh adalah kuliner Gorontalo dan daerah-daerah Wallacea yang memiliki bahan-bahan yang bisa diambil langsung dari alam, seperti ikan, biji-bijian, tumbuh-tumbuhan untuk sayuran, dll.

Ibu Amanda juga menyoroti bahwa mengambil dan memasak bahan pangan lokal bisa menghemat biaya transportasi. Lalu, juga memberi saran bagaimana bahan-bahan makanan tersebut sebaiknya diproduksi, yakni dengan teknik pertanian cerdas iklim. Pengolahannya pun kalau bisa juga tidak menghasilkan banyak limbah, sehingga dapat mengurangi biaya sosial emisi gas kaca.

Jadi, memang ada keterkaitan antara makanan (lokal) dengan bumi ini, ya, teman-teman.

Bab 11. Menjalin Kolaborasi Pemuda

Seperti yang sudah saya ungkit sebelumnya juga di atas, bahwa dalam menulis buku ini, Ibu Amanda sangat berharap para pemuda generasi penerus bangsa bisa memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Pada bab ini, Ibu Amanda menceritakan beberapa kegiatan inspiratif yang diprakarsai dan diikuti oleh pemuda yang membahas topik-topik perubahan iklim.

Ibu Amanda mengapresiasi kegiatan tersebut dan menyelipkan harapan bahwa energi, semangat, dan kreativitas generasi muda ini bisa membawa perubahan baik dalam mengatasi krisis lingkungan.

Terdiri dari 11 bab.

Nah, itulah, teman-teman, rangkuman kesebelas bab dalam buku Dalam Dekapan Zaman: Memoar Pegiat Harmoni Bumi.

Kemudian, Ibu Amanda juga mengakhiri isi buku dengan epilog yang diberinya judul Perjalanan Tak Berakhir.

Mungkin dari membaca judulnya teman-teman sudah langsung memahami bahwa yang namanya menjaga lingkungan bukan tindakan aksi sekali kemudian berhenti. Dalam bab penutup ini, Ibu Amanda berharap buku ini bisa menjadi sebuah awal bagi pembaca untuk bergerak baik secara invidu maupun kolektif melakukan langkah nyata yang berdampak pada keberlanjutan bumi.

Tak perlu mendakik-dakik menjadi pahlawan penyelamat hutan rimba, tetapi lebih ke langkah kecil yang jika dilakukan konsisten bisa membawa perubahan besar untuk menyelamatkan lingkungan dalam jangka panjang.

Pendapat saya tentang buku Dalam Dekapan Zaman: Memoar Pegiat Harmoni Bumi

Kalau ditanya bagaimana pendapat saya tentang buku ini? Maka, saya akan menjawab agak butuh waktu lama untuk membaca buku ini. Bukan karena halamannya yang tebal, melainkan, saya butuh pelan-pelan untuk bisa memahami dan mencerna pemikiran Ibu Amanda yang dituangkan dengan apik melalui buku ini.

Apalagi ada istilah dan nama-nama event internasional yang membahas lingkungan menggunakan kata dalam Bahasa Inggris, sehingga saya agak alon-alon membacanya, agar tidak salah sebut.

BTW, salah satu yang bikin saya takjub adalah bagian daftar referensi untuk pembuatan buku ini yang begitu banyak. Tak sadar, saya berdecak kagum, karena begitu banyak buku yang telah menjadi sumber inspirasi Ibu Amanda dalam menuangkan sebuah tulisan. Hal tersebut juga memantik saya untuk lebih banyak meluangkan waktu lagi untuk membaca buku-buku “bergizi”, terutama yang terkait dengan lingkungan hidup.

Terkait dengan bab buku yang cukup banyak, untungnya di setiap bab ada beberapa judul atau mungkin bisa kita sebut sub bab kali ya, yang membuat pembaca tidak terengah-engah di tengah membaca artikel.

Di beberapa bab, Ibu Amanda juga menyelipkan beberapa karakter kartun yang lucu, quote, juga artikel dan puisi tambahan. Saya pun sependapat dengan Ibu Amanda di pesan awalnya pada epilog, bahwa sebenarnya bab-bab dalam buku ini bisa dipisah, terserah mau mulai membaca yang mana, walaupun saya lebih memilih membaca runut dari awal hingga akhir, sih.

Buku yang butuh waktu buat dibaca tapi percayalah ini worth it banget.

Kalau bicara soal kekurangan, Ibu Amanda meletakkan beberapa koleksi foto di akhir buku. Kalau menurut saya pribadi, saya menginginkan ada foto-foto sebagai pelengkap di setiap bab di buku. Jadi, ketika Ibu Amanda bercerita tentang masa kecilnya, saya bisa melihat fotonya kala masih usia SD atau remaja. Juga, saat Ibu Amanda bercerita tentang orang tua atau kakeknya saya bisa melihat wajah mereka langsung, sembari membayangkan adegan-adegan yang terjadi puluhan tahun lampau.

Lalu, mungkin buku ini juga bisa dilengkapi dengan data mengenai permasalahan lingkungan, khususnya kursus iklim. Baik yang terjadi di dunia, maupun yang spesifik terjadi di Indonesia.

Meski demikian, saya senang bisa membaca buku yang kaya akan wawasan, pengetahuan, pengalaman, serta cerita seorang Amanda Katili ini. Beneran, deh, saya jadi terinspirasi juga untuk menambah aksi nyata saya sebagai individu untuk turut serta menjaga bumi.

Menurut saya, kalau teman-teman ingin tahu bagaimana keseruan aktivitas seseorang yang memperjuangkan lingkungan, kalian pasti akan menemukannya jika membaca buku ini.

Itulah pendapat saya pribadi mengenai buku Dalam Dekapan Zaman: Memoar Pegiat Harmoni Bumi ini.

Tentang Ibu Amanda, seorang Pegiat Harmoni Bumi

Dari tadi, teman-teman pasti sudah beberapa kali membaca nama “Amanda”, penulis buku Dalam Dekapan Zaman: Memoar Pegiat Harmoni Bumi ini kan? Namun, mungkin, masih banyak yang penasaran ingin kenal lebih banyak tentang beliau.

Saya akan coba menceritakan tentang Ibu Amanda secara singkat, ya.

Ibu Amanda terlahir dengan nama lengkap Amanda Ruthiana Nanurani Katili pada tanggal 12 Februari 1957 di Bandung dari pasangan Hj. Iliana Katili Uno dan Prof. Dr. H. John Ario Katili.

Beliau menikah dengan Ir. Mochtar Niode, M. Eng. Mgt, seorang pengusaha swasta yang pernah mengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dari pernikahan tersebut, Ibu Amanda dikaruniai tiga anak, yakni almarhum Omar Taraki Niode, Terzian Ayuba Niode, dan Karida Humaira Niode.

Ibu Amanda meraih gelar Sarjana Biologi dari Sekolah Ilmu dan teknologi Hayati, ITB, dengan konsentrasi Ilmu Lingkungan. Kemudian, memperoleh gelar PhD dari School of Environment and Sustainability, University of Michigan, juga Ann Arbor dan MSc dalam bidang Ecology dan Environmental Management dari American University, Washingthon DC, USA.

Dengan bidang keilmuannya tersebut, Ibu Amanda berkecimpung di bidang lingkungan hidup, baik sebagai akademisi, narasumber dan konsultan lingkungan hidup, pemipin organisasi global dalam bidang lingkungan, hingga menjadi produser eksekutif berbagai film pendek yang mengangkat teman perubahan iklim.

Ibu Amanda dan bukunya. Sumber: IG @amandakatili.

Ibu Amanda juga pernah mengambil peran di pemerintahan, antara lain sebagai:

  • Staff Khusus Menteri Lingkungan Hidup (2004-2009)
  • Koordinator Divisi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi di Dewan Perubahan Iklim (2009-2014)
  • Ketua Tim Ahli Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Pengendalian Perubahan Iklim (2015-2019)
  • Anggota Dewan Pertimbangan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2016-sekarang).

Selain itu, Ibu Amanda juga dikenal sebagai Executive Coach dalam Sustainability Mindset serta Climate & Biodiversity, yang dikenal mendorong dan memaksimalkan potensi individu maupun kelompok dalam mengatasi masalah lingkungan hidup.

Hingga, sekarang, Ibu Amanda juga aktif memberikan pelatihan tentang Bisnis ramah Lingkungan untuk komunitas womanpreneur yang jaringannya meliputi 20.000 pengusaha perempuan pemilik Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Masih banyak lagi kiprah Ibu Amanda dalam mengatasa masalah lingkungan, perubahan iklim, dan sustainability. Teman-teman bisa mengetik di search engine dengan kata kunci “Amanda Katili” atau membaca profil beliau di buku Dalam Dekapan Zaman: Memoar Pegiat Harmoni Bumi.

Begitulah teman-teman sedikit informasi dan ulasan saya mengenai buku Dalam Dekapan Zaman: Memoar Pegiat Harmoni Bumi karya Ibu Amanda dan perkenalan singkat tentang siapa beliau. Berikut informasi buku tersebut:

Informasi buku

  • Judul: Dalam Dekapan Zaman: Memoar Pegiat Harmoni Bumi
  • Penulis: Amanda Katili, Ph.D.
  • Penyelia: Ngadiyo
  • Peninjau naskah: Oktavia Nirmalasari
  • Penata letak: goodteadesign
  • Ilustrator isi: Muid Mularnoidin
  • Penyelaras foto: mataWaktu
  • Perancang sampul: Ghoffar I. Amar
  • Penerbit: CV Diomedia
  • Tebal: 458 halaman (420 hal + xxxviii)
  • Cetakan Pertama, Oktober 2024.

Teman-teman yang tertarik memiliki buku Dalam Dekapan Zaman: Memoar Pegiat Harmoni Bumi ini bisa menghubungi Penerbit Diomedia melalui website, Instagram @penerbitdiomedia, atau nomer WA 085643762005. Fyi, harga buku Rp.145.000,-.

Semoga teman-teman bisa membaca buku Dalam Dekapan Zaman: Memoar Pegiat Harmoni Bumi ini sendiri dan mendapatkan inspirasi terkait bagaimana cara berkontribusi dalam melindungi bumi tercinta ini, ya 😊 .

April Hamsa

Categorized in: