Jalan-jalan ke Rangkasbitung . Cakeeepp… Ehmm, ehmm, tau deh, terusin sendiri wkwkwk. Eh, lagian enggak maksud berpantun ding 😛 . Cuma mau melanjutkan cerita ngapain aja selama mengunjungi Rangkasbitung. Salah satunya adalah saya dan anak-anak mengunjungi Perpustakaan Saidjah Adinda. FYI, Perpustakaan Saidjah Adinda ini merupakan perpustakaan terbesar di Propinsi Banten, lho.

Perpustakaan Saidjah Adinda adalah perpustakaan terbesar di Banten.

Mengapa bawa anak ke Perpustakaan? Namanya juga perpustakaan ya, ada perpus khusus anaknya pula, sehingga bisa dipastikan kalau tempat ini adalah salah satu destinasi di Banten (Rangkasbitung) yang ramah anak 😀 . Selain itu, gedung Perpustakaan Saidjah Adinda yang juga merupakan kantor Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Lebak ini berada satu area dengan Museum Multatuli. Yawda, sekalian aja mampir ke perpus.

Buat yang belum paham, Lebak ini merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Banten. Nah, ibu kota Lebak adalah Rangkasbitung, lokasi di mana perpus berada.

Mengapa namanya Saidjah Adinda?

Awalnya saya enggak ngeh kalau nama perpustakaannya adalah Saidjah Adinda. Saya kira namanya ya sama gitu, perpus Multatuli atau bahkan Perpustakaan Daerah Lebak atau apalah.

Nah, waktu itu, anak-anak main alat musik gamelan di area belakang perpustakaan. Di dinding dekat gamelan, di bawah foto-foto Presiden Republik Indonesia, ada tulisan “Saidjah gambar love-love Adinda”. Saya pikir, “Apa ada yang baru nikah di sini?” Wkwkwk.

Di sini saya menemukan nama Saidjah dan Adinda.

Ternyataaa, itu nama perpustakaannya. Duh, jadi malu. Saya baru menyadarinya ketika keluar gedung perpus. Mohon maklum, soalnya waktu itu rombongan saya masuknya lewat halaman Museum Multatuli #ngeles. Tulisan “Saidjah Adinda” terletak di atas atap perpus-nya yang tinggi dan bagian depan pagarnya.

Lalu, siapa sebenarnya Saidjah Adinda? Ini sebenarnya dua nama ya, Saidjah (laki-laki) dan Adinda (perempuan). Keduanya adalah sepasang kekasih yang tak dapat bersatu yang kisahnya ditulis oleh Multatuli dalam buku/ novelnya yang berjudul Max Havelaar (mohon diingat-ingat lagi pelajaran Sejarahnya zaman sekolah dulu, hehe 😛 ).

Ceritanya, dulu warga pribumi di Banten saat masa pendudukan kolonial Belanda tuh miskiiin banget. Pemerintah yang berkuasa saat itu membebankan pajak yang tinggi kepada rakyatnya.

Pintu masuk ke halaman perpustakaan.

Saidjah adalah salah satu pemuda yang hidupnya kurang beruntung. Terlahir dalam keluarga petani miskin, ayahnya minggat karena enggak sanggup membayar pajak, sementara ibunya meninggal dalam derita kemiskinan. Meski demikian, Saidjah tetap bekerja keras supaya bisa memenuhi kebutuhannya dan membayar pajak. Dalam perjalanannya, Saidjah menjalin asmara dengan teman bermainnya sejak kecil, Adinda.

Suatu hari, karena kondisi, Saidjah terpaksa merantau ke Batavia (Jakarta), sehingga mesti LDR-an dengan Adinda. Beberapa tahun kemudian, setelah memiliki pendapatan yang lumayan, Saidjah pun kembali ke Banten untuk menyusul Adinda.

Sayangnya, Adinda bersama keluarganya telah pergi meninggalkan Banten. Konon katanya, keluarga Adinda bergabung dengan pejuang di Lampung untuk melawan tentara Belanda.

Sampai akhirnya, ada kabar bahwa Adinda ditemukan meninggal dengan tubuh penuh luka karena disiksa oleh tentara Belanda. Saidjah pun patah hati, yang membuatnya turut bergabung dengan pejuang untuk memerangi Belanda. Ketika bertempur dengan tentara Belanda, Saidjah tewas terkena tusukan bayonet.

Gedung Perpustakaan Saidjah Adinda yang mirip lumbung padi orang Baduy.

Sad banget lha, ceritanya. Ibarat Romeo dan Juliet-nya Banten, namun yang menghalangi hubungan mereka bukan keluarga, melankan kondisi kala itu.

Cerita lengkapnya, mungkin nanti teman-teman bisa googling atau baca sendiri ya, kalau menemukan bukunya 😀 .

Singkat cerita, nama Saidjah Adinda yang merupakan simbol perlawanan rakyat Banten kepada Belanda ini dijadikan nama perpustakaan ini.

Tentang Perpustakaan Saidjah Adinda

Perpustakaan ini katanya sudah dibangun sejak tahun 2016, namun baru diresmikan pada Mei 2017, berbarengan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Gedung perpustakaannya unik, yakni berbentuk lumbung padi atau “Leuit” yang bisa kita jumpai di pemukiman warga Suku Baduy. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa Suku Baduy adalah salah satu penduduk asli Banten.

Tangga menuju ke atas.

Mengapa berbentuk Leuit? Katanya sih filosofinya adalah supaya gedung perpustakaan ini bisa sebagai tempat menyimpan “bahan pangan” berupa pengetahuan yang bisa memajukan dan membuat masyarakat Banten makin sejahtera.

Papan informasi di dekat tangga.

Bangunan perpustakaan terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama merupakan area parkir, perkantoran, dan ada teras semi outdoor terbuka yang bisa digunakan untuk event. Lantai kedua adalah perpustakaan di mana buku-buku disimpan. Selain perpustakaan untuk umum, ada juga ruangan khusus untuk perpustakaan anak. Kemudian, lantai tiga dipakai untuk menyimpan berbagai arsip daerah Kabupaten Lebak.

Toilet di dekat ruang baca.

Okey, saya akan coba gambarkan tentang perpustakaan ini sejauh pengalaman saya berkunjung ke sana waktu itu ya.

Jadi, kesan pertama saat ke Perpustakaan Saidjah Adinda tuh, selain gedungnya unik dan bagus, juga sangat ramah untuk teman-teman disabilitas. Tangga utamanya tidak berundak melainkan yang bentuknya lurus kek perosotan itu, lho, sehinga bisa dilewati kursi roda. Menurut saya, aman buat anak-anak dan lansia juga.

Ruang penitipan barang.

Meski demikian, tersedia tangga berundak juga di bagian agak ke dalam. Tak ketinggalan ada lift-nya juga, lho.

Ada lift di sini.

Teras perpustakaan ini menurut saya luas sekali. Waktu saya ke sana, saya melihat ada panggung kecil, gitu. Kemungkinan halaman/ terasnya biasa dipakai untuk event-event.

Lalu, kalau naik ke atas lewat tangga yang ramah disabilitas yang saya ceritakan tadi, kita akan ketemu dengan sebuah lorong. Sebelumnya di bagian kanan ada ruang perpustakaan anak. Di seberangnya ada ruang perpustakaan umum.

Mengisi buku tamu dulu di sini.

Di antara kedua ruang tersebut, terdapat toilet dan tempat penitipan barang. Di depan tempat penitipan barang ada kantor, tempat untuk pengunjung perpus mengisi daftar hadir, serta semacam kantor. Enggak tahu kantor apa. Trus, ada lift juga.

Sebelum memasuki perpus, kami diminta untuk mengisi daftar hadir. Di situ saya nanya-nanya, apa bisa penduduk ber-KTP non-Banten menjadi anggota Perpustakaan Saidjah Adinda? Ternyata, katanya boleh.

Area perpustakaan umum.

Namun, waktu itu karena waktunya mefet, saya enggak mendaftar. Setelah memberikan data diri melalui personal computer yang disediakan, saya dan rombongan kemudian memasuki perpustakaan. Eh, iya, sebelumnya wajib menitipkan semua barang dulu yaaa, kecuali dompet, HP, dan peralatan tulis.

Pertama, saya dan anak-anak memasuki perpustakaan umumnya. Terdapat beberapa rak buku di sini yang berisi buku-buku pengetahuan umum, pelajaran, novel, dll.

Pengunjung boleh memanfaatkan meja ini untuk beraktivitas.

Terdapat deretan meja untuk membaca dan bekerja juga di ruangan ini. Cakep sekali desain dan penataannya. AC di ruangan dingin dan katanya tersedia WiFi juga, lho. Jadi, kalau mau bekerja/ ngetik di sini bisa tuh.

Namun, saya enggak lama berada di ruangan ini. Anak-anak udah enggak sabar melihat dalamnya ruang perpus anaknya. Maka, kami kembali lagi ke depan dan menuju perpustakaan anak.

Perpustakaan anak yang nyaman.

Ternyata, kalau masuk perpustakaan anak, wajib melepas sepatu. Namun, tenaaang, jangan khawatir sepatunya berserakan, karena terdapat rak sepatu persis di depan ruangan.

Beberapa sudut untuk membaca.

Mengapa diminta lepas sepatu? Ruangan tersebut ternyata alasnya berupa karpet. Mungkin, karena pengunjungnya anak-anak, sehingga meminimalisir kalau ada anak terjatuh atau gimana gitu kali yaaa.

Anak-anak saya pun langsung mengeksplorasi ruangan itu. Ada beberapa meja kursi untuk membaca, serta ada bean bag sofa juga, lho. Anak-anak seneng karena bisa duduk-duduk sambil membaca dengan santai.

Selain membaca, anak juga bisa bermain di sini.

Selain koleksi buku-buku anak, terdapat beberapa mainan edukasi seperti boneka, mainan yang ada jalur-jaluran itu, apa deh, sebutannya? Yang biasa dipakai anak balita merangsang motoriknya itu, lho.

Sayangnya, waktu itu enggak bisa lama berada di sana, karena Hari Jumat. Perpustakaan tutup untuk istirahat pukul 11.00 WIB dan akan buka kembali pukul 13.00 WIB. Untungnya, anak-anak udah cukup puas udah bisa membaca buku bagus dan bermain.

Walau pelayanan perpustakaan sedang istirahat, namun pengunjung masih boleh berada di sekitar gedung perpustakaan, kok. Terdapat kantin di bagian belakang perpustakaan lantai dasar. Cuma, waktu itu saya enggak beli makanan di sana. Rombongan saya beli bakso di depot bakso yang letaknya tak jauh dari perpus.

Sebagian mainan anak.

Di dekat kantin, terdapat gamelan, tempat saya menemukan tulisan nama “Saidjah <3 Adida” tadi. Masih di dekat kantin, agak ke ujung, terdapat mushola.

Oh ya, belakangan saya mengetahui kalau di Perpustakaan Saidjah Adinda ternyata memiliki semacam mini bioskop dengan kapasitas sekitar 40 kursi. Katanya film yang diputar adalah film edukasi, khususnya buat pelajar. Cuma, saya enggak tahu ruangan ini berada di mana.

Perpustakaan Saidjah Adinda ini juga katanya memiliki beberapa mobil untuk pelayanan perpustakaan keliling, lho. Keren ya?

Salah satu buku yang disukai anak saya.

Trus, saya pernah baca katanya di perpus ini ada kafe. Saya juga menemukan info ada kafe di plang di depan perpus-nya. Cuma, sama, sih, enggak nemu di lantai berapa. Kurang eksplor, haha 😛 .

Soalnya, setelah makan siang, kami memutuskan enggak balik ke perpustakaan lagi, melainkan langsung menuju gedung Museum Multatuli.

Namun, semoga apa yang saya tulis ini bisa memberikan gambaran mengenai Perpustakaan Saidjah Adinda ini ya, teman-teman. Kesimpulannya, perpustakaan ini nyaman untuk belajar/ bekerja, karena koleksi bukunya banyak dan fasilitasnya juga cukup lengkap.

Buat para orang tua, Perpustakaan Saidjah Adinda ini juga bisa menjadi alternatif wisata edukasi dan literasi yang layak diperkenalkan kepada anak-anak kita. Anak-anak pasti happy diajakin ke perpus ini, apalagi kalau masuk ke ruang perpus anaknya 😀 .

Jam buka pelayanan perpustakaan Saidjah Adinda

Untuk jam buka pelayanan perpustakaan Saidjah Adinda adalah setiap hari pukul 08.00-16.00 WIB, kecuali hari libur nasional. Namun, ingat ada jam istirahatnya ya, yakni pukul 12,00 WIB dan buka kembali pukul 13.00. Kecuali Hari Jumat, jam tutup istirahatnya pukul 11.00 WIB.

Kantin.

Oh ya, seperti yang saya sebutkan tadi, siapapun bisa mendaftar menjadi anggota Perpustakaan Saidjah Adinda, walaupun bukan penduduk Banten. Syaratnya adalah menyerahkan fotocopy KTP atau kartu pelajar, lalu mengisi biodata di formulir yang disediakan.

Mushola.

Itulah teman-teman cerita mengunjungi Perpustakaan Saidjah Adinda bersama anak-anak saat liburan sekolah kemarin.

Buat para ortu yang mau mengajak anak-anaknya mengunjungi Rangkasbitung juga, Perpustakaan Saidjah Adinda adalah salah satu tempat yang saya rekomendasikan. Lokasinya gampang ditemukan, kok. Masih sekomplek dengan gedung Museum Multatuli dan alun-alun Rangkasbitung.

Foto-foto kepala daerah Banten yang menjabat dari tahun lawas hingga sekarang dipajang di dinding ini.

Baeklaaah, semoga info tentang Perpustakaan Saidjah Adinda ini bermanfaat yaaa. Selanjutnya, tunggu tulisan saya mengenai Museum Multatuli yak 😀 .

April Hamsa