“Bapak ibu, jangan lupa untuk memasang bendera ya.” Bapak Ketua RT mengingatkan warganya via aplikasi chatting sejak awal bulan lalu.

Yeah, tak terasa tahun 2023 sudah menginjak bulan kedelapan. Atribut merah putih pun makin banyak terlihat, karena di bulan ini, negeri ini merayakan ulang tahun kemerdekaannya.

Tujuhbelasan identik dengan merah putih.

Satu hal yang tak berubah ketika Agustus datang sejak saya masih kecil hingga sekarang, yakni antusias masyarakat untuk merayakannya. Baik instansi-instansi resmi seperti kantor pemerintahan, swasta, organisasi masyarakat, hingga mereka yang tinggal di perumahan/ perkampungan biasanya menggelar acara-acara bertema kemerdekaan.

Tujuhbelasan dulu

Ah, saya jadi teringat masa kecil saya dulu, saat masih se-usia TK atau SD, biasanya ibu saya sudah kerepotan mencari kostum buat saya mengikuti acara karnaval, haha.

Enggak tahu kenapa, saya kurang nyaman dengan kegiatan karnaval, karena dipaksa berjalan kaki dalam kondisi panas-panas. Apalagi, kalau pakai kostum adat dengan sanggul dan jarik, huwaduh. Kayaknya saya cranky duluan, deh,

Akhirnya ibu saya menemukan cara, yakni menyewakan saya baju adat yang simple. Baju adat Suku Dayak.

Seingat saya bajunya tuh “hanya” berbentuk rompi tanpa lengan, rok pendek, dan ikat kepala. Untuk alas kakinya pun simple. Selop warna hitam atau pakai sandal yang saya miliki di rumah.

Karnaval yang menampilkan aneka kostum melambangkan keanekaragaman Indonesia.

Makanya, kalau ada karnaval, akhirnya kostum andalan saya kalau diminta pakai baju daerah adalah Baju Dayak. Eh, tak tahunya bertahun-tahun kemudian saya menikah dengan Orang Dayak, wkwkwk 😛 .

Lalu, mengenai lomba Tujuhbelasan, sesungguhnya saya juga tak terlalu ambis buat mengikutinya. Lempeng aja. Iya, iya, saya nih kenapa yaaa? 😛

Satu-satunya lomba yang saya suka cuma lomba makan kerupuk, karena menang nggak menang tetep dapat sesuatu (baca: kerupuk) hahaha.

Soalnya, saya merasa enggak hoki di lomba-lomba seperti itu. Bahkan, kalau ada lomba jalan sehat saja, saya cuma dapat capeknya wkwkwk 😛 . Hal ini bertolak belakang dengan adik saya, yang kalau ikut lomba pasti ada saja yang didapatkannya. Bahkan, jalan sehat pun minimal bawa doorprize mie instan 😀 .

Nah, ketika sudah dewasa, ketemu banyak orang, saya baru paham soal keberuntungan ini yang katanya kudu diupayakan. Mulai dari setting pikiran positif untuk memancingnya, berusaha mendapatkannya, dll.

Lalu, apakah saya berubah jadi tertarik ikut lomba? Ternyata, nggak juga, wkwkwk. Saya tetep menjadikan lomba makan kerupuk sebagai satu-satunya lomba Tujuhbelasan yang saya suka dan ikuti di tiap kesempatan 😛 .

Hanya saja, sepertinya saya lebih menikmati melihat perayaan-perayaan semacam ini dibandingkan dahulu.

Di luar lomba-lomba, dulu keaktifan saya lebih pada saat ada panggung Tujuhbelasan. Sebenarnya dipaksa keadaan, sih, karena semua anak kecil di kampung tempat tinggal saya dulu wajib tampil.

Ada bapak-bapak tetangga saya yang selalu menjadi panitia Tujuhbelasan tiap tahun, mendorong saya untuk tampil membaca puisi. Tiap tahunnya begitu. Sampai-sampai beliau yang kalau tak salah dulu pendidik di bidang Bahasa Indonesia ini melatih saya khusus di rumahnya. Kalau beliau sibuk, gantian mas-mas anaknya yang waktu itu sepertinya sudah SMA atau bahkan mahasiswa, gitu, yang melatih saya.

Tujuhbelasan selalu disambut dengan antusias.

Puisinya kadang sama dari tahun ke tahun. Salah satunya yang sering saya bawakan di panggung adalah Kerawang Bekasi karya Chairil Anwar. Jadilah saya spesialis di bidang baca puisi tiap bulan Agustus wkwkwk. Sepertinya hal ini berlangsung hingga saya lulus SMP. Ketika SMA, sudah ada generasi bocil lain yang menggantikan generasi saya tampil di panggung Tujuhbelasan 😀 .

Ketika sudah usia SMP-SMA, lomba-lomba Tujuhbelasan yang saya ikuti biasanya lebih bersifat grup-grup ketimbang individual. Saya lebih bersemangat dengan lomba-lomba yang seperti ini, karena tak merasa berjuang sendirian. Makin ramai kelompoknya, makin seru.

Trus, kalau ditanya apa hal yang paling saya suka ketika Tujuhbelasan zaman dulu. Jawabannya adalah bazaar. Soalnya saya bisa modus ke ortu saya untuk dibelikan makanan atau minuman yang enak-enak 😀 .

Lalu, satu lagi yang saya nikmati saat Agustusan sejak kecil, yakni malam tirakatan. Di kampung saya biasanya ada pemotongan tumpeng, baik nasi putih maupun nasi kuning.

Favorit saya tumpeng nasi putih dengan sayur urap-urap yang ubo rampenya lengkap. Tak tahu mengapa makanan yang dibagikan saat malam tirakatan tuh rasanya lebih enak. Mungkin, karena dimakannya beramai-ramai kali ya?

Tujuhbelasan sekarang

Setelah menikah dan tinggal di perantauan, terus terang awal-awal, saya tak terlalu berpartisipasi lagi saat Tujuhbelasan datang. Namun, sejak tahun kemarin, saya pindah ke perumahan yang warganya cukup aktif merayakan bulan kemerdekaan, jadi saya ngikut aja. Walaupun ya, lagi-lagi bukan saya yang aktif ikutan lombanya, melainkan anak-anak saya xixixi.

Yaaa, saya mendukung anak-anak saya untuk lebih aktif ikutan lomba-lomba Agustusan ketimbang saya dulu.

Alhamdulillahnya, anak-anak saya ternyata sangat menikmati perlombaan Tujuhbelasan. Mereka sangat antusias untuk ikutan. Bahkan event lomba online yang diselenggarakan oleh “sekolahnya” pun mereka ikuti.

Setiap Tujuhbelasan paling suka kalau ada bazaar.

Sebagai orang tua, saya pun mendukung. Toh, mereka lebih baik dari saya hahaha 😛 . Hanya saja, saya selalu menekankan, bahwa dalam perlombaan tak hanya kudu siap menang tetapi juga harus bisa siap kalah. Saya lebih ingin anak-anak belajar mengenai proses mengikuti lomba-lomba itu, yang penting happy.

Sejauh ini, kalau anak-anak saya kalah lomba, alhamdulillah mereka selow aja. Ya, mungkin karena minim tuntutan juga dari saya atau dari pihak mana pun kali ya? 😀

Pokok’e dinikmati bae, lhaaa 😀 .

Satu yang tak berubah adalah saya tetap menyukai bazaar. Soalnya bisa beli jajanan yang saya suka.

Kalau untuk malam tirakatan, hmmm, sepertinya enggak ada ya. Hanya ada panggung gembira, tetapi saya sekeluarga biasanya cuma menonton saja.

Harapan untuk Indonesia

Yaaa, pokoknya ikut berpartisipasi merayakan Tujuhbelasan lha ya?

Turut bersyukur, negeri ini usianya sudah mencapai 78 tahun. Walaupun sepertinya ada saja kisruhnya, tetapi kalau di lingkungan kami, selama ini warganya rukun-rukun dan kompak-kompak aja. walaupun secara SARA tuh warga di sini cukup plural.

Agak berbeda suasananya di tempat kami tinggal sebelumnya, di mana jangankan yang berbeda agama, yang beda prinsip (seperti yang satunya baca Qunut satunya lagi enggak aja) agak disisihkan. Kalau teman-teman pernah dengar ada kisruh warga yang mendemo orang yang berdoa di rumahnya, yak, itu benar terjadi.

Padahal, maaf-maaf kata nih ye, yang nyalain speaker luar rumah ibadah ketika hari udah malam tuh lebih mengganggu, ketimbang mereka yang berdoa bersama dengan tenang di rumah pribadinya itu.

Nah, harapan saya, semoga yang seperti itu enggak terjadi lagi. Ini Indonesia, yang penduduknya terdiri dari beberapa agama dan banyak suku/ ras.

Perbedaan tersebut seharusnya menjadi salah satu modal kuat bangsa ini, bukan malah menjadi penghambat.

Kadang saya mangkel sendiri lho tiap Agustus, karena ulang tahun bangsa ini hampir barengan dengan begara tetangga, Korea Selatan. Sering bertanya-tanya, kapan ya negara ini bisa semaju mereka tetapi tetap bangga akan kultur yang beragam ini?

Yaaa, semoga saja sih, kesadaran-kesadaran semacam ini akan lebih banyak muncul. Saya lihat sih sepertinya generasi yang lebih muda sudah mulai terbuka soal perbedaan ya, ketimbang generasi sebelumnya,

Mungkin, nanti, ketika waktunya generasi tersebut dewasa dan mulai memimpin negara ini, semoga bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Hmmm, kayaknya ini juga tugas berat orang tua zaman sekarang, termasuk emak-emak generasi saya untuk mengajari anak-anak untuk menjadi pembaharu di masa depan, sih ya?

Yaaa, semoga saja perjuangan emak-emak dalam mendidik anak-anaknya bisa mulus, sehingga anak-anak ini kelak bisa membawa bangsa ini menjadi bangsa yang lebih maju lagi. Merdeka!

April Hamsa